Rabu, 13 Januari 2010

KONSEKUENSI SOSIAL TEKNOLOGI KOMUNIKASI

Perkembangan Teknologi Komunikasi
Edwi Arief Sosiawan, M.Si Kuliah 12
www.edwias.com edwias@yahoo.com
1
KONSEKUENSI SOSIAL TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Memang, teknologi komunikasi menjadi satu kekuatan yang bisa
mempengaruhi kekuatan sosial lainnya. Teknologi komunikasi memiliki
keterkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tidak
berlebihan kiranya bila ada orang yang mengatakan bahwa teknologi komunikasi
mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Bisa saja pemakaian teknologi komunikasi menguntungkan, misalnya
meningkatkan produktivitas, memperpendek waktu dan jarak. Tetapi, tidak
berarti tidak menimbulkan persoalan. Beberapa persoalan yang muncul
misalnya, jurang antara pihak yang kaya dan miskin informasi makin besar,
privacy jadi terganggu, orang jadi terpencil dari lingkungan sosial, informasi
tidak benar disusupkan melalui media interaktif dan batasan-batasan pekerjaan
yang lama tidak berlaku lagi.
A. Makna Konsekuensi Sosial Pemakaian Teknologi Komunikasi
Salah satu cara untuk melihat pengaruh teknologi komunikasi pada
kehidupan sosial adalah, melihat konsekuensi sosial pemakaian teknologi
komunikasi. Konsekuensi sosial dengan dampak sosial pemakaian teknologi
komunikasi memiliki makna yang berbeda. Konsekuensi sosial adalah akibat
sosial sebagai kelanjutan logis sebuah keadaan atau pemakaian dan sudah
disadari akan terjadi. Sedangkan dampak sosial adalah keadaan sosial sebagai
hasil sebuah perbenturan dua keadaan yang tidak disadari. Dengan demikian,
perbedaan konsekuensi sosial dan dampak sosial adalah pada unsur logis dan
kesadaran. Konsekuensi sosial mengandung unsur logis dan kesadaran,
sedangkan dampak sosial tidak mengandung unsur logis dan sadar.
B. Konsekuensi Sosial. Teknologi Komunikasi
Konsekuensi sosial teknologi komunikasi bisa dilihat pada perubahan
hubungan individu dengan individu, individu dengan komunitas, individu dengan
lembaga sosial (seperti kelurahan, kecamatan, kabupaten propinsi dan negara),
individu dengan media massa, komunitas dan media massa, komunitas dengan.
lembaga sosial, tentu saja setelah pemakaian teknologi komunikasi. Keinginan
untuk berubah tersebut, sesungguhnya, tidak pernah direncanakan oleh seorang
pemakai teknologi komunikasi. Hanya saja dia memperoleh makna dari
pengalamannya menggunakan teknologi komunikasi tersebut. Makna itu sendiri
kemudian direkonstruksikannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan
demikian, perubahan hubungan yang terjadi seolah-olah datang begitu saja.
Sehubungan dengan kenyataan di atas terdapat dua jenis konsekuensi sosial
teknologi komunikasi yang penting, yaitu:
1. Perubahan Hubungan Sosial
Jika hubungan antara dua komponen masyarakat berubah,
katakanlah antara seorang individu dan individu lain karena pemakaian
teknologi komunikasi, maka sudah terjadi konsekuensi sosial. Bisa saja
perubahan itu berawal dari sense dia mengenai orang lain. Tetapi, pada
saat seorang individu mulai memikirkan sensenya tentang orang lain,
menurut Steven G. Jones, sesungguhnya dia juga mernikirkan sense dia
tentang siapa dirinya, siapa dirinya di antara orang-orang lain dan ingin
menjadi apa dirinya (1998:2). Kalau sudah begini, perubahan hubungan
sosial tersebut berasal dari konstruksi seorang individu tentang, individu
lain.
Perkembangan Teknologi Komunikasi
Edwi Arief Sosiawan, M.Si Kuliah 12
www.edwias.com edwias@yahoo.com
2
Kenyataan di atas akan menjadi sangat jelas bila dikaitkan dengan
pemakaian komputer dalam masyarakat. Seperti telah diketahui
komputer memiliki kedudukan sebagai pembentuk media baru. Media
baru, yang nota bene membutuhkan komputer tersebut, menjadi alat
untuk berkomunikasi. Tidak heran bila orang menyebutnya sebagai
Computer-Mediated Communication (CMC). CMC ini bisa meningkatkan
kemampuan seorang individu dalam mendengar dan melihat. Nah,
orang-orang yang memakai CMC inilah kelak yang membentuk
cybersociety. Tanpa CMC tidak mungkin ada cyhersociety.
Bila dalam masyarakat biasa setiap individu hidup bersama-sama
secara fisik dalam sebuah daerah tertentu, maka setiap individu di
dalam cybersociety tidak harus hidup dalam sebuah kawasan tertentu.
Bisa saja individu yang tergabung di dalamnya tidak pernah bertemu
secara fisik dan hidup di daerah yang berbeda-beda. Mereka
terhubungkan karena sama-sama menggunakan on-line communication.
Itulah sebabnya konstruksi sosial mereka tentang sebuah realitas tidak
dibentuk oleh jaringan para pemakai CMC, melainkan dalam jaringan itu
sendiri. Dengan demikian, di luar jaringan CMC, realitas itu tidak pernah
terbentuk.
Persoalan yang barangkali muncul adalah, apakah perubahan
hubungan sosial karena pemakaian teknologi komunikasi mengarah pada
kebaikan? Tidak mudah menjawabnya. Yang jelas, sebuah teknologi
komunikasi selalu memiliki efek samping (side effect). Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Stanford Institute for the Quantitive
Study of Society terhadap 4.000 pengguna internet menyebutkan bahwa
internet menyebabkan isolasi sosial (social isolation). Makin lama
seorang individu menggunakan internet, makin berkurang kontaknya
dengan lingkungan sosial (Suara Pembaruan, 2/9/01).
Pola hubungan menggunakan CMC antara pengirim dan penerima
pesan umumnya belum saling mengenal (unknown) apalagi dengan
penggunaan identitas singkat pada e-mail dan nick name pada fasilitas
IRc menyebabkan komunikasi yang terjadi adalah komunikasi tertutup
tidak terbuka. Kecenderungan yang demikian menyebabkan interaksi
sosial yang terjadi tidak memiliki makna dan hanya bersifat maya atau
semu.
Konsekuensi sosial lainnya adalah melalui bantuan komputer bisa
melihat hasil ketikan di layar monitor sebelum dicetak (paperless)
sehingga lebih effisien dalam waktu dan tempat penyimpanan file.
Makanya dahulu banyak kursus mengetik, sekarang sudah jarang kita
temui kursus mengetik apalagi di kota-kota besar. Setelah dirasakan
dapat menggantikan cara konventional baru terlihat kelebihan lainnnya,
misal menggantikan sarana pengiriman surat dengan surat eletronik (email),
pencarian data melalui search engine, chatting, mendengarkan
musik, dan sebagainya. Fenomena ini menunjukkan bahwa disamping
efsiensi dalam penggunaannya adanya teknologi komunikasi baru
menyebabkan tingkat ketrgantungan pada orang lain semakin berkurang.
Adanya e-mail menyebabkan masyarakat tidak membutuhkan lagi tukang
pos apalagi Kantor Pos. Tidak perlu bertemu dengan pedagang
perangko, penjual amplop dan sebagainya.
Perkembangan Teknologi Komunikasi
Edwi Arief Sosiawan, M.Si Kuliah 12
www.edwias.com edwias@yahoo.com
3
2. Transformasi Sosial.
Munculnya masyarakat informasi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(i) informasi menjadi senjata strategis; (ii) pemilihan. informasi menjadi
dasar konflik antara pernerintah dan pengusaha; (iii) informasi tidak lagi
gratis; (iv) semua informasi yang bernilai tinggi akan tersimpan dalam
bentuk digital; (v) pustaka akan dipenuhi oleh buku-buku pintar elektronik;
(vi) pustaka dunia akan muncul dalam bentuk informasi elektronik; (vii)
konsep manusia tentang privacy, security dan pemilikan berubah; (viii)
pertukaran informasi meruntuhkan batas-batas budaya dan wilayah; (ix)
konflik akan terjadi antara pemakai dan manajemen sistem informasi; dan
(x) orang-orang yang menjadi "spesialis informasi" akan menjadi sangat
berkuasa (Dalam Tanduklangi, 1993:127).
Tetapi, sebuah masyarakat tidak bisa disebut masyarakat informasi
kalau masyarakat tersebut tidak terbuka. Salah satu pendorong lahirnya
masyarakat terbuka adalah pemakaian teknologi komunikasi. Ini terasa
logis. Sebab, pemakaian teknologi komunikasi mempengaruhi struktur
masyarakat. Nilai vang dibawa oleh sebuah teknologi kornunikasi sanggup
menggoyahkan struktur masyarakat yang lama. Nilai egaliter misalnya,
menggusur struktur masyarakat yang tertutup. Kalau masyarakat masih
mempertahankan struktur masyarakat tertutup dengan adanya CMC
misalnya, itu sarna saja dengan menentang evolusi.
Wajah masyarakat dalam masyarakat terbuka ditandai oleh
keberadaan nilai-nilai heterogen. Akibatnya sifat pluralistik jadi menonjol.
Penonjolan sifat pluralistik ini menjadikan menuntut masyarakat mengubah
orientasinya. Tidak terlalu berlebihan bila ada orang yang berpendapat
bahwa kesadaran masyarakat untuk mengenal dirinya sendiri sangat penting
dalam rangka memakai sebuah teknologi komunikasi. Pilihan orientasi diri
ini menentukan seluruh sikap individu dalam memakai teknologi
komunikasi.
Bila masyarakat terbuka sudah terwujud, maka sesungguhnya ia bisa
memaksakan terbentuknya pemerintahan yang terbuka (open government)
pula. Pemerintahan yang terbuka sudah dianut oleh banyak negara
demokratis. la ditandai, paling tidak oleh: (i) seluruh kegiatan pemerintah
harus bisa diikuti dan dipantau oleh khalayak; (ii) informasi yang dikuasai
oleh pemerintah mudah diakses khalayak; dan (iii) proses pengambilan
keputusan terbuka bagi keterlibatan khalayak (Santosa 2001:41). Dengan
dekian, tiga parameter utama pengelolaan negara yang baik
(Gooodoovernance), seperti akuntabilitas, transparansi dan partisipasi
dipenuhi oleh pemerintahan yang terbuka. Goodgovernance sendiri
sekarang sudah menjadi salah satu ukuran eksistensi sebuah negara.
Transformasi sosial lainnya adalah terdapatnya orientasi kerja manusia
yang semula pada otot berubah berorientasi pada otak, sehingga perbedaan
gender dalam kerja semakin sempit. Pergeseran pola hidup secara umum.
Pola hidup manusia akan sangat tergantung kepada komputer yang
menggambarkan besarnya keterlibatan teknologi informasi dalam hidup
manusia. Dampak ini akan terus berlanjut hingga produk-produk yang
dikelola komputer menjadi produk yang cerdas ( smart product ).
Perkembangan Teknologi Komunikasi
Edwi Arief Sosiawan, M.Si Kuliah 12
www.edwias.com edwias@yahoo.com
4
KONSEKUENSI KULTURAL TEKNOLOGI KOMUNIKASI
A. Makna Konsekuensi Kultural Teknologi Komunikasi
Untuk memahami makna konsekuensi kultural teknologi komunikasi, perlu
diungkap pengertian cultural lebih dulu. Kultural berasal dari kata cultural, yang
dalam Bahasa Inggris berarti having to do with culture (berkaitan dengan budaya).
Jadi, tidak berlebihan bila kultural diartikan sebagai kebudayaan. Atas dasar
pemikiran di atas, konsekuensi cultural pemakaian teknologi komunikasi dilihat pada
karakter yang dimiliki lembaga sosial, sistem pengetahuan, perilaku keseharian
individu dan komunitas, sistern nilai dan norma dalam masyarakat berubah, sebagai
kelanjutan logis pemakaian teknologi komunikasi, maka sudah terjadi konsekuensi
kultural. Sebaliknya, bila karakter lembaga sosial, sistem pengetahuan, perilaku
keseharian individu dan komunitas, sistem nilai dan norma dalam masyarakat,
sebagai kelanjutan logis pemakaian teknologi komunikasi, tidak berubah; maka tidak
ada konsekuensi kultural pemakaian teknologi komunikasi.
B. Konsekuensi Kultural. Pernakaian Teknologi Komunikasi
Bila kita menengok kenyataan, misalnya pada perilaku orang-orang yang suka
mengakses internet, temyata mereka sadar bahwa kadang-kadang mereka
"berurusan" dengan apa yang disebut realitas maya (virtual reality). Realitas maya
sendiri, seperti ditulis Mark Slouka, merujuk pada lingkungan yang "menyelubungi"
atau "menghidupkan secara sensual", yang dimasuki individu dengan cara
menghubungkan dirinya ke komputer (1999:38). Dengan kata lain, orang-orang yang
suka mengakses internet sadar bahwa komputer menciptakan ilusi untuk mereka.
Tetapi, tidak banyak yang bisa membedakan ilusi tersebut dengan dunia nyata.
Akibatnya, mereka merasa senang menghadapinya.
Bisa saja tawaran yang diajukan dunia semu itu sejalan dengan kebutuhan
individu yang mengakses internet. Bisa saja tawaran dunia semu tersebut sesuai
dengan keinginan individu untuk menciptakan identitas baru buat dirinya. Yang jelas,
jaringan internet telah menawarkan bentuk komunitas baru, yaitu komunitas maya
(virtual community) Nah, dalam konteks komunitas semu ini, paling sedikit ada dua
konsekuensi kultural pemakaian teknologi komunikasi yang menonjol, yaitu:
1. Perubahan Sistem Nilai dan Norma
Jika diibaratkan sebagai pengembara, maka orang-orang yang mengakses
internet akan banyak melakukan perjalanan, banyak melihat dan tentu saja
banyak memperoleh informasi. Semua pengalarnan itu, tentu saja akan mengubah
pandangan mereka tentang diri mereka sendiri serta nilai dan norma yang selama
ini mereka anut. Bukan mustahil mereka lantas mengadopsi nilai-nilai
profesionalisme yang mengutamakan prinsip kepakaran, otoritas, otonomi,
autensitas dan integritas. Bukan mustahil pula mereka tidak menyukai lagi
solidaritas komunal. Kalau ini yang terjadi, sesungguhnya perubahan sistem nilai
itu baik untuk kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, nilai-nilai yang
diadopsi adalah nilai yang bermanfaat untuk membangun kebudayaan industrial.
Tetapi bukan mustahil yang terjadi adalah, orang-orang yang mengakses
internet tidak peduli lagi dengan tatanan moral, sistem nilai dan norma yang
telah disepakati berpuluh-puluh tahun. Mereka hanyut dalam pengembaraan
mereka dan menabrak apa saja yang mereka anggap menghambat tujuan mereka.
Mereka merasa tidak peduli lagi dengan segala aturan yang ada.
Bila melihat kenyataan di negara-negara maju, kita tentu mengerti bahwa
perubahan yang terjadi pada orang-orang yang mengakses internet adalah
perubahan moral dan kemanusiaan. Orang tidak peduli lagi dengan moral yangselama ini dijunjung tinggi. Orang juga tidak peduli dengan nilai kemanusiaan
orang lain. Sudah begitu, orang lebih percaya pada isu daripada informasi, lebih
percaya pada rumor ketimbang kebenaran. Pergeseran nilai yang nampak ekstrim
adalah kemudahan pengguna untuk menjelajahi situs-situs porno atau situs-situs
cabul yang banyak bertebaran di internet dan bebas sensor karena internet
dianggap tidak memiliki aturan dan kejelasan hukum dalam penggunaannya.
Selain itu muncul kejahatan menggunakan internet yang disebut dengan
“carding” berupa pembobolan kartu kredit milik orang lain. Ini disebabkan karena
keamanan dalam internet saat ini masih belum sempurna khususnya berkaitan
dengan subscribe pendaftaran diri pada suatu situs
2. Penyerahan sebagian otoritas diri pada teknologi komunikasi
Bila dicermati maka orang-orang yang mengakses teknologi komunikasi
informasi akan meluangkan waktu yang banyak dan biaya yang mahal untuk
mencari informasi yang dibutuhkan. Meski telah terpuaskan oleh informasi yang
didapat kecenderungannya orang-orang tersebut akan terus mencari dan mencari
informasi memalui internet. Disinilah kondisi penyerahan diri pada teknologi
terjadi akibanya Keasyikan dalam menggunakan internet menjadikan semacam
kecanduan yang mau tidak mau membawa ke arah pengeluaran keuangan yang
lebih.
Selain itu penggunaan internet memunculkan trend centre gaya hidup dengan
penambahan pengetahuan dari media internet Orang tidak dianggap eksis bila
tidak memiliki e-mail atau bergabung dalam komunitas virtual seperti friendster
atau blogger. Lembaga tidak dianggap eksis bila tidak memiliki website atau situs
resmi.
2. Kolonialisasi
Munculnya teknologi komunikasi menyebabkan arus informasi dari negara
maju ke negara berkembang adalah tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini
menyebabkan masyarakat negara tertentu lebih banyak mengkonsumsi informasi
dari negara yang rich informations (maju). Sehingga memungkinkan munculnya
kolonialisasi> Kolonialisasi disini bukannya taktik imperialisme dalam penaklukan
negara lain melalui akuisisi tanah dan wilayah namun berupa penjajahan melalui
arus informasi.
Perkembangan Teknologi Komunikasi
Edwi Arief Sosiawan, M.Si Kuliah 12
www.edwias.com edwias@yahoo.com

KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI: UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA

KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA
Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage
Oleh:
Etty Saringendyanti
Makalah Hasil Penelitian
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi:
Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda
Oleh : Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
NIP. 131573160
Evaluator,
H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum. Dr. Wahya,
M.Hum.
NIP. 131472326 NIP. 131832049
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah,
Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum.
NIP 132102926
2
KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA
Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology: Meaningly of
the Sundanese Culture Heritage
Oleh:
Etty Saringendyanti1
ABSTRAK
Penelitian “Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi: Upaya Memaknai
Warisan Budaya Sunda”, membahas masalah kosmologi yang tertuang di dalam
mitologi masyarakat Kampung Naga yang tinggal di desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
arkeologi khususnya arkeologi kognitif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi
dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang
berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun
ajaran Islam. Mitologi itu tersirat dari mitos, ritual (upacara adat), dan seni tradisi.
Mitos diperoleh dari cerita lisan tentang asal usul Kampung Naga, serta mitos ruang
dan waktu. Ritual digambarkan dalam Upacara Hajat Sasih, Nyepi, Panen, dan
upacara lingkaran hidup (life cyrcle) berupa upacara gusaran dan perkawinan. Dalam
pada itu, seni tradisi yang masih dapat disaksikan di Kampung Naga adalah terbang
gembrung, angklung, serta beluk dan rengkong.
Kata Kunci: Kampung Naga, Kosmologi, Mitologi
1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Satra Universitas Padjadjaran,
Bandung.
3
ABSTRACT
The research of “Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage,” describe about cosmology matter
that involved in the mythology of Kampung Naga society that live at Neglasari
Village, Salawu District, Tasikmalaya Regency. The method that used on this
research is archaeology method, especially cognitive archaeology.
The result of this research obtained that Sundanese cosmology that involved in
mythology and space structuring of Kampung Naga was a shape of acculturation
from local minded which originated from the prehistoric times, especially megalitic
tradition, Hindu, Budha, and even Islam. The mythology implied from myth, ritual,
and tradition art. The Myths is obtained from oral story about the origin of Kampung
Naga; and the myth of spacial and time. The ritual described in Hajat Sasih, Nyepi,
Panen, and life cyrcle that still witnessed is gusaran and wedding ceremonial.
Afterwards, tradition art that still live in Kampung Naga is terbang gembrung,
angklung, beluk and rengkong.
Key Word: Kampung Naga, Cosmology, Mythology:
4
PENDAHULUAN
Warisan budaya bangsa Indonesia, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik
berupa artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam
masyarakat adat sudah selayaknya diapresiasi oleh peneliti lokal agar lebih mampu
menghayati makna warisan budaya tersebut. Bagaimanapun, warisan budaya
memiliki daya tarik sebagai komoditi wisaya budaya atau heritage tourism.
Pemberian makna kepada berbagai bentuk warisan budaya adalah suatu upaya
pemahaman terhadap bagaimana masyarakat masa lalu memandang dan
memperlakukan tradisi leluhur. Dalam teori kebudayaan yang menyatakan bahwa
kebudayaan itu berada di antara warga masyarakat, merupakan pandangan semiotika.
Benda-benda hasil kebudayaan dan acuannya berada di luar interpretan (interpretant)
atau “pembaca”.2 Semiotika dalam arkeologi merupakan salah satu kajian arkeologi
kognitif, yang mengkaji sistem simbol dari suatu masyarakat melalui artefak. Salah
satu warisan budaya Sunda, yang tersimpan dalam pemukiman adat di Tatar Sunda
adalah Kampung Naga di desa Ne glasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya.
Dari latar belakang sejarahnya, masyarakat adat Kampung Naga mengaku
keturunan dari Eyang Singaparna, pewaris terakhir tahta Kerajaan Galunggung3 yang
beragama Islam. Namun bila dilihat dari tata cara mereka melakukan ritual agama,
2 Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam Meretas
Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat.
Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 32.
3 Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.176-177.
5
yang lebih sarat dengan kehindu-budhaannya, dan seni tradisi yang masih
berkembang di kampung itu, sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Paling sedikit
dalam dua kontribusi penelitian, yaitu :
1. Sebagai referensi bagi peneliti lain dalam menafsirkan sistem simbol, khususnya
pengkajian mitologi pada masyarakat Sunda di wilayah lain;
2. Pengembangan studi arkeologi, terutama agar tidak lagi terpaku pada karya
arkeologi yang bersifat konvensional, melainkan juga kajian-kajian lain yang
cukup menentukan perjalanan budaya bangsa Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengacu pada penelitian arkeologi, khususnya arkeologi
kognitif. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau dengan tujuan
untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara hidup manusia, dan
merekonstruksi proses budaya.4 Sementara arkeologi kognitif adalah cabang disiplin
arkeologi yang berusaha mempelajari dan menggunakan sistem simbol untuk
menangani masalah-masalah arkeologi.5 Untuk mencapai tujuan itu, da lam
implementasi di lapangan, arkeologi menggunakan berbagai tahapan dimulai dari
observasi, deskripsi dan akhirnya eksplanasi.
Observasi merupakan proses pencarian dan pengumpulan data, baik data
tertulis maupun data lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan
data tertulis dilakukan pada sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder,
4 Binford, L.R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press, hlm 78-89.
5 Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press, hlm. 143.
6
berupa arsip, artikel, dan buku-buku. Data lapangan diperoleh melalui survei di
Kampung Naga, berupa perekaman mitologi dan tata ruang Kampung Naga melalui
pendekatan terhadap masyarakat adat Kampung Naga.
Sumber-sumber yang dikumpulkan itu, diidentifikasi dan diolah melalui
tahapan deskripsi. Dalam kajian arkeologi kognitif penelitian dilakukan melalui pola
penalaran induktif yang menghasilkan gambaran adanya kemungkinan persamaan
antara gejala budaya masa lampau dengan budaya masa kini. Artefak yang bertahan
hingga kini merupakan tanda dari acuan yang berasal dari masa lalu. Hubungan
antara tanda dengan acuannya membentuk tiga sifat, yaitu Natural yang melahirkan
tanda indeks (index); Formal yang melahirkan tanda ikon (icon); Arbitrary yang
melahirkan tanda simbol (symbol).6 Acuan dapat berupa konsep, nliai-nilai,
kepercayaan, dan lain-lain yang berkembang dan dikenali di tengah masyarakat
pembuat tanda tersebut. Oleh karena itu, suatu artefak dapat berupa tanda indeks,
ikon, atau simbol, tergantung dari sifat hubungan antara tanda dengan referennya.
Tahapan terakhir yang dilakukan adalah eksplanasi, berwujud rekonstruksi budaya
masyarakat Kampung Naga dari masa ke masa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KAMPUNG NAGA
Kampung Naga terletak di sebuah lembah yang subur. Berada pada ketinggian
+ 1.200 m. dapl., di pinggiran Sungai Ciwulan yang mata airnya bersumber dari
6 Eco, U. 1979. The Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press, hlm. 178.
7
Gunung Cikuray.7 Secara administratif, Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Untuk sampai ke Kampung Naga, perjalanan dapat ditempuh langsung dari
Bandung atau transit di Garut, sejauh lebih kurang 106 km dari Bandung atau sekitar
26 km dari kota Garut, tepat di Kampung Rancak (Salawu). Selain itu, dapat pula
ditempuh melalui rute Tasikmalaya -
Garut, dengan jarak tempuh sekitar 30
km. hingga ke Kampung Rancak
(Salawu) tadi. Di kampung inilah Dinas
Pariwisata Tasikmalaya mendirkian
gapura selamat datang, lahan parkir
wisatawan, dan pusat informasi wisata,
serta sejumlah bangunan tambahan.
Lalu melalui tangga di sisi barat area
ini, pengunjung meneruskan perjalanan
menuju Kampung Naga sejauh sekitar 800 -
900 meter lagi dengan berjalan kaki .
Pertama-tama menuruni jalan kecil yang
berbelok-belok hingga ke tepian Sungai
Ciwulan. Jalan kecil ini merupakan jalanan
semen yang dibuat berundak dengan anak tangga (Sunda: sengked) sebanyak 335
buah anak tangga dengan kemiringan + 450. Kemudian melalui sebuah jembatan dari
7 Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, hlm. 11.
8
anyaman bambu menyeberangi sungai dan kembali menyusuri tepi an Sungai
Ciwulan hingga ke bagian depan kampung.
Mata pencaharian utama penduduk Kampung
Naga adalah bertani sistem tadah hujan atau irigasi
dari air pegunungan. Lahan pertanian masih diolah
dengan cara dan peralatan tradisional, dicangkul,
diguru, diwaluku, dan lain-lain. Sebagai penyubur,
umumnya digunakan pupuk kandang.
Selain bertani padi, dewasa ini sebagian
besar penduduk juga lebih menekuni produksi
barang handicrafts, terutama karena semakin tingginya arus wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke perkampungan
mereka. Barang-barang tersebut antara
lain anyaman udang-udangan, tas tangan
dan barang-barang kebutuhan lokal
lainnya, seperti bakul (boboko), kukusan
(aseupan), kipas, tampah (nyiru), dan
lain-lain.
Pola pemukiman Kampung Naga
merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada
dengan sebuah lahan kosong l(apang) di tengah-tengah kampung. Pola
perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola
perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana sini terjadi perubahan. Adanya
kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan
9
sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga dengan
bentuk rumahnya (Lihat sketsa berikut).
Jika dicermati dengan seksama, masyarakat Kampung Naga membagi
peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
1. Kawasan suci
Kawasan suci adalah sebuah bukit
kecil di sebelah barat pemukiman yang
disebut Bukit Naga serta areal hutan
lindung (leuweung larangan) persis di
tikungan tapal kuda di timur dan barat
Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan
lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan,
berupa semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap
hutan tutupan (leuweung tutupan atau leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit
Naga inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di
dalamnya makam para uyut
10
2. Kawasan bersih
Kawasan bersih bisa
diartikan sebagai kawasan bebas
dari benda-benda yang dapat
mengotori kampung. Baik dari
sampah rumah tangga maupun
kotoran hewan, seperti kambing,
sapi atau kerbau, terutama anjing.
Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain
rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, masjid, leuit, dan
patemon
3. Kawasan kotor
Dimaksud kawasan kotor
adalah kawasan yang
peruntukkannya sebagai kawasan
kelengkapan hidup lainnya yang
tidak perlu dibersihkan setiap saat.
Kawasan ini permukaan tanahnya
lebih rendah dari kawasan
pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini
antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan
kolam.
11
MITOS, RITUAL, DAN SENI TRADISI
Sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, masyarakat
Sunda memiliki pandangan kosmologis8 yang diwariskan oleh leluhurnya. Secara
kultural pandangan kosmologi itu tergambar dalam khazanah mitologisnya. Dalam
sebuah mitologi9 terdapat suatu pola dasar yang mempersatukan secara harmoni
realitas-realitas dan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Eliade
menyebut pola ini sebagai coincidentia oppositorum.10 Sebuah mitos11 akan
mengungkapkan struktur keilahian yang dapat mengatasi dan mendamaikan
pertentangan secara lebih mendalam dari yang bisa diungkapkan oleh pengalaman
rasional. Misalnya, bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana
situasi yang kacau menjadi teratur, bagaimana yang tidak dapat mati menjadi mati,
bagaimana manusia yang semula hanya sepasang menjadi beraneka suku bangsa,
bagaimana mahkluk-mahkluk tak berkelamin menjadi lelaki dan perempuan, dan
sebagainya. Mitos tidak hanya menceritakan asal mula dunia, binatang, tumbuhan,
dan manusia, melainkan juga kejadian-kejadian awal yang menyebabkan manusia
menemukan jati dirinya. Melalui penghayatan sebuah mitos yang dituangkan lewat
upacara ritual, seseorang bisa meniru bagaimana mencapai yang illahi dengan
8 Pandangan kosmologis merupakan upaya pemetaan dan memposisikan diri seseorang atau
masyarakat dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya (Ahmad Gibson Al Bustomi
dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008).
9 Kata mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos
atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos.
10 Eliade, M. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius, hlm. 73.
11 Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai
cerita. B. Malinowski membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Legenda
lebih sebagai cerita yang diyakini seolah-olah merupakan kenyataan sejarah. Dongeng
mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus, dan tidak diyakini
sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Sementara mitos merupakan pernyataan
atas suatu kebenaran tentang realitas asal yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi
dari kehidupan primitif (Dhavamony, 1995: 147).
12
berpartisipasi secara simbolis dalam keadaan ketika manusia dicipta dan ditata oleh
yang illahi dan adikodrati.12
Pada umumnya tingkah laku manusia dapat diamati melalui ritual dan mitos.
Ritual merupakan rangsangan bagi lahirnya mitos. Dari mitos kemudian muncul
agama, dan agama itu terdiri dari pelaksanaan ritual. Ketika ritual dapat dinilai
dengan begitu mudah dari hasil-hasil yang tampak, memang tidak diperlukan mitos.
Namun ketika hasil yang dibayangkan dari ritual tidak begitu jelas terlihat sehingga
bila keyakinan terhadap efektivitas ini harus dipertahankan, maka dituntut suatu tipe
keyakinan yang lebih kompleks yang hanya dapat disimpulkan melalui mitos. Secara
keseluruhan fungsi mitos adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi ritus, serta
memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia. Mitos dan agama
sebagai satu kesatuan memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial.13
A.Mitos
Belum banyak mitos-mitos yang dapat digali dari masyarakat Kampung Naga,
karena banyaknya pertabuan yang harus ditaati mereka. Salah satu mitos yang dapat
diungkapkan sebagaimana disajikan dalam wacana berikut:.
A.1 Mitos asal usul kampung naga
Menurut Suharjo,14 penduduk asli Kampung Naga memang orang Sunda yang
dulunya sangat sederhana. Tinggal di atas pohon-pohon besar di lereng-lereng
Gunung Galunggung. Nenek moyang mereka yang kini dimakamkan di bukit sebelah
12 Dhavamony, M. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995, hlm. 149-150.
13 Ibid, hlm. 150-152.
14 Saat ini Suharjo menjabat sebagai Ketua RT Kampung Naga.
13
Barat kampung bernama Sembah Dalem Singaparna. Dinamakan Singaparna karena
ia dapat menaklukkan singa yang sedang mengamuk dengan kesaktiannya.
Singaparna dikenal sebagai seorang ulama sakti, putra dari Prabu
Rajadipuntang, Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke Linggawangi. Ketika
itu, Kerajaan Galunggung diserang oleh Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Prabu
Surawisesa (1535-1543) karena mereka telah menjadi pemeluk agama Islam,
sehingga tidak lagi menjadikan Kerajaan Sunda sebagai pusat. Menghadapi serangan
itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada
anak bungsunya yang bernama Snigaparana. Untuk melaksanakan tugas itu
Singaparana dibekali ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput bumi dina caang
(bersembunyi di keramaian).15 Eyang Singaparna memiliki enam putra yang
kesemuanya diwarisi ilmu linuwih dan meninggal di daerah tempat mereka
mengamalkan ilmunya.
A.2 Mitos Ruang dan Waktu
Mitos ruang diwujudkan dalam kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh makhluk halus, sehingga dianggap
angker (sanget) dan patut diberi sesaji (sesajen) agar penunggu tempat-tempat itu
tidak mengganggu mereka. Batas disini bisa ditemukan pada kategori yang berbeda,
misalnya sungai, pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, pesawahan dengan
selokan, tempat air masuk yang sering disebut dengan huluwotan, dan lereng bukit.16
Selain itu, mayarakat Kampung Naga memiliki mitos waktu. Waktu-waktu
yang disebut palintangan, adalah waktu yang dianggap buruk sehingga tabu untuk
15 http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.
16 http://hantu-hantu.com/tempat-angker-di-indonesia, diakses tanggal 10 September 2008
14
melaksanakan suatu ritual, atau pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti
bertani, dan melakukan perjalanan. Pertabuan itu didasari oleh perhitungan dawuh.
B. RITUAL
B.1 Upacara Hajat Sasih
Upacara hajat sasih dilaksanakan enam kali dalam setahun, atau masingmasing
satu kali dalam enam bulan yang diagungkan dalam agama Islam. Upacara
ini merupakan upacara penghormatan terhadap arwah nenek moyang, yang
dilaksanakan dalam satu hari tanpa menghentikan jalannya upacara apabila turun
hujan, karena hujan dianggap karunia. Setiap bulan pelaksanaan disediakan masingmasing
tiga tanggal untuk menjaga kemungkinan tanggal yang telah ditentukan
bertepatan dengan upacara lainnya, terutama upacara nyepi.
Upacara dimulai pada pukul 09.00 - 16.00 dipimpin oleh kuncen, lebe dan
tetua kampung. Dimulai dengan pembacaan doa bersama, serta bebersih dan ziarah
ke makam keramat sebagai inti upacara yang hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja.
Seluruh peserta upacara mengenakan jubah berwarna putih dari kain belacu atau
kaci, sarung pelekat, ikat kepala dari batik (totopong), dan ikat pinggang (beubeulit)
dari kain berwarna putih pula. Pakaian upacara ini tidak dipadu dengan perhiasan
apapun ataupun alas kaki.
B.2 Upacara Nyepi
Upacara nyepi jatuh pada setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Penghormatan
masyarakat Kampung Naga terhadap upacara ini sangat tinggi dan dapat menggeser
pelaksanaan upacara lainnya. Sebutan upacara nyepi bagi masyarakat Kampung
Naga tidak mencerminkan suasana sunyi senyap dan berhenti dari segala kegiatan
15
sehari-hari serta dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat, anak-anak, tua dan
muda. Jika dilihat dari inti kegiatan, sebenarnya upacara ini mungkin lebih tepat
disebut berpantang, pantang dalam artian benar-benar menghindari perbincangaan
mengenai adat istiadat serta asal usul masyarakat Kampung Naga, baik antar sesama
anggota masyarakat maupun pengunjung atau tamu asing lainnya.
B.3 Upacara Panen
Upacara panen merupakan upacara perorangan, artinya jika sebuah keluarga
akan memanen hasil sawahnya, maka keluarga tersebut melakukan upacara panen
guna menetapkan kapan hari pemanenan bisa dilaksanakan. Pencarian hari panen
dilakukan di rumah keluarga yang akan memanen hasil sawahnya, dibawah pimpinan
candoli, atau lebih sering oleh kuncen Kampung Naga dibantu oleh lebe dan tetua
kampung. Ditentukan melalui rangkaian penghitungan yang disebut palintangan.
Setelah pihak keluarga mendapatkan hari baiknya, maka acara panen di sawah
dilaksanakan, dan kemudian ditutup dengan upacara syukuran kepada Nyi Pohaci
Sang Hyang Asri
Pada hari panen keluarga yang akan memanen harus menyiapkan syarat-syarat
antara lain, sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung (pupuhunan), empos, nasi tumpeng,
dan sesajen pelengkap lainnya. Syarat-syarat ini di gunakan dalam pr osesi
pengambilan ibu padi.
B.4 Upacara Lingkaran hidup (life cycle)
Dalam masyarakat kita, setiap anak yang akan memasuki satu tahapan baru
dalam kehidupannya umumnya melewati pranata sosial atau dalam sebutan lain
upacara adat. Demikian pula dengan masyarakat Kampung Naga. Ada dua upacara
16
adat yang bertautan tahapan kehidupan yang hingga kini masih ditaati dan dijalankan
dari generasi ke generasi. Kedua upacara itu sebagai berikut:
B.4.1 Upacara Gusaran
Uacara Gusaran atau khitanan pada masyarakat Kampung Naga dilakukan
secara massal, artinya setiap anak laki-laki Sa Naga akan disunat dalam waktu yang
telah ditentukan, yaitu pada bulan Rayagung. Prosesi upacara terdiri dari tiga inti
rangkaian kegiatan, yaitu gusaran, lekasan, dan wawarian. Namun demikian, jika
dicermati, sebenarnya ada sejumlah upacara yang dirangkai menjadi pendahulu
upacara gusaran itu sendiri. Rangkaian upacara tersebut (lekasan) melebur dalam
upacara gusaran secara keseluruhan dan tidak kalah penting serta menarik untuk
disimak, yaitu mendapatkan pasangan, bebersih, pemberian wejangan, diarak keliling
kampung, ngala beas, pemotongan rambut, berebut sawer, khitanan dan wawarian
B.4.2 Upacara Perkawinan
Secara umum tradisi perkawinan masyarakat Kampung Naga sama dengan
tradisi perkawinan menurut adat Sunda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
masih dilengkapi dengan tradisi perkawinan Kampung Naga.
Sebelum akad nikah, calon pasangan pengantin terlebih dahulu harus
memenuhi beberapa persyaratan administrasi. Akad nikah dilakukan melalui ijabkabul
yang disebut dirapalan. Karena masyarakat Kampung Naga beragama Islam,
perkawinan dilakukan di depan penghulu dan dicatat di Kantor Urusan Agama
(KUA) setempat oleh petugas pencatat nikah (PPN). Penyelenggaraan upacara
perkawinan di Kampung Naga terkesan sederhana. Selain karena pertimbangan
17
ekonomi, lahan tempat penyelenggaraan juga terbatas sehingga undangan hanya
berkisar pada keluarga mempelai.
Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, persiapan berupa tahapan yang
tidak boleh dilewatkan menurut adat adalah, yaitu menentukan hari baik, melakukan
upacara seserahan, melakukan upacara ngeuyeuk seureuh dan, upacara perkawinan
C. SENI TRADISI17
C.1 Terbang gembrung
Masuknya terbangan atau terbang gembrung sebagai seni tradisi Kampung
Naga diduga berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Tanah Sunda. Terbang
gembrung hampir mirip dengan tagonian yang banyak dijumpai di daerah-daerah
pusat penyebaran Islam. Bedanya, bentuk dan ukuran terbang gembrung di Kampung
Naga lebih besar dan irama pukulannya lebih sederhana.
Terbang Gembrung adalah alat musik tradisional yang disajikan dalam bentuk
nyanyi. Bentuknya agak berbeda dengan terbangan yang biasa dilihat di luar
Kampung Naga. Terbangan di Kampung Naga berjumlah empat, tidak ceper atau
tipis, tapi agak bulat hampir menyerupai dogdog. Terbang kesatu (tingting)
berukuran lebih kecil dari terbang kedua (kemprang), terbang kedua lebih kecil dari
terbang ketiga (bangpak), dan terbang ketiga lebih kecil dari terbang keempat
(brungbrung). Terbang kedua dan ketiga baisanya disatukan dengan kayu
penyambung sehingga dapat dimainkan oleh seorang pemain.
17 Pemerian alat dan seni tradisi diambil dari Suhandi Shm., 1982. Penelitian Masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya. Bandung: Universitas Padjadjaran, hlm.64-66; Suganda,
2006: 101-103; dan wawancara penulis pada tanggal 10 Juni 2008.
18
Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemain
duduk berjejer sesuai ukuran terbang yang akan dimainkan. Lagu-lagu yang
dibawakan menggunakan bahasa Arab berupa pupujian yang mengagungkan
kebesaran Tuhan dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW.. Nyanyian yang
diambil dari kitab suci Al-Qur’an itu, dibawakan bersama-sama dengan iringan
pukulan atau bunyi terbang. Pertunjukan terbangan diadakan di dalam ruang Masjid,
atau di lapangan terbuka Kampung Naga. Pertunjukkan biasanya dimulai setelah
sholat Isya dan berakhir sekiatr pukul 24.00. Selain itu, trebangan juga
dipertunjukkan pada perayaan 17 Agustus untuk mengiringi jempana18 bersamasama
dengan angklung.
C.2 Angklung
Bentuk angklungdi Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan bentuk
angklung di luar Kampung Naga. Bedanya hanya dalam ukuran. Angklung Kampung
Naga berukuran lebih besar, terbuat dari beberapa ruas bambu.
Seperangkat angklung Kampung Naga terdiri dari empat angklung dengan
ukuran berbeda dari yang paling kecil sampai ke angklung yang paling besar. Cara
memainkannya dengan menggoyang-goyangkan instrumen bambu tersebut, dan
setiap unit angklung memiliki nada suara berbeda.
Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, angklung digunakan untuk mengiringi
jempana pada perayaan 17 Agustus, dan mengiringi peserta upacara gusaran.
Sebagai tradisi menghormati Nyi Pohaci, angklung dibunyikan untuk mengiringi
hasil panen (padi) dari sawah ke kampung. Biasanya angklung dimainkan oleh laki-
18 Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari
potongan bambu berbentuk menyerupai trapesium.
19
laki, meskipun secara adat wanita pun boleh memainkan alat ini. Namun karena
bentuknya besar sehingga berat, laki dianggap lebih mampu memainkannya.
C.3 Beluk dan Rengkong
Beluk dan Rengkong merupakan dua jenis kesenian yang sudah ajrang
dijumpai. Seni Beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak
menggunakan nada-nada tinggi. Pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih, yang
secara bergiliran menyanyikan syair dari wawacan.19 Seni beluk biasanya digelar
pada malam sebelum berangkat tidur bertempat di rumah tetangga atau keluarga
yang baru melahirkan. Di bawah temaramnya sinar lampu teplok, beluk dinyanyikan
di ruang depan (tepas imah). Pemain atau pendengar duduk santai mengikuti acara
itu. Lagu-lagu yang ditembangkan berasa l dari pupuh seperti kinant2i,0
asmarandana,21 sinom,22 durma,23 dan sebagainya yang disampaikan dengan
membawakan kisah-kisah yang sumbernya diambil dari wawacan.
Dalam hal pemain tidak bisa membaca, juru ilo membantu pemain itu dengan
membacakan satu pupuh hingga selesai, baru kemudian ditembangkan. Sebagai
contoh adalah pupuh kinanti berikut, yang diajarkan di SR (sekarang SD), dan sangat
populer di era tahun 1950-1960an. Pupuh ini mengisahkan seekor kelelawar yang
19 Wawacan adalah cerita yang biasanya ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sunda.
Temanya diambil dari kisah-kisah kepahlawanan Baginda Ali dalam menyebarkan agama
Islam.
20 Pupuh Kinanti menggambarkan perasaan seseorang yang sedang menanti orang tercinta.
21 Pupuh Asmarandana menggambarkan perasaan orang yang sedang kasmaran.
22 Pupuh Sinom menggambarkan perasaan orang yang sedang diruntung kesedihan, sehingga
ungkapan katanya penuh nasihat.
23 Pupuh Durma menggambarkan hati seseorang yang sedang menghadapi lawan di medang
perang.
20
diibaratkan anak kecil. Setiap malam kelelawar ini melayang-layang mencari buahbuahan
yang sudah matang, atau apa saja yang berhasil ditemukannya
Budak leutik bisa ngap(u)ng
Babakuna unggal peut(i)ng
Kalayang kakalayang(an)
Neangan nu amis-am(i)s
Sarupaning bubuah(a)n
Naon wae nu kapangg(i)h.
KOSMOLOGI DAN WARISAN BUDAYA SUNDA
A. Kosmologi
Mircea Eliade24 mengatakan bahwa manusia religius memiliki sikap tertentu
terhadap kehidupan, dunia, manusia, dan apa yang dianggapnya suci (sakral). Dunia
baginya terbatas pada wilayah yang sudah dikenal, sebagai kosmos, suatu wilayah
yang sudah “dikonsentrasikan”. Sementara di luar wilayah itu, adalah dunia yang
kacau (chaos) sebagai tempat tinggal para roh, jin, setan, dan sejenisnya. Daerah itu
bisa teratur kembali jika dilakukan penciptaan kembali kosmogoni (semesta alam)
oleh para dewa atau kekuatan supranatural melalui upacara. Pada prinsipnya semesta
alam terdiri dari tiga lapisan, yaitu dunia atas merupakan dunia illahi, surga, tempat
para dewa, dan para leluhur; dunia tengah merupakan dunia yang dihuni oleh
makhluk hidup yaitu manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan dunia bawah
merupakan tempat dimana makhluk hidup itu mati. Ketiga lapisan ini dihubungkan
oleh satu poros yang disebut axis mundi. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia
yang menghubungkan satu lapisan dengan lapisan yang lain. Melalui axis mundi
24 Dalam buku berjudul The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
21
manusia dapat berhubungan dengan dunia atas dan dunia bawah.25 Pandangan
kosmologi di berbagai belahan dunia, memiliki konsep tersendiri walaupun pada
prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pembagian wilayah tersebut.
Gambaran kosmologi yang bersumber pada agama Hindu India,
mengungkapkan bahwa alam semesta terdiri dari sebuah benua berbentuk lingkaran,
disebut Jambudwipa, yang merupakan tempat tinggal manusia dan berbagai hewan
lainnya. Jambudwipa ini dikelilingi oleh tujuh rangkaian samudra dan tujuh
rangkaian pegunungan secara berselang-seling. Lingkaran alam semesta itu berpusat
pada Gunung Mahameru (Meru), gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan,
dan bintang-bintang. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal para
dewa. Sementara di kedelapan arah Gunung Mahameru dijaga oleh dewa-dewa Astadikpalaka.
Menurut Budhisme pun gambaran alam semesta hampir sama dengan uraian
kosmos pada Hinduisme. Gunung Mahameru menjadi pusat dari alam semesta.
Perbedaannya adalah di luar rantai pegunungan ketujuh terdapat samudra; dan di
keempat arah mata anginnya terdapat empat benua. Benua yang terletak di selatan
adalah Jambudwipa, tempat tinggal manusia dan berbagai makhluk hidup lainnya.
Sementara di ketiga benua lainnya hidup berbagai makhluk ajaib. Alam semesta itu
dikelilingi pula oleh barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Mahameru terletak
surga terendah, tempat tinggal keempat Raja besar sebagai penjaga dunia.26
25 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 44-49.
26 Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali, hlm. 4-5.
22
Dalam Kropak 422,27 sebuah kisah mitologis yang menggambarkan kosmologi
Sunda abad ke 14 – 15 M, dikisahkan bahwa alam raya terbagi ke dalam tiga dunia,
yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan jatiniskala (kemahagaiban
sejati). Penghuni sakala adalah berbagai makhluk yang bisa dilihat dan diraba seperti
manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Penghuni niskala adalah berbagai makhluk
yang tidak berjasad, berupa anasir-anasir halus seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari,
apsara-apsari, roh-roh netral yang disebut syanu, bayu, sabda, dan hedap. Di antara
mereka ada yang telah dikenal dengan nama-nama serta tugasnya masing-masing di
alam gaib itu, baik di alam kesurgaan maupun di neraka. Jumlah mereka banyak dan
bisa bergabung antara satu dengan yang lainnya. Apabila roh netral bergabung
dengan bayu, sabda, dan hedap, gabungan itu adalah sukma yang disebut syaku.
Sukma yang terbuang ke sakala akan bergabung dengan anasir-anasir fisikal
sehingga di antara mereka ada yang menjelma menjadi manusia, hewan, atau
tumbuhan. Dalam kondisi demikian, sukma itu terpenjara oleh jasad. Penjelmaan
yang paling sempurna adalah manusia. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk
berusaha berbuat kebaikan agar kelak sukma bisa kembali ke kodrat sejati di
kahyangan (Sorga tertinggi) yang disebut mencapai moksa. Sementara manusia yang
terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa yang serakah, tamak, dan
rakus terhadap hal-hal lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala
sebagai penghuni Kawah (neraka). Meskipun menurut aturan para dewa, mereka bisa
mendapat keringanan, namun sukma itu harus mengalami reinkarnasi ke alam sakala.
27 Kropak 422 berada di bagian naskah Perpustakaan Nasional, Jakarta. Sebelumnya naskah
ini merupakan pemberian Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat pada perempatan ketiga
abad ke-19. Pada mulanya naskah itu disimpan di Kawali (Ciamis). Ditulis dalam aksara
dan bahasa Sunda Kuna (Darsa, dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15).
23
Penghuni jatiniskala adalah dzat Yang Maha Tunggal yang dinamakan Sang Hyang
Manon. Dzat Maha Pencipta yang disebut sebagai Si Ijunajati Nistemen, pencipta
batas tetapi tidak terkena batas.28
Pandangan serupa juga diperoleh dari naskah Serat Catur Bumi dan Sang
Hyang Raga Dewata,29 Sewaka Darma,30 Kawih Paningkes dan Jatiniskala, 31serta
Sri Ajnyana.32
Dalam penataan ruang, Kampung Naga dibagi atas tiga kawasan yaitu kawasan
suci, kawasan bersih, dam kawasan kotor. Termasuk kawasan suci adalah sebuah
bukit kecil yang disebut Bukit Naga, hutan tutupan (leuweung karamat) di sebelah
barat perkampungan, dan hutan lindung (leuweung larangan) di sebelah timur Sungai
Ciwulan. Di bukit dan hutan tutupan (leuweung karamat) inilah ditempatkan tanah
pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di dalamnya makam para uyut.
Wilayah ini hanya boleh dikunjungi oleh laki-laki Kampung Naga pada saat upacara
Hajat Sasih. Dalam pada itu, hutan lindung (leuweung larangan) merupakan tempat
para roh halus (dedemit) yang dipindahkan oleh Sembah Dalem Singaparana dari
wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi lahan pemukiman masyarakat
Kampung Naga. Rumah pertama yang didirikan dan menjadi tempat tinggal
Singaparna adalah rumah yang sekarang disebut bumi ageung. Wilayah ini
28 Darsa, dan Edi S. Ekadjati. 2006. Kosmologi Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama,
hlm. 24-26.
29 Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi dan
Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota Foundation dan Fakultas
Sastra Uiversitas Padjadjaran.
30 Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
31 Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan Terjemahan.
Bandung: Sundanologi.
32 Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.
24
merupakan tempat yang sangat dilarang untuk dijamah oleh siapa pun, baik turis
maupun warga Kampung Naga.33
Kawasan bersih adalah kawasan yang berada dalam areal pagar kandang jaga
yang menjadi pemukiman masyarakat Kampung Naga. Kawasan ini merupakan
kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung. Di dalam kawasan
ini selain sebagai tempat mendirikan rumah tinggal --termasuk di dalamnya rumah
kuncen dan rumah ketua RT-- juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung,
masjid, leuit, dan patemon
Kawasan kotor adalah areal atau kawasan yang peruntukkannya sebagai
kawasan kelengkapan hidup lainnya, tidak perlu dibersihkan setiap saat. Wilayah ini
merupakan wilayah yang permukaan tanahnya lebih rendah dari pemukiman, terletak
bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini antara lain terdapat
pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan kolam
Secara kosmologis, ketiga wilayah itu merupakan gambaran kosmos Kampung
Naga. Negoisasi antara ajaran lokal (Prasejarah yaitu tradisi megalitik dalam hal
pengagungan kepada arwah Nenek Moyang, Hindu dan Budha), dan ajaran Islam
tampak dalam penataan ruang Kampung Naga. Penataan ruang berdasarkan arah
mata angin dan gunung suci (Gunung Mahameru) digambarkan sebagai berikut: di
sebelah barat merupakan perbukitan Naga dan hutan tutupan (leuweung karamat)
yang merupakan tempat keluarga dan nenek moyang mereka dimakamkan,
perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan
Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan
33 Wawancara dengan Bapak Ridho (70 tahun), warga Kampung Naga, pada tanggal 31
Oktober 2008.
25
tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung
Larangan dibatasi oleh Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh
masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung.
Jika dikaitkan dengan pandangan kosmologi, baik Hindu, Budha, atau
kosmologi yang tergambarkan dalam naskah Sunda terlihat perpaduan di antara itu.
Mereka membangun struktur ruang atas-tengah-bawah, atau baik-netral-buruk.
Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Karamat di arah barat adalah sumber
kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung larangan sebagai wilayah
chaos, merupakan tempat roh jahat (dedemit), dan leweung karamat merupakan
sumber kebaikan. Masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan
kesakralan ke arah barat.
Negosiasi antara ajaran Islam dan ajaran lokal, terlihat pada penempatan hutan
keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid. Arah barat pada masa
sebelum Islam ada, merupakan akhir perjalanan matahari yang merupakan simbol
akhir perjalanan manusia yaitu mati atau kembali kepada yang kuasa. Ketika ajaran
Islam merebak ke wilayah itu, masyarakat di Kampung Naga percaya bahwa kiblat
adalah simbol Ka’bah,. sehingga menghadap ke kiblat berarti terlebih dahulu harus
melalui penghadapan terhadap harta pusaka di bumi ageung dan hutan keramat.
Keinginan mendapatkan kesakralan Ka’bah didahului oleh penghubungan diri
terhadap nenek moyang yang dimakamkan di Leuweung Keramat. Pandangan ini
mungkin menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji.
Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Nabi yang dianggap suci. Oleh
karena itu, mereka tidak membutuhkan kiblat yang dibungkus oleh Bumi Ageung
dan Leuweung Keramat.
26
Dengan demikian, axis mundi dapat dilihat pada komposisi bahwa seluruh
rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat
pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun.
Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia dalam himpitan antara yang
sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan). Kondisi itu
mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan, karena
kedua dunia yang menghimpit itu telah memengaruhi waktu kehidupan manusia,
yaitu waktu baik dan waktu tidak baik. Dalam segala aktivitas, baik dalam mencari
keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka, mereka berpatokan
pada tiga kata, yaitu Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (dunia atas),
Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (dunia
tengah), dan Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik.34
Gambaran kosmologi juga dapat dilihat pada bentuk rumah masyarakat
Kampung Naga. Rumah (imah) atau
lebih dihaluskan bumi merupakan
bagian dari rangkaian kosmogoni
sebagaimana kandungan arti bumi
sebenarnya. Dengan sandaran itu
maka imah atau bumi bagi
masyarakat Kampung Naga
merupakan bangunan yang sudah memiliki aturan-aturan pembuatan dan penataan
yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip kembali ke alam. Pembagian wilayah dunia
34 Lihat juga, Ahmad Gibson AlBustom, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”, dalam
http://g13b.blogdetik.com, Posted on April 14th, 2006, diakses tanggal 7 November 2008.
27
atas, dunia tengah, dan dunia bawah terdapat pada penataan ruang sebagaimana
tertera pada bab sebelumnya.
B. Warisan Budaya Sunda
Secara umum, warisan budaya adalah tinggalan yang sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari kata pelestarian budaya, sehingga proses pelestarian adalah sesuatu
yang berupa warisan. Secara lebih spesifik, warisan budaya merupakan pusaka
Indonesia yang mencakup pusaka alam dan budaya yang membentuk kesatuan
pusaka yang beraneka ragam, yang merupakan bentukan alam dan hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, baik secara
sendiri-sendiri, perpaduan dengan budaya lain, dan sebagai kesatuan bangsa
Indonesia di sepanjang sejarah keberadaannya.35
Dalam pengertian Sumber Daya Arkeologi atau benda warisan budaya menurut
UU No 5 Th 1992, sebagai berikut:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurangkurangnya
50 tahun, atau mewakili masa sekurang-kurangnya 50 tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan.
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting sebagaimana butir a.
Disamping memiliki nilai penting sebagaimana disebutkan dalam UU No 5 Th
1992, Sumber daya arkeologi juga memiliki nilai penting etnik dan publik.
35 Draf Piagam Pelestarian Pusaka Saujana Indonesia alinea kedua, dalam Naniek Widayati,
2003, Kongres Kebudayaan Indonesia ke V, Bukittinggi, 19-23 Oktober, hlm. 3.
28
Kampung Naga sebagai salah satu Sumber Daya Arkeologi memiliki nilai
penting kebudayaan, etnik, dan publik. Dengan demikian, jika ingin mengambil
manfaat dari sumber daya itu, Kampung Naga harus dipelajari melalui penelitian
budaya sehingga bisa memahami manfaat yang diperoleh. Untuk kemudian
menerjemahkan pengetahuan itu untuk masyarakat, sehingga dari masyarakatlah
proses ini berawal dan kepada mereka jugalah semua itu harus diserahkan.
29
DAFTAR SUMBER
Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan
Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..
Kluckhohn, Clyde. 1942. “Myths and Ritual: A General Theory”, dalam Harvard
Theological Review, XXXV, hlm.78-79.
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. Ithaca, New York: Cornell University
Press, hlm. 143.
Darsa, Undang A. Dan Edi S. Ekadjati. 2006. Gambaran Kosmologi Sunda.
Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, edisi ke 10. Yogyakarta:
Kanisius
Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi
dan Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota
Foundation dan Fakultas Sastra Uiversitas Padjadjaran.
Eliade, Mircea.The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali.
Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup (Studi Tentang Pantangan dan Larangan).
Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan.
Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam
Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan
Rahayu Hidayat. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Munandar, Agus Aris. 2004.”Memaknai Warisan Masa Lalu: Data Arkeologi dan
Karya Sastra”, dalam Sang Tohaan. Persembahan untuk Prof.Dr.
Ayatrohaedi, Bogor: Akademia.
Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV
Press.
Peursen, C. A. van.. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.175-185.
30
Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Suganda, Her. 2006. Kampung Naga: Memepertahankan Tradisi. Bandung: PT
Kiblat Buku Utama
Suhandi Shm., A. 1982. Penelitian Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Sumardjo, Jacob. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun
Sunda. Bandung: Kelir.
______________ 2006. Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi. Bandung:
Kelir.
Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta:
Kanisius.
Widayati, Naniek. 2003. “Strategi Pengembangan Warisan Budaya: Sebuah
Pandangan dari Sisi Arsitektur”, dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke V,
Bukittinggi, 19-23 Oktober.
Internet
Ahmad Gibson AlBustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”. Posted on
April 14th, 2006, http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei 2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Struktur Kosmologis dan Apresiasi Seni Tradisi”,
Posted on April 18th, 2006, dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei
2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Latar kosmologi Seni Tradisi: Kritik Nalar
Poskolonial”, July 11, 2008 dalam http://averroes.or.id/2008. diakses 21 Mei
2008.
http://gerbang.jabar.go.id/kabtasikmalaya
http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.

Informatika Sosial

Apakah Informatika Sosial itu?

Informatika Sosial (IS) adalah studi yang sistematik dan interdisipliner pada disain, penggunaan dan konsekuensi dari Teknologi Informasi, yang ambil bagian pada interaksi dengan institusi dan konteks budayanya. Sehingga, ini merupakan studi aspek sosial dari komputer, telekomunikasi dan teknologi yang berhubungan, serta menguji isu-isu, misalnya bagaimana TI membentuk hubungan antara organisasi dan aspek sosialnya, bagaimana gerakan sosial mempengaruhi penggunaan dan disain TI. Sebagai contoh, peneliti IS tertarik pada pertanyaan mengenai akibat pengembangan TI di masa depan. Bagaimanapun, tidak seperti gaung spekulasi pada umumnya, strategi peneliti IS biasanya berdasar pada data empirik. Peneliti SI menggunakan data untuk menganalisis keadaan saat ini dan yang baru saja terjadi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bagaimana perubahan sosial itu dimungkinkan, yang masuk akal dan dimungkikan pada masa akan datang.

Istilah TI biasanya merujuk pada berbagai aplikasi yang luas, misal email, pengolah kata, program pengubah video, perambah jajaring, sampai pada teknologi yang mendukung berbagai aplikasi yang berbeda, misal jaringan fober-optik. Pada tataran individu, penggunaan TI membutuhkan penggunaan seperangkat aplikasi TI yang spesifik, misalnya datbase atau internet. Di Amerika Utara, istilah TI sering digunakan agak tidak tepat, untuk merujuk pada aplikasi khusus atau teknologi dasar yang luas.

Salah satu konsep kunci dari IS adalah bahwa TI tidak didisain atau digunakan pada aspek sosial dan teknologi yang terpisah. Dari sudut pandang ini, kontek sosial dari TI mempengaruhi pengembangan, penggunaan dan akibatnya. Akibat, dapat terjadi dengan tidak langsung dan terlihat pada hitungan periode, tahun atau dekade, bukan pada hitungan bulan.

Dari perspektif SI, aplikasi TI dapat di lihat sebagai “jaringan sosio teknologi”, yang mana sistem terdiri dari berbagai elemen berbeda, seperti perangkat keras, perangkat lunak, kontrak resmi serta orang dalam hubungannya dengan orang lain dan dengan elemen sistem yang lain.

Dari perspektif non-IS, pada penggunaan dan efek dari TI terpusat hampir semata-mata pada katakteristik teknis (misal: fitur pemroses informasi pada komputer), dan posit specific effects due to those features.

Posisi ini disebut dengan detirminisme teknologi. Perspektif ini memandang banyak elemen penting, misalnya kontek sosial dan organisasional daro teknologi dan manusia yang menggunakannya. Beberapa perspektif juga membentuk asumsi yang keliru, isalnya asumsi bahwa aplikasi TI punya arti yang sama untuk semua yang menggunakannya dan akan mempunyai akibat yang sama untuk semua.

Pada area ini, misalnya, banyak orang yang antusias pada kemungkinan penggunaan internet untuk meningkatkan pendidikan publik di Amerika. Pada akhir 1990-an, banyak sekolah yang diberi internet dan mendapatkan laboratorium komputer. Bagaimanapun, banyak politisi dan orangtua yang tidak merealisasikan pelajar menggunakan internet untuk mendorong penelitian baru, dipengaruhi cara guru menggabungkan sumberdaya internet kedalam pengajarannya. Dalam banyak kasus, meskipin sekolah diberi akses pada internet, guru tidak dibantu dalam mengembangkan minat dan cara terbaik dalam mengajar menggunakan layanan internet.

Peneliti IS mengharapkan bahwa akan ada perbedaan mendasar pada nilai pendidikan intenet pada sekolah, dimana guru mempunyai cukup dukungan untuk memikirkan dan mengaplikasikan cara baru dalam mengajar, dibanding dengan sekolah yang tidak memiliki (intenet).

Dengan demikian, peneliti IS tidak akan mengharapkan untuk menemukan akibat yang sama pada lintas sekolah yang menerima koneksi internet.

Norma dalam Etika

Norma (dalam sosiologi) adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya

  • Manusia adalah makhluk ciptaan Allah
  • Manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya adalah kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lain.
  • Manusia mempunyai hak dan kewajiban.
  • Manusia bisa berbuat kesalahan dan melakukan penyimpangan atau pelanggaran norma – norma sosial.

Untuk memulihkan ketertiban dan menciptakan kestabilan diperlukan sarana pendukung yaitu organisasi masyarakat. Yang dalam pelaksanaannya dilandasi oleh kode etik tertentu sesuai dengan tujuan dari organisasi tersebut

Magnis Suseno (1975) mengemukakan hal yang menjadi dasar norma moral untuk mengakui perbuatan baik atau buruk yaitu Kebiasaan

Hobbes dan Rousseau seperti dikutip oleh Huijbers (1995) mengemukakan kesepakatan masyarakat sebagai dasar pengakuan perbuatan.

Aliran yang digunakan untuk menyatakan perbuatan moral itu baik atau buruk :

  1. Aliran Hedonise (Aristippus pendiri mazhab Cyrene 400 SM, Epicurus 341271 SM) Perbuatan manusia dikatakan baik apabila menghasilkan kenikmatan atau kebahagiaan bagi dirinya sendiri atau orang lain (perbuatan itu bermanfaat bagi semua orang).
  2. Aliran Utilisme (Jeremy Bentham 1742-1832, John Stuart Mill 1806-1873). Perbuatan itu baik apabila bermanfaat bagi manusia, buruk apabila menimbulkan mudharat bagi manusia.
  3. Aliran Naturalisme (J.J. Rousseau). Perbuatan manusia dikatakan baik apabila bersifat alami, tidak merusak alam.
  4. Aliran Vitalisme (Albert Schweizer abad 20).

Perbuatan baik adalah perbuatan yang menambah daya hidup, perbuatan buruk adalah perbuatan yang mengurangi bahkan merusak daya hidup

Sony Keraf (1991), Ada dua macam Norma:

  1. Norma Umum adalah Norma yang memiliki sifat universal, terbagi menjadi tiga :
    • Norma Sopan Santun
    • Norma Hukum
    • Norma Moral
  2. Norma Khusus adalaj Aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan dalam lingkup yang lebih sempit


IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURIWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.U SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA,IWANGEODRS GURU SOSIOLOGI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA.

ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI

ANALISIS SOSIOLOGI TERHADAP
INOVASI TEKNOLOGI
Chairil N. Siregar *)
Abstract
On one hand a technology innovation will increase the social strata of a community, and on the other hand, it causes some social conflicts though they can be controlled. Furthermore, the speed of a technology innovation will affect a society to which it is introduced. One of the effects is that the society experiences a cultural lag. Therefore, it is necessary that the engineers take into account the social aspects into their technology innovation. This tradition – in which science and sociology are combined – has existed since hundreds of years ago. This combination results from the fact that during the innovation process, some engineering and scientific problems cannot be separated from the economic, social, political, and cultural problems of a society.
Para ilmuan sosial telah menganggap teknologi sebagai suatu obyek yang menghasilkan masalah-masalah berskala besar yang harus mereka pecahkan. Akan tetapi pada suatu titik, mereka menganggap dengan mempelajari teknologi, sosiologi dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan teknologi.
Hal yang dipertanyakan pada masalah ini adalah pernyataan bahwa selama fase proses atau inovasi, teknik atau sains dapat dibedakan dari hal-hal lain yang dipengaruhi logika ekonomi atau komersial. Misalnya, adanya anggapan bahwa pada permulaan proses inovasi masalah yang harus diselesaikan merupakan masalah teknik, sedangkan masalah ekonomi, sosial, politik, maupun budaya timbul pada tingkat berikutnya. Pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa perbedaan dari dua hal di atas tidak mudah dipisahkan. Hal ini tampak jelas pada kasus “radical innovations" : sejak awal sains, sosial, ekonomi, atau politik tergabung sebagai satu kesatuan. Heterogenitas dan kompleksitas yang muncul pada akhir proses tidak diperkenalkan selama proses tersebut berlangsung.
*) KK-Ilmu Kemanusiaan FSRD ITB
ENGINEER-SOCIOLOGIST
(Insinyur – Sosiolog)
Untuk menggambarkan kapasitas seorang teknisi yang berperan sebagai Sosiolog (Sejarahwan, Budayawan, atau ekonom) diajukan beberapa aspek pengembangan dari sebuah penemuan besar, salah satu contohnya adalah: pengenalan mobil listrik (VEL) di Perancis.
Proyek ini mula-mula ditampilkan oleh sekelompok teknisi yang bekerja pada EDF (electricite de France) pada awal 1970-an. Mereka mengutamakan proyek pada teknik publikasi dan aplikasi permintaan dana pada agen-agen pemerintah.
Teknisi EDF mengajukkan rencana yang bukan saja menampilkan karakteristik kendaraan tersebut secara spesifik, tetapi juga masyarakat dunia yang dapat menggunakannya. Hal itu, pernah diterapkan Edison beberapa ratus tahun yang lalu, yang menggabungkan ilmu teknik dan sosial. Mula-mula EDF menjelaskan dengan mengambil contoh masyarakat konsumen urban post-industri yang sedang bergulat dengan pergerakan sosial. Pada saat itu mesin kendaraan mempunyai posisi yang sangat disorot, sehingga menjadi suatu bagian yang sering diserang. Mesin
Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi
Jurnal Sosioteknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006 124
pembakaran internal (Internal combustion engine) merupakan kebangkitan dari masyarakat industri. Siklus Camot dan produk–produknya terhenti untuk menunjukkan perlunya bentuk konversi energi yang lain. Pada satu sisi, kendaraan bertanggung jawab atas polusi udara. Pada sisi lain, kendaraan sangat berhubungan dengan masyarakat konsumen yang menganggap kendaraan pribadi sebagai suatu status sosial. Akan tetapi, propulsi listrik akan mengembalikan kendaraan pada posisinya, dengan mengurangi performance dan menjadikannya obyek yang sederhana dan berguna. Mobil listrik akan mengarah pada era baru transportasi umum dan tangan kelompok sosial yang berusaha meningkatkan kondisi dalam kota menggunakan iptek. Tujuannya adalah meletakkan iptek pada pengguna dan menghapuskan kategori sosial yang berusaha membedakan mereka berdasarkan apa yang mereka konsumsi. Para teknokrat dan pihak pemerintah didukung oleh sosiolog berusaha mengubah budaya masyarakat kelas atas untuk mau menggunakan transportasi umum bersama-sama dengan kelas yang lainnya, tetapi hal ini tidak mudah diterima oleh masyarakat kalangan atas. Kondisi seperti ini dapat diambil contoh pada Pemda DKI dengan mengoperasikan Bus Way yang bertujuan agar dapat dinikmati oleh lapisan masyarakat menengah ke atas, untuk mengantar ke tempat tujuan dengan selamat, nyaman, dan cepat. Disamping itu, pengoperasian Bus Way untuk mengurangi kemacetan, salah satunya disebabkan banyaknya masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi untuk sampai ketempat tujuan. Konsep ini tidak sepenuhnya berhasil, ada sasaran yang ingin dicapai oleh pihak Pemda DKI tidak terlaksana yaitu, mengurangi beroperasinya transportasi pribadi, tetapi kenyataannya masyarakat kelas atas, masih enggan untuk beralih menggunakan Bus Way, dan tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi untuk mencapai tempat tujuan. Keadaan ini disebabkan pada masyarakat kalangan atas masih melekat budaya feodal, tercermin dari perilaku yang cenderung arogan yang sulit untuk diatur, dan selalu menunjukkan kemampuannya memiliki inovasi teknologi yang melekat pada tranportasi yang dimilikinya, hampir setiap inovasi teknologi transportasi yang baru muncul selalu ia miliki, inovasi teknologi ini merupakan simbol dari status sosial dalam masyarakat. Jika ada inovasi teknologi transportasi pribadi yang baru diluncurkan, masyarakat kelas atas antri untuk membelinya Timbul pertanyaan untuk apakah inovasi teknologi pada transportasi pribadi ini dimiliki oleh masyarakat kelas atas ? Ternyata melalui inovasi teknologi transportasi pribadi yang dimiliki masyarakat kalangan atas tersebut dapat merupakan prestise atau menempatkan dirinya pada status sosial kelas atas didalam pergaulan suatu komunitas. Jika masyarakat kelas atas disarankan untuk menggunakan jasa transportasi umum sebagai alat transportasi untuk melakukan aktivitas, masyarakat kelas atas akan menolak, karena ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat kelas atas tidak menggunakan transportasi umum, di antaranya adalah sebagai berikut :
a) Transportasi umum berdasarkan pengalaman masyarakat kelas atas merasa tidak aman dan nyaman.
b) Masyarakat kelas atas merasa tidak memiliki kelebihan dengan masyarakat kebanyakan
c) faktor fisiologis, masyarakat menghindar untuk berjalan kaki menuju halte bus
d) Masyarakat tersebut tidak ingin kehujanan, kepanasan, dan polusi udara.
Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi
Jurnal Sosioteknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006 125
Faktor-faktor di atas kurang diperhatikan sehingga tujuan pihak Pemda DKI belum optimal mencapai tujuan. Sebenarnya, dengan mempelajari budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, dapat dicari solusi yang bisa mengubah budaya masyarakat kalangan atas, agar memilih alternatif transportasi umum sebagai alat transportasi utama. Untuk hal tersebut dapat diupayakan dengan berbagai cara, salah satunya adalah membuat peraturan“ Three in one “ sepanjang waktu, dan berlaku di seluruh jalan daerah perkotaan, serta diikuti dengan peraturan yang berat, jika ada masyarakat melanggar peraturan, maka dapat dikenakan sanksi jutaan rupiah. Selain itu, dapat juga membangun lahan parkir yang jauh dari gedung tempat melakukan aktivitas, sehingga mau tidak mau masyarakat kelas atas akan menjatuhkan pilihan menggunakan transportasi umum. Dengan diterapkannya peraturan ini diharapkan dapat mengubah kebiasaan masyarakat yang malas berjalan kaki, dan masyarakat yang selalu mengutamakan prestise. Peraturan ini kemungkinan dapat efektif, karena masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghindar dari sanksi berat yang diberikan pada dirinya. Dengan diterapkannya aturan tersebut, diharapkan masyarakat menaati peraturan yang telah ditetapkan.
Inovasi teknologi dapat meningkatkan kelas sosial masyarakat, melalui kecanggihan teknologi yang dimilikinya, seperti diketahui semakin canggih teknologi yang dimiliki seseorang, akan menempatkan status kelas sosialnya ditingkat atas, begitu juga sebaliknya semakin rendah teknologi yang dimilikinya atau tidak mampu memiliki teknologi, maka semakin rendah status sosial seseorang dalam suatu komunitas. Dengan demikian, inovasi teknologi dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Fenomena ini dapat membawa dampak yang positif dan negatif bagi perkembangan masyarakat, adapun dampak positif pada masyarakat adalah lebih cepat, nyaman, dan aman dalam melakukan aktivitas, sedangkan dampak negatif di antaranya masyarakat dapat melakukan korupsi, penipuan, dan perampokan. Disamping itu juga, dapat membuat pertentangan kelas, serta konflik pribadi terhadap inovasi teknologi, hal ini disebabkan individu tidak mampu menguasai atau memiliki inovasi teknologi tersebut. Lebih jauh dapat menimbulkan konflik kelas dalam masyarakat.
Teori konflik menjelaskan bahwa setiap masyarakat kapan saja dan dimana saja bila memperlihatkan terjadi perbedaan yang jauh antara yang kaya dan miskin akan dapat menimbulkan konflik sosial, dan konflik sosial ada pada berbagai aktivitas sosial.
Menurut Dahrendorf (1986) bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang penting, dan bukan pemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, individu yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaannya, tetapi ini tidak berarti bahwa ada hubungan intrinsik atau yang mengharuskan antara pemilikan dan kontrol. Kapitalisme berkembang dan perlahan-lahan berubah menjadi masyarakat pos-capitalist, pemilikan yang sah atas alat produksi dan kontrol yang efektif sudah dipisahkan. Pemilikan alat produksi dalam masyarakat industri post-capitalist sudah menyebar secara luas dikalangan pemegang saham, sedangkan kontrol yang efektif dilaksanakan oleh manajer atau eksekutif yang profesional. Meskipun manajer atau eksekutif tingkat tinggi, mungkin memiliki sebagian besar dari saham itu dalam perusahaan, kontrol mereka bukanlah berasal dari pemilikannya, tetapi dari posisi otoritasnya dalam perusahaan itu (Doyle, 1986)
Penggunaan inovasi teknologi/ teknologi baru dapat dikontrol, terutama kontrol sosial, sehingga konflikyang akn
Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi
Jurnal Sosioteknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006 126
terjadi dalam masyarakat dapat dikendalikan. Hal itu sejalan dengan pendapat Pinch Bijker (1984) mengabaikan ketetapan teknis, tetapi membuktikan bahwa kelompok sosial memainkan peran kritis pada lingkungan sosial dalam mendefinisikan pemecahan masalah yang timbul, selama pembutan inovasi teknologi, keadaan ini dimungkinkan mengingat bahwa, kelompok sosial memberi arti pada teknologi dan permasalahan yang ditimbulkannya dalam masyarakat.
Masyarakat sebagai pengguna inovasi teknologi harus lebih selektif dalam memilih teknologi yang digunakan, karena berkaitan dengan cost yang dikeluarkan . Menurut pendapat Homans (1986) konsep biaya (cost), imbalan (reward), dan keuntungan (profit).merupakan gambaran dasar mengenai perilaku manusia. Manusia terusmenerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-perilaku alternatif, dengan pilihan yang mencerminkan cost, reward, and profit diharapkan berhubungan dengan garis-garis perilaku alternatif. Perbandingan antara investasi dan keuntungan tercakup dalam pengertian keadilan distributif, seperti rasio antara cost dengan reward. Keadilan distributif menunjuk pada pertimbangan atau keputusan seseorang yang berhubungan dengan tepatnya suatu distribusi cost dan reward tertentu. Hal-hal lain seperti investasi yang seimbang yang diharapkan individu dalam suatu transaksi pertukaran adalah bahwa kalau cost-nya tinggi, reward-nya juga harus tinggi. Keadilan distributif menuntut bahwa mereka yang investasinya lebih tinggi harus menikmati keuntungan lebih tinggi (yakni, suatu rasio-cost-reward yang menguntungkan) Doyle (1986) dan dapat diformulasikan sebagai berikut
:
C > R (Individu tidak puas)
C = R ( Tidak adanya ketidakpuasan)
R > C (Puas)
Keterangan :
C = Cost
R = Reward
Jika cost yang dikeluarkan lebih besar dari reward yang diterima, individu merasa tidak adanya keadilan, bila seseorang merasa ketidakadilan tersebut terjadi pada dirinya, la merasa tidak puas. Bila seseorang memberikan cost sama dengan reward yang ia terima, dirinya merasa tidak ada ketidakpuasan. Jika reward yang ia terima lebih besar dari apa yang ia berikan, maka individu tersebut akan merasa puas.
Masyarakat dalam menerima kehadiran inovasi teknologi akan mengalami cultural lag dan produk dari inovasi teknologi itu bergulir dengan cepatnya tetapi disisi lain kemampuan masyarakat jauh tertinggal. Dengan demikian dapat diprediksikan masyarakat akan mengalami culture shock kondisi seperti ini sering kita lihat dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini akan berdampak pada tidak puasnya masyarakat dalam menikmati hasil inovasi teknologi karena setiap saat masyarakat merasa cemas dan gagap teknologi. Sedangkan Cost yang dikeluarkan begitu besar tetapi reward yang diterima dari inovasi teknologi tidak dapat dinikmati dengan baik, hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan mentalitas yang masih belum dapat menerima kehadiran inovasi teknologi. Insinyur belum memahami tentang bagaimana kemampuan intelektual dan mentalitas dari masyarakat pengguna inovasi teknologi, begitu juga Sosiolog tidak proaktiv dalam memberikan masukan kepada insinyur
Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi
Jurnal Sosioteknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006 127
tentang perlunya aspek-aspek sosial yang harus diperhatikan dalam inovasi teknologi.
Sampai pada titik ini, poin-poin tersebut sebenarnya sudah dikenal oleh Sosiolog.
Poin-poin tersebut adalah konsumen, pergerakan sosial, dan pemerintah. Akan tetapi masalahnya adalah insinyur mencoba menafsirkan sendiri menurut pikirannya tentang masyarakat pengguna inovasi teknologi tanpa menggunakan riset sosial. Hal ini akan menimbulkan masalah sosial, karena banyak variabel yang semestinya menjadi kajian, tetapi karena keterbatasan pengetahuan tentang ilmu sosial variabel yang menentukan tersebut luput dari kajian. Dengan demikian, hasil dari merenung seorang insinyur berdampak negatif bagi masyarakat pengguna inovasi teknologi. Kondisi ini akan terus berlanjut selama Sosiolog tidak bekerja sama dengan insinyur tersebut dalam melakukan kajian sosial terhadap masyarakat pengguna inovasi teknologi, Peranan kajian ilmu sosial dalam inovasi teknologi sangat penting, mengingat perilaku masyarakat yang hiterogen yang sulit untuk diprediksi. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan kajian ilmu sosial. Untuk lebih jelasnya penulis memberikan suatu contoh pada perusahaan elektrik di Perancis, para sosiolog yang mempelajari proyek VEL terkejut dengan kemiripan argumen sosiologi yang dihasilkan teknisi EDF dan analisis yang diajukannya pada waktu yang bersamaan dengan salah seorang sosiolog Prancis yang terkemuka, A. Tourine.
Hasil analisis sosiolog dan insinyur, memiliki kesamaan sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, dapatkah ilmuwan sosial dengan suatu cara memanfaatkan perkiraan teknisi, dan menguji analisis sosiologi pada saat yang bersamaan, ketika mereka menciptakan suatu alat teknik? Pertanyaan ini menggambarkan seorang insinyur yang dapat melakukan analisis terhadap masalah sosial, dan hasilnya memiliki kesamaan dengan analisis seorang sosiolog. Pada masalah sosial tertentu mungkin ada kemiripan, tetapi masalah sosial yang kompleks tidak mungkin memiliki kemiripan hasil analisis. Insinyur dan Sosiolog merupakan dua disiplin ilmu yang sangat berbeda. Insinyur berhubungan dengan benda mati, sedangkan sosiolog berhubungan dengan perilaku masyarakat, Hal ini menunjukkan keduanya memiliki penekanan yang berbeda,. sehingga hasil analisis terhadap masalah sosial, akan jauh berbeda pula, atau tidak mungkin memiliki kesamaan.. Sebaiknya dua disiplin ilmu yang berbeda ini, dapat bekerjasama agar memberikan sinergi pada suatu aktivitas, jika berjalan masing-masing, maka hasilnya tidak akan baik. Seorang sosiolog perlu meminta masukan dari insinyur tentang tujuan inovasi teknologi bagi masyarakat, begitu juga sebaliknya, seorang insinyur memerlukan sosiolog untuk mengkaji masalah sosial, yang akan ditimbulkan oleh inovasi teknologi. Dengan demikian, insinyur dan sosiolog dapat bekerja sama membangun inovasi teknologi, dan tidak menimbulkan masalah sosial dalam masyarakat.
Fenomena tersebut sering terjadi dalam inovasi teknologi, tetapi hal tersebut belum dapat diselesaikan, mengingat insinyur memiliki arogansi, sedangkan sosiolog tidak peduli dengan masalah sosial. Sehingga timbul pertanyaan, apakah insinyur mampu menyelesaikan masalah sosial yang ditimbulkan oleh inovasi teknologi? Apakah sosiolog masih mempunyai semangat untuk mengkaji masalah sosial yang ditimbulkan oleh inovasi teknologi?
Analisis Sosiologi Terhadap Inovasi Teknologi
Jurnal Sosioteknologi Edisi 9 Tahun 5, Desember 2006 128
REFERENSI :
Bijker, Thomas, Trevor Pinch (1984) The Social Construction of TechnologySystems. New Direction in the Sociology and History of Technology. MIT Press
Doyle Paul J.(1986) Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives. Copyright by. John Wiley & Sons, Inc
Mike Cooley (1986) Architect or Bee? The Human Price of Technology. New Introduction by Anthony Barnett.

Perubahan Sosial dan Kebudayaan

Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Perubahan2 hanya akan dapat diketemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan
dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan
susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau.
Perubahan2 di dalam masyarakat dapat mengenai nilai2 sosial, pola2 perilaku, organisasi,
susunan, lembaga2 kemasyarakatan, lapisan2 dalam masyarakat, kekuasaan&wewenang,
interaksi social dan sebagainya.
♦ Perubahan sosial adalah segala perubahan padsa lembaga2 kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk di dalamnya nilai2,
sikap2 dan pola perilaku di antara kelompok2 dalam masyarakat.
Banyak para sosiolog dan ahli2 lainnya yang mengemukakan tentang teori2 perubahan
social dan kebudayaan:
William F Ogburn mengemukakan ruang lingkup perubahan2 sosial meliputi unsur2
kebudayaan baik yang material maupun immaterial.
Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan2 yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat.
Bentuk2 perubahan:
1. perubahan lambat dan perubahan cepat
2. perubahan kecil dan perubahan besar
3. perubahan yang dikehendaki atau perubahan yang direncanakan dan perubahan
yang tidak dikehendaki atau perubahan yang tidak direncanakan.
Faktor2 yang menyebabkan perubahan sosial dan kebudayaan:
a. sebab2 yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri
- bertambah atau berkurangnya penduduk
- penemuan2 baru
- pertentangan2 dalam masyarakat
- terjadinya pemberontakan atau revolusi
b. sebab2 yang berasal dari luar masyarakat
- sebab2 yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia
- peperangan
- pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Faktor2 yang mempengaruhi jalannya proses perubahan:
a. faktor2 yang mendorong jalannya perubahan
- kontak dengan kebudayaan lain
- sistem pendidikan yang maju
- sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan2 untuk maju
- toleransi terhadap perbuatan2 menyimpang
- system lapisan masyarakat yang terbuka
- penduduk yang heterogen
- ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang2 kehidupan tertentu
- orientasi kedepan
- nilai meningkatkan taraf hidup
b. faktor2 yang menghambat terjadinya perubahan
- kurangnya berhubungan dengan masyarakat2 lain
- perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
- sikap masyarakat yang tradisionalistis
- adanya kepentingan2 yang telah tertanam dengan kuat
- rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan
- prasangka terhadap sesuatu yang baru/asing
- hambatan ideologis
- kebiasaan
- nilai pasrah
Modernisasi
Pengertian modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama yang
tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, kearah pola2
ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara2 barat yang stabil
Syarat2 modernisasi:
1. cara berpikir yang ilmiah
2. sistem administrasi negara yang baik
3. adanya system pengumpulan data yang baik dan teratur
4. penciptaan iklim yang favourable dari masyarakat
5. tingkat organisasi yang tinggi
6. sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan social planning

Konsep Kebudayaan

Pendahuluan
Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang dianggap baru pada masanya. Seperti dalam bukunya Interpretation of Culture, ia mencoba mendefinsikan kebudayaan yang beranjak dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam penentuannya. Berbeda dengan Kluckholn, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit (Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).

Konsep Kebudayaan Geertz
Geerts secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun..dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan (Kuper; 1999, 98).

Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutic . Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik. Dari Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna. Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca, suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan (Kuper; 1999, 82).

Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz; 1992a, 3)

Agama Jawa
Agama bagi Geetz lebih merupakan sebagai nilai-nilai budaya, dimana ia melihat nilai-nilai tersebut ada dalam suatu kumpulan makna. Dimana dengan kumpulan makna tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan mengatur tingkah lakunya. Sehingga dengan nilai-nilai tersebut pelaku dapat mendefinisikan dunia dan pedoman apa yang akan digunakannya (Geertz; 1992b, 51). Ketika ia membagi kebudayaan jawa dalam 3 tipe variant kebudayaan berbeda, Geertz melihat agama jawa sebagai suatu integrasi yang berimbang antara tradisi yang berunsurkan animisme dengan agama Hindu & agama Islam yang datang kemudian, lalu berkembang menjadi sebuah sinkritisme (Geertz, 1983, 6). Geertz kemudian menginterpretasikan orang Jawa dalam 3 varian kebudayaan, yaitu abangan, santri dan priyayi. Pembedaan ini ia lihat juga sebagai suatu pembedaan masyarakat Jawa dalam 3 inti struktur sosial yang berbeda; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah. Suatu penggolongan yang menurut pandangan mereka- kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik mereka, yang menghasilkan 3 tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa, ide umum tentang ketertiban yang berkaitan dengan tingkah laku petani, buruh, pekerja tangan, pedagang, dan pegawai Jawa dalam semua arena kehidupan (Geertz; 1983, 5-6).

Ketiga varian tersebut mempunyai perbedaan dalam penerjemahan makna agama Jawa melalui penekanan-penekanan unsur religinya yang berbeda. Seperti abangan yang menekankan kepercayaannya pada unsur-unsur tradisi lokal, terutama sekali terdiri upacara ritual yang disebut slametan, kepercayaan kepada mahkluk halus, kepercayaan akan sihir dan magi; santri yang menekankan kepercayaannya kepada unsur Islam; dan priyayi yang menekankan kepada unsur Hinduisme, yaitu konsep alus dan kasar-nya.. Perbedaan penekanan unsur-unsur yang berbeda tersebut berasal dari lingkungan yang dibarengi sejarah kebudayaan yang berbeda (Parsudi; VII, 1983). Dimana oleh Geertz masing-masing 3 varian tersebut mempunyai sejarah kebudayaan dan lingkungan yang berbeda. Abangan dengan tradisi petani-nya di desa, santri dengan pengalaman dagangnya di pasar dan pola migrasinya dari pesisir, dan priyayi dengan sejarah birokratik aristokratiknya yang dibangun mulai dari masa keraton hingga masa Belanda di kota. Sehingga dengan demikian Geertz juga mengkaitkan agama dengan penggolongan struktur sosial dan basis ekonomi, dan ideologi politik. Ada kesesuian keagamaan masing-masing varian ini dengan struktur sosial, organisasi sosial politik mereka. Seperti slametan yang ia nilai sebagai suatu kesatuan mistis dan sosial yang ikut serta didalamnya atau semacam wadah bersama. Kemudian Permai, yang tadinya berbasis organisasi politik kemudian semacam organisasi sosial kalangan abangan modern. Dimana memang ia pada masa awal kariernya menfokuskan kepada hubungan antara gagasan dan proses sosial dimana terjadi hubungan timbal balik antara kepercayaan dan pembangunan politik dan ekonomi. Suatu gagasan yang ia dapatkan dari Weber (Kuper, 1999, 80). Dengan sifatnya mencoba mengkaitkan dengan gejala-gejala lainnya tersebut, Kuper menyebutnya sebagai kebudayaan dalam bentuk agama yang terkonsentrasi yang dirubah bentuknya oleh politik dan ekonomi, sebagaimana pendapat Weber (Kuper; 1999, 97).

Dalam pengkategorian 3 varian kebudayaan diatas memang tidaklah tepat benar. Hal ini memang telah dikemukakan oleh Harsja W. Bachtiar yang melihat bahwa sebenarnya abangan dan santri lebih merupakan suatu pengkategorian perilaku keagamaan seseorang, dan priyayi sebagai kategori kelas sosial tertentu (Harsja W. Bachtiar;1973,1525). Juga demikian seperti apa yang telah dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat pengkategioian yang dibuat Geertz mengacu secara implisit kepada model struktur sosial yang dibuat oleh Robert Redfield. Suatu pembagian struktur sosial yang melihat kota dan desa sebagai 2 struktur sosial yang berbeda, yang masing-masing diwakili oleh warga elit kotan dan petani desa, yang keduanya juga mempunyai hubungan ketergantungan dan melengkapi sehingga membentuk suatu sistem sosial sendiri. Penekanan yang berbeda dilakukan Geertz kepada dimensi struktur-nya, dan Redfield pada proses komunikasi terus-menerus antar kota dan desa (Parsudi Suparlan;1983, IX). Geertz juga dikritik bahwa penggolongan 3 varian kebudayaan tersebut itu merupakan bentuk penyederhaan realitas yang sebenarnya jauh lebih kompleks (Kuper;1999,92). Memang sebenarnya Geertz ingin mengungkapkan sistem penggolongan 3 varian kebudayaan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri., namun tetap saja kebudayaan sebagai suatu teks haruslah diinterpretasikan oleh seorang antropolog. Hal yang sama juga diutarakan Parsudi dalam pengantar Abangan, Santri, dan Priyayi tersebut (Parsudi Suparlan;1983,VIII). Kuper menuliskan kritiknya terhadap Geertz tentang hal ini. “Sebuah kebudayaan tidaklah dipahami dengan mudah oleh seorang aing yang simpatik, seperti diperkirakan oleh Geertz. Kebudayaan mungkin sebagai suatu teks, tetapi ini adalah teks yang dibangun, fiksi yang ditulis seorang etnografer “ (Kuper;1999,19).

Bagi Geertz, agama juga tidak hanya menekankan hubungan makna yang sifatnya harmoni dan penuh keseimbangan dari ketiga struktur sosial tersebut tetapi ia juga mempunyai kekuatan yang memecah. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem budaya agama jawa mempunyai kekuatan untuk menyeimbangankannya lagi. Seperti ia sebutkan beberapa faktor yang cenderung mempertajam konflik, seperti konflik ideologis, sistem stratifikasi sosial, perjuangan politik demi kekuasaan, dan kebutuhan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistem sosial yang cepat. Namun ada faktor-faktor yang menurutnya dapat meredakan konflik, yaitu perasaan kebudayaan yang satu, pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, toleransi umum, dan adanya mekanisme integrasi sosial yang sifatnya pluralistik (Geertz; 1981, 475-477). Nampak terlihat pengaruh Parson terlihat disini, karena dalam masa penulisan buku Religion of Jawa ini, Geertz memang berada masa awal karier ilmuwannya, dimana ia mendapatkan pengaruh wacana sistem yang kuat dari Parson (Kuper, 1999, 79). Didalam sistem ada keseimbangan, agama, struktur sosial, emosi, dan bentuk konvensional dari tindakan dan dorongan masing-masing (Kuper;1999, 101).

Berkaitan dengan politik dan agama, ia melihat bahwa nilai-nilai yang dibagi bersama, yang ada dalam solidaritas yang pernah terwujud diantara masyarakat pedesaan telah terhapus pada saat mereka tinggal dikota oleh polarisasi keagamaan dan politik. Ritual-ritual yang pernah menciptakan kesatuan dalam masyarakat desa, sekarang telah terpisa-pisah, institusi politik yang lama tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan kondisi yang ada dan diruntuhkan oleh kompetisi untuk mendukung partai yang dihasilkan oleh perkembangan politik nasional (Kuper;1999. 92). Kuper juga mempertanyakan ketika Geertz melihat pembedaan 3 varian kebudayaan tersebut sebagai 3 elemen dari 1 masyarakat, bukan merupakan 3 masyarakat berbeda yang dalam suatu kota. Jika Mojokuto dilihat sebagai arena sosial yang tunggal, maka faktanya adalah bahwa disana ada 3 komunitas yang dapat memperkuat konflik dan disintegrasi sosial dan mengundang permasalahan politik (Kuper;1999, 90). Geertz memang tidak secara khusus memberikan perhatiannya pada konflik pollitik nasional yang kemudian menyeret pada konflik agama, seperti yang terjadi pada tahun 1965, ketika terjadi konflik politik (Komunis vs Tentara/Islam). Geertz sendiri sadar akan kekuatan eksternal ini, tetapi kerangka analitiknya tidak mencakup pengaruh politik lokal, nasional, dan internasional ketika itu (Kuper;1999, 95). Keadaan ini juga memperkuat kritik tentang batas pengetahuan lokal. Dimana etnografer dituduh mempertahankan kedekatannya dengan obyek yang diteliti, tidak memberikan perhatian pada perubahan yang sifatnya jangka panjang dan pengaruh yang datang dari luar. Geertz sesekali menerima tuduhan itu. Seperti ketika ia membuat generalisasi Mojokuto dengan Jawa atau bahkan Indonesia, atau ketika menganalisa proses sosial dan politik di dalam kota, ia tidak memperlihatkan hubungan antara Mojokuto dan Jakarta (Kuper,1999,99-100).
Selain itu dalam membuat pengkategorian, Geertz yang berusaha membuat pentipean secara ideal, sehingga menjadi suatu pembedaan yang kontras dan absolut. Meskipun ia sendiri melihat pembagian ini bukanlah pembedaan yang sifanya absolut, tetapi dari penggolongan yang ia lakukan terkesan pembedaan absolut itu. Seperti misalnya abangan dengan elemen petani pedesaan dan slemtan sebagai upacara ritualnya.Santri dengan elemen dagang dan pasar. Santri modern dengan Muhamadyah, santri kolot dengan Nadhatul Ulama. Dengan penggolongan seperti ini nampak terlihat Geertz melakukan homogenisasi obyek kajiannya, sehingga ia menutup atau mengurangi kemungkinan-kemungkinan lain. Seperti ia memberi label kepada tipe campuran dan kelompok marjinal pada tipe-tipe minoritas dan varian yang tidak berada secara tegas di 3 varian yang baku, abangan, santri, dan priyayi.

Penutup
Geertz memang dianggap memiliki pengaruh teoritis dalam ilmu antopologi, dimana ia menulis dengan sangat mahir mengenai gagasan-gasan tertentu dari kebudayaan dan menggunakannya untuk menganalisi kasus-kasus tertentu. dan dalam prosesnya, ia telah memberikan daya tarik bagi orang luas untuk membaca karya-karya antropolog. Dia meletakan suatu ide baru bagaimana kebudayaan bekerja (Kuper, 1999, 76). Penelitian Geertz tentang Religion of Jawa itu juga merupakan suatu deskripsi dari hasil permintaan dari the Committee on the New States. Dimana menjadi titik awal mereka pada rencana bahwa masyarakat tradisional telah menjadi tidak teratur karena adanya proses urbanisasi, spesialisasi ekonomi dan sekulerlisasi. Tujuan dari kebijakan di negara – negara baru tersebut diserahkan pada antropolog untuk menspesifikasikan masalah-masalah kebudayaan yang ada didalamnya, khususnya pada Llyoyd Fallers dan Geertz. Mereka diharapkan dapat menemukan kekontrasan tradisonal; dan modernitas, suku bangsa dan negara, masyarakat yang suci dan duniawi, dimana kontradiksi-kontradiksi tersebut akan dapat membantu untuk menjelaskan kemampuan masyarakat di Asia yang sedang mengalami transisi penjajahan kolonial menuju ke kebebasan (Kuper;1999,84). Dalam konteks situasi seperti itulah, dimana Geertz mempunyai kepentingan dibaliknya, ia menafsirkan agama jawa. Dan tentu saja teori kebudayaan umumnya mengandung muatan politis yang membenarkan suatu tinjauan politiknya, menurut Kuper (Kuper,1999 XV)

Bahan Bacaan
Geertz, Clifford, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1983
Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Kuper, Adam, Culture, Harvard University Press, Cambridge, 1999
Symour-Smith, Charlotte, MacMillan Dictonary of Anthropology, London, MacMillan Reference Books, 1986.