Rabu, 13 Januari 2010

Konsep Kebudayaan

Pendahuluan
Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang dianggap baru pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of Culture, ia mencoba mendefinsikan kebudayaan yang beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam penentuannya. Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit (Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).

Konsep Kebudayaan Geertz
Geerts secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan (Kuper; 1999, 98).

Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutic . Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan (Kuper; 1999, 82).

Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz; 1992a, 3)

Agama Jawa
Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya (Geertz; 1992b, 51). Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe variant kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah sinkritisme (Geertz, 1983, 6). Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan (Geertz; 1983, 5-6).

Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya.. Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah kebudayaan yang berbeda (Parsudi; VII, 1983). Dimana oleh Geertz masing-masing 3 varian tersebut mempunyai sejarah kebudayaan dan lingkungan yang berbeda. Abangan dengan tradisi petani-nya di desa, santri dengan pengalaman dagangnya di pasar dan pola migrasinya dari pesisir, dan priyayi dengan sejarah birokratik aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa Belanda di kota. Sehingga dengan demikian Geertz juga mengkaitkan agama dengan penggolongan struktur sosial dan basis ekonomi, dan ideologi politik. Ada kesesuian keagamaan masing-masing varian ini dengan struktur sosial, organisasi sosial politik mereka. Seperti slametan yang ia nilai sebagai suatu kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta didalamnya atau semacam wadah bersama. Kemudian Permai, yang tadinya berbasis organisasi politik kemudian semacam organisasi sosial kalangan abangan modern. Dimana memang ia pada masa awal kariernya menfokuskan kepada hubungan antara gagasan dan proses sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara kepercayaan dan pembangunan politik dan ekonomi. Suatu gagasan yang ia dapatkan dari Weber (Kuper, 1999, 80). Dengan sifatnya mencoba mengkaitkan dengan gejala-gejala lainnya tersebut, Kuper menyebutnya sebagai kebudayaan dalam bentuk agama yang terkonsentrasi yang dirubah bentuknya oleh politik dan ekonomi, sebagaimana pendapat Weber (Kuper; 1999, 97).

Dalam pengkategorian 3 varian kebudayaan diatas memang tidaklah tepat benar. Hal ini memang telah dikemukakan oleh Harsja W. Bachtiar yang melihat bahwa sebenarnya abangan dan santri lebih merupakan suatu pengkategorian perilaku keagamaan seseorang, dan priyayi sebagai kategori kelas sosial tertentu (Harsja W. Bachtiar;1973,1525). Juga demikian seperti apa yang telah dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat pengkategioian yang dibuat Geertz mengacu secara implisit kepada model struktur sosial yang dibuat oleh Robert Redfield. Suatu pembagian struktur sosial yang melihat kota dan desa sebagai 2 struktur sosial yang berbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elit kotan dan petani desa, yang keduanya juga mempunyai hubungan ketergantungan dan melengkapi sehingga membentuk suatu sistem sosial sendiri. Penekanan yang berbeda dilakukan Geertz kepada dimensi struktur-nya, dan Redfield pada proses komunikasi terus-menerus antar kota dan desa (Parsudi Suparlan;1983, IX). Geertz juga dikritik bahwa penggolongan 3 varian kebudayaan tersebut itu merupakan bentuk penyederhaan realitas yang sebenarnya jauh lebih kompleks (Kuper;1999,92). Memang sebenarnya Geertz ingin mengungkapkan sistem penggolongan 3 varian kebudayaan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri., namun tetap saja kebudayaan sebagai suatu teks haruslah diinterpretasikan oleh seorang antropolog. Hal yang sama juga diutarakan Parsudi dalam pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi tersebut (Parsudi Suparlan;1983,VIII). Kuper menuliskan kritiknya terhadap Geertz tentang hal ini. “Sebuah kebudayaan tidaklah dipahami dengan mudah oleh seorang aing yang simpatik, seperti diperkirakan oleh Geertz. Kebudayaan mungkin sebagai suatu teks, tetapi ini adalah teks yang dibangun, fiksi yang ditulis seorang etnografer “ (Kuper;1999,19).

Bagi Geertz, agama juga tidak hanya menekankan hubungan makna yang sifatnya harmoni dan penuh keseimbangan dari ketiga struktur sosial tersebut tetapi ia juga mempunyai kekuatan yang memecah. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem budaya agama jawa mempunyai kekuatan untuk menyeimbangankannya lagi. Seperti ia sebutkan beberapa faktor yang cenderung mempertajam konflik, seperti konflik ideologis, sistem stratifikasi sosial, perjuangan politik demi kekuasaan, dan kebutuhan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang cepat. Namun ada faktor-faktor yang menurutnya dapat meredakan konflik, yaitu perasaan kebudayaan yang satu, pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, toleransi umum, dan adanya mekanisme integrasi sosial yang sifatnya pluralistik (Geertz; 1981, 475-477). Nampak terlihat pengaruh Parson terlihat disini, karena dalam masa penulisan buku Religion of Jawa ini, Geertz memang berada masa awal karier ilmuwannya, dimana ia mendapatkan pengaruh wacana sistem yang kuat dari Parson (Kuper, 1999, 79). Didalam sistem ada keseimbangan, agama, struktur sosial, emosi, dan bentuk konvensional dari tindakan dan dorongan masing-masing (Kuper;1999, 101).

Berkaitan dengan politik dan agama, ia melihat bahwa nilai-nilai yang dibagi bersama, yang ada dalam solidaritas yang pernah terwujud diantara masyarakat pedesaan telah terhapus pada saat mereka tinggal dikota oleh polarisasi keagamaan dan politik. Ritual-ritual yang pernah menciptakan kesatuan dalam masyarakat desa, sekarang telah terpisa-pisah, institusi politik yang lama tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan kondisi yang ada dan diruntuhkan oleh kompetisi untuk mendukung partai yang dihasilkan oleh perkembangan politik nasional (Kuper;1999. 92). Kuper juga mempertanyakan ketika Geertz melihat pembedaan 3 varian kebudayaan tersebut sebagai 3 elemen dari 1 masyarakat, bukan merupakan 3 masyarakat berbeda yang dalam suatu kota. Jika Mojokuto dilihat sebagai arena sosial yang tunggal, maka faktanya adalah bahwa disana ada 3 komunitas yang dapat memperkuat konflik dan disintegrasi sosial dan mengundang permasalahan politik (Kuper;1999, 90). Geertz memang tidak secara khusus memberikan perhatiannya pada konflik pollitik nasional yang kemudian menyeret pada konflik agama, seperti yang terjadi pada tahun 1965, ketika terjadi konflik politik (Komunis vs Tentara/Islam). Geertz sendiri sadar akan kekuatan eksternal ini, tetapi kerangka analitiknya tidak mencakup pengaruh politik lokal, nasional, dan internasional ketika itu (Kuper;1999, 95). Keadaan ini juga memperkuat kritik tentang batas pengetahuan lokal. Dimana etnografer dituduh mempertahankan kedekatannya dengan obyek yang diteliti, tidak memberikan perhatian pada perubahan yang sifatnya jangka panjang dan pengaruh yang datang dari luar. Geertz sesekali menerima tuduhan itu. Seperti ketika ia membuat generalisasi Mojokuto dengan Jawa atau bahkan Indonesia, atau ketika menganalisa proses sosial dan politik di dalam kota, ia tidak memperlihatkan hubungan antara Mojokuto dan Jakarta (Kuper,1999,99-100).
Selain itu dalam membuat pengkategorian, Geertz yang berusaha membuat pentipean secara ideal, sehingga menjadi suatu pembedaan yang kontras dan absolut. Meskipun ia sendiri melihat pembagian ini bukanlah pembedaan yang sifanya absolut, tetapi dari penggolongan yang ia lakukan terkesan pembedaan absolut itu. Seperti misalnya abangan dengan elemen petani pedesaan dan slemtan sebagai upacara ritualnya.Santri dengan elemen dagang dan pasar. Santri modern dengan Muhamadyah, santri kolot dengan Nadhatul Ulama. Dengan penggolongan seperti ini nampak terlihat Geertz melakukan homogenisasi obyek kajiannya, sehingga ia menutup atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti ia memberi label kepada tipe campuran dan kelompok marjinal pada tipe-tipe minoritas dan varian yang tidak berada secara tegas di 3 varian yang baku, abangan, santri, dan priyayi.

Penutup
Geertz memang dianggap memiliki pengaruh teoritis dalam ilmu antopologi, dimana ia menulis dengan sangat mahir mengenai gagasan-gasan tertentu dari kebudayaan dan menggunakannya untuk menganalisi kasus-kasus tertentu. dan dalam prosesnya, ia telah memberikan daya tarik bagi orang luas untuk membaca karya-karya antropolog. Dia meletakan suatu ide baru bagaimana kebudayaan bekerja (Kuper, 1999, 76). Penelitian Geertz tentang Religion of Jawa itu juga merupakan suatu deskripsi dari hasil permintaan dari the Committee on the New States. Dimana menjadi titik awal mereka pada rencana bahwa masyarakat tradisional telah menjadi tidak teratur karena adanya proses urbanisasi, spesialisasi ekonomi dan sekulerlisasi. Tujuan dari kebijakan di negara – negara baru tersebut diserahkan pada antropolog untuk menspesifikasikan masalah-masalah kebudayaan yang ada didalamnya, khususnya pada Llyoyd Fallers dan Geertz. Mereka diharapkan dapat menemukan kekontrasan tradisonal; dan modernitas, suku bangsa dan negara, masyarakat yang suci dan duniawi, dimana kontradiksi-kontradiksi tersebut akan dapat membantu untuk menjelaskan kemampuan masyarakat di Asia yang sedang mengalami transisi penjajahan kolonial menuju ke kebebasan (Kuper;1999,84). Dalam konteks situasi seperti itulah, dimana Geertz mempunyai kepentingan dibaliknya, ia menafsirkan agama jawa. Dan tentu saja teori kebudayaan umumnya mengandung muatan politis yang membenarkan suatu tinjauan politiknya, menurut Kuper (Kuper,1999 XV)

Bahan Bacaan
Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983
Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Kuper, Adam, Culture, Harvard University Press, Cambridge, 1999
Symour-Smith, Charlotte, MacMillan Dictonary of Anthropology, London, MacMillan Reference Books, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar