Sabtu, 09 Januari 2010

ENTERPRENEURSHIP:

VISI GERAKAN KEMAHASISWAAN MASA KINI*

Oleh : Giyanto**


Semalam ketika diuandang oleh saudara Bambang untuk datang ke acara UKM Kewirausahaan, saya langsung meng-iyakan. Tapi ternyata saya lupa akan dua hal: Bahwa saya ada kuliah! saya juga lupa bahwa ternyata saya masih mahasiswa.

Senang rasanya mendapat kesempatan untuk berbagi sesuatu kepada teman-teman di UKM Kewirausahaan. Ini merupakan saat yang saya tunggu-tunggu, tapi sayang hari ini ternyata nasib belum mempertemukan kita. Namun saya berharap suatu saat nanti kita akan mendapat kesempatan lagi untuk dapat membicarakan hal-hal seperti ini lebih sering, lebih lama dan kalau bisa lebih serius.

Ketika dimintai berbagi tentang pengalaman di dunia usaha, sebenarnya saya belum apa-apa. Dan juga apabila disuruh berbicara tentang kewirausahaan, saya juga bukan siapa-siapa. Karena saya memang bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa. Ini hanya sebuah kebetulan, kebejoan, ilmu kepepet, dan parahnya sebuah pilihan keterpaksaan.

Jika dipikir-pikir buat apa susah-susah harus bekerja, berusaha sendiri, hidup mandiri, banting tulang, serta harus mikir ini dan mikir itu sendirian. Paling enak kan jika semua sudah tersedia, semua serba ada, tinggal minta, kalau bisa semua keinginan kita sudah disediakan dari langit dan kita tinggal bilang: aba kadabra!.

Ada cerita menarik ketika saya masih berumur lima tahun. Saat itu saya ditanya oleh seseorang, “tolhe, kalau kamu besar besok pingin jadi apa?” saya langsung menjawab, “saya ingin jadi seperti Bapak saya, karena bapak uangnya banyak”. Seketika seluruh warung tersenyum dan tertawa. Namun ada satu hal yang saat itu membuat saya kagum pada Bapak saya ialah walaupun uangnya banyak----yang jelas bila diukur dari pandangan anak umur lima tahun---beliau selalu menaruh uangnya di kepala dengan ditutup topi. Mungkin karena beliau memang tidak punya dompet.

Saya dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan petani. Tak ada yang istimewa. Profesi ini bagi sebagian besar bagi anak muda sangat tidak menarik. Tiap hari harus kepanasan, keringetan, yang akibatnya bisa bikin kulit kita yang awalnya hitam bisa menjadi lebih hitam. Bagi cewek dan cowok masa kini, profesi ini jelas ibarat sebuah kutukan. Tapi profesi tersebut bagi saya, bisa saya jadikan sebagai mekanisme pelarian. “Maka Jadilah apa saja, asal jangan jadi petani”. Itu moto saya dan juga moto teman-teman satu geng di kampung saya tempoe dulu.

Tidak sengaja sekarang saya kebetulan bisa kuliah. Sebenarnya saya benci sekolah, tapi saya tidak benci belajar. Saya bersyukur hingga sekarang mampu membedakan antara sekolah dan belajar. Bagi sebagian besar orang barangkali menggapnya keduanya serupa, tapi menurut saya sekolah dan belajar adalah sesuatu yang bertolak belakang serta berlawanan arah. Kalau kita amati sekarang ini, banyak orang sekolah akhirnya dia malah berhenti belajar. Artinya, dalam doktrin kewirausahaan, sekolah sebenarnya berbahaya bagi pembelajaran. Karena menurut saya, sekolah tidak mengajarkan kepada kita tentang arti realitas sebenarnya. Dia hanya mengajarkan kepada kita tentang teori-teori, yang sayangnya menurut saya cukup keliru.


Tipe Ideal Dunia Kemahasiswaan

Oleh kalangan aktivis, konon dunia kemahasiswaan sering dikategorikan menjadi tiga: mahasiswa kampus, mahasiswa kos dan mahasiswa aktivis. Pembedaan tersebut barangkali terlalu menyederhanakan. Tapi itulah kenyataan umumnya. Mahasiswa kampus adalah mahasiswa yang dianggap paling banyak jumlahnya. Kategori yang pertama ini menganggap bahwa tujuan kuliah ya kuliah, tidak boleh yang lain-lain. Kedua adalah mahasiswa kos. Kelompok kedua ini lebih parah, dia jarang dikampus tapi berstatus mahasiswa. Kerjaannya jalan-jalan dan hura-hura. Kita boleh bersyukur karena jumlah mereka cukup sedikit. Sedangkan kategori yang terakhir ialah para aktivis. Konon, kelompok ini cukup sedikit, tapi sifat mereka agak aneh dan sulit dimengerti karena mereka seringkali mempersulit diri sendiri.

Sedangkan kalangan aktivis sendiri sering terpecah belah menjadi beberapa golongan. Ada yang suka turun ke jalan (mereka menyebut diri mereka demonstran), menulis di koran-koran (mereka menyebut diri intelektual), suka berdakwah (mereka menyebut diri mereka rohis) dan ada juga yang suka berlobi sana lobi sini dengan pejabat kampus dan pejabat pemerintah atau partai politik (mereka menyebut diri mereka diplomat---lebih tepatnya penjilat). Singkatnya, dari yang jumlahnya sedikit itupun, varian dari kelompok aktivis pun sangat beragam.

Kemudian pertanyaannya adalah, lha Bagaimanakah menjadi mahasiswa yang ideal? Pertanyaan ini cukup sulit dijawab karena sifatnya sangat subyektif. Subyektivitas tersebut sangat dipengaruhi nilai-nilai serta keyakinan kita masing-masing. Berdasarkan asumsi itulah, saya sulit menjawab pertanyaan di atas. Oleh karena itu, sesuai permintaan Panitia saya akan menjawab tentang mahasiswa ideal menurut subyektivitas saya pribadi. Yaitu menjadi wirausaha atau entrepreneur.


Menjadi Entrepreneur

Membicarakan teori serta mempraktekan entrepreneurship sama sulitnya. Secara teoritis, dari perdebatan tentang apakah seorang entrepreneur adalah orang yang menghadapi ketidakpastian kemudian mengubahnya menjadi keuntungan, atau dia hanya seseorang yang selalu mencari keuntungan tanpa harus menghadapi resiko ketidakpastian. Berpedaan-perbedaan tersebut sering menjadi pertentangan diantara para teoritikus. Apakah Kang Maman pengusaha Sol Sepatu ataukah Aburizal Bakrie yang selalu sembunyi di ketiak kekuasaan yang bisa disebut entrepreneur? Ataukah keduanya sama-sama entrepreneur? Kita serahkan masalah ini untuk diperdebatkan oleh kalangan intelektual dan teoritikus saja. Di sini kita akan membicarakan yang praktis-praktis.

Setidaknya untuk menjadi entrepreneur kita harus mempunyai beberapa prasyarat. Pertama, kita setidaknya lebih dahulu meyakini apa yang kita lakukan. Tanpa keyakinan yang cukup, menurut saya, mustahil bagi kita untuk menjalankan sesuatu dengan mantap, dengan pasti, dan dengan konsisten. Dengan berdasarkan keyakinan, Insya Allah modal apapun yang kita butuhkan akan segera datang. Berdasarkan pengalaman, dahulu hingga sekarang saya hanya bermodalkan keyakinan---walaupun sebagian orang menyebut saya nekad. Itulah subyektivitas, ketika saya menganggapnya keyakinan, orang lain sering menyebut kenekatan. Jadi jangan terlalu hiraukan apa kata orang lain apabila diri kita sendiri sudah meyakini dan menghendakinya. Tetaplah fokus pada jalur yang anda tempuh sebagai wirausaha. Yakini dan lakukan.

Walaupun nampak sederhana, memupuk sebuah keyakinan tidak cukup mudah. Karena kita sering hidup dalam lingkungan sosial yang dapat membuat keyakinan-keyakinan kita aus dan luntur. Apalagi di sini dan sekarang ini. Karena kita hidup di bumi Sekaran, biasanya ada bermacam alasan bagi kita untuk membenarkan serta mencari pembenaran bahwa di sini tidak akan menemukan peluang usaha sama sekali. Dalam hati kecil sering kali kita bisa saja mengeluh, “Coba kalau kita hidup di Semarang Bawah pasti banyak peluang bisnis/kerja”. Kalau saya akan menjawab, “semua itu belum tentu”. Sekali lagi itu adalah bergantung sekali dengan keyakinan kita bahwa kita pasti bisa!

Kedua kita harus menjadi bebas. Menjadi bebas sering disalahartikan dan disalahmengerti. Kebebasan di sini yang saya maksud adalah kebebasan berfikir dan bertindak menurut fikiran ketika kita sudah meyakininya. Menjadi bebas itu tidak mudah. Karena sebenarnya kebanyakan orang seringkali tidak dalam kondisi bebas. Kebanyakan orang hidup dalam penilaian-penilaian subyektivitas lingkungan sekitarnya. Terkadang orang tua, teman, dosen, dan bahkan pacar malah bisa jadi adalah orang-orang yang dapat memasung kebebasan kita untuk berfikir dan bertindak sendiri. Apalagi kalau kita sudah memutuskan sesuatu, biasanya orang akan berkomentar: “awas, entar kamu rugi loh! Dulu saya pernah seperti kamu tapi gagal”. Menurut saya lebih baik kita melakukan sesuatu tapi gagal, daripada kita tidak pernah melakukan apa-apa. Tapi kalau kita sukses orang paling hanya memandang serta melihat dengan penuh iri dan pesona. Ya itulah manusia! Jadi menjadi bebaslah, dan teruslah bergerak. Jangan sampai komentar-komentar yang sering kita dengar mengendorkan semangat kita untuk berwirausaha.

Dengan kata lain, menjadi bebas sangat dekat artinya dengan menjadi tidak tahu malu. Kalau kita sudah mendapatkan ilmu tidak tahu malu, maka rezeki itu akan datang dengan sendirinya. Mahasiswa biasanya malu untuk dikatakan sebagai penjaga konter, penjaga rental, penjual jagung, penjual buku, penjual BH, penjual CD (Celana Dalam) ataupun penjual nasi angkring. Menurut saya lebih menyedihkan apabila kita hanya mampu makan nasi angkring terus menerus dibandingkan apabila kita sudah mampu membuat serta menjualnya sendiri. Coba pikir, malu-maluin mana, makan nasi angkring terus-terusan atau bikin nasi angkring terus-terusan?

Ketiga, kita harus selalu belajar dan berusaha meningkatkan kemampuan diri terus menerus. Syarat ini cukup penting dan genting. Dengan belajar maka ada dua keuntungan yang akan kita dapat, yaitu kita akan mendapatkan peningkatan kemampuan diri sendiri secara bertahap dan berkala di sisi lain kita juga memanfaatkannya sebagai alat berjaga-jaga dari berbagai ketidakpastian kompetisi bisnis yang bisa menghantam kita kapanpun juga. Misalkan, katakanlah kalau kita memiliki ide hebat untuk mendirikan usaha warung sea food, usahakan untuk selalu berimprovisasi karena siapa tau kalau usaha kita rame dipastikan ada banyak orang yang akan meniru. Di sinilah pentingnya belajar. Apabila suatu saat ada yang meniru, kita sudah melangkah lebih jauh ke depan karena kita selalu mempelajari bisnis kita sendiri Terlebih dahulu.

Kalau anda jeli, coba amati bisnis yang kompetisinya di sini paling ketat. Ialah bisnis warnet, nasi penyet, celluler dan sejenisnya. Bisnis yang paling kompetitif adalah bisnis yang mudah ditiru, karena dalam menjalankannya seseorang tidak perlu belajar banyak. Tapi coba bayangkan untuk menjadi tukang cukur? Bisa jadi anda harus mengambil kursus lebih dahulu. Ataupun untuk menjadi penerjemah buku asing. Setidaknya anda harus menguasai grammar secara profesional serta kemampuan menulis yang bagus agar dapat menjadi seorang penerjemah buku yang juga berkualitas. Jadi, peran dan signifikansi belajar di sini menjadi hal yang utama agar dapat menjadi wirausahaan pemula.


Refleksi

Seringkali mahasiswa berpikir bahwa untuk merubah masyarakat menjadi lebih baik ialah melalui kegiatan-kegiatan seperti Gerakan Progresif aktivitas politik atau dengan cara-cara revolusioner. Saya menganggapnya cara berpikir seperti itu Marxis! Tidak ada perubahan menuju lebih baik melalui cara-cara yang seperti itu, tanpa mampu merubah dan menolong diri sendiri maka kita tidak akan mampu untuk menolong atau merubah orang lain. Akan sangat mustahil perubahan dapat dimulai. Inilah yang menurut saya gerakan paling mendesak untuk dilakukan: Melawan kebodohan dan Kemalasan! Selamat mencoba.


*Disampaikan dalam acara Sharing Kewirausahaan di UKM Kewirausahaan Fakultas Ekonomi UNNES, Hari Rabu Tanggal 1 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar