Sabtu, 09 Januari 2010

CINTA1

CINTA, REALITA DAN DILEMA KAUM PRIA (Bagian III)

Tidak hanya dalam keluarga, perbedaan preferensi biasanya juga terjadi antara pria dan wanita. Saya teringat kata-kata salah seorang teman perempuan saya: “Giy dimana-mana, yang namanya pria itu suka pada wanita ‘cantik’, dan kebanyakan wanita menyukai pria yang telah ‘bekerja’”. Pernyataan tersebut nyaris sulit saya sangkal. Walaupun biasanya kondisi yang terjadi sering tidak sesuai yang diharapkan.

Apa landasan bagi pandangan tersebut? Begini: seorang pria biasanya lebih suka terhadap apa yang mereka lihat. Sedangkan wanita biasanya cenderung menyukai apa yang telah diberikan kepadanya. Ini lah yang membedakan antara species pria dengan wanita. Jika seorang pria telah melihat wanita impiannya, bukan tidak mungkin dia akan mengejar sampai ke ‘ujung dunia’. Begitu juga sebaliknya, jika seorang wanita sudah merasa si pria sudah “cukup” memberikan apa yang diharapkannya, maka dia tidak akan lari kemana-mana.

Antara species pria dan wanita jelas berbeda. Inilah yang sebenarnya membuat dunia begitu indah. Kita tidak dapat membayangkan apabila kita hidup dalam sebuah kemiripan atau kesamaan. Maka yang terjadi adalah kematian hasrat hidup manusia. Baik secara fisik, kodrat maupun peranan antara pria dan wanita memang telah “diciptakan” secara berbeda. Ini merupakan sebuah hukum alam yang tidak dapat dilawan.

Sedangkan dalam menjalin cinta, tidak ada yang logis maupun tidak logis. Semua kemungkinan bisa terjadi. Yang tidak dapat dihindari ialah suatu kemungkinan-kemungkinan dari sebuah pilihan. Semisal apakah tanpa ‘bekal yang cukup’ jika memutuskan hidup bersama apakah akan lebih bahagia atau malah lebih menderita?

Sedangkan faktanya, problema percintaan tidak pernah luput dari persoalan dunia. Karena manusia tidak hidup di taman firdaus yang serba ada, maka persoalan dunia, biasanya menjadi “persoalan klasik” bagi setiap manusia untuk mencapai segala tujuannya.

Apa yang telah menjadi norma biasanya adalah, tanggungjawab si pria untuk memberi nafkah bagi sang wanita. Kondisi tersebut juga memberi dilemma tersendiri bagi kaum pria. Di satu sisi, seorang pria mempunyai tanggungjawab besar untuk mencari nafkah, sedangkan di sisi lain dia harus juga meluangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan jiwa bagi kehidupan bersama.

Pada masa berpacaran, umumnya, konflik peranan tersebut masih belum terjadi. Dilemma si pria ketika masih berpacaran adalah persoalan waktu yang terkadang menjadi kendala. Terkecuali bagi pria yang “cuek” dengan tanggungjawabnya. Bagi pria normal, bekerja adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Berbeda lagi dengan para filsuf yang sukanya menulis dan berdiskusi.

Di sinilah inti dilemanya. Seorang pria sejati tidak mungkin lepas tangan untuk menyerahkan tanggungjawab penghidupan hanya kepada sang istri. Konsekuensinya, dia harus mencurahkan waktunya untuk mencari nafkah demi kehidupan bersama.(Giy)

1 komentar:

  1. artikelnya menarik, terimakasih atas informasinya semoga bermanfaat untuk para pembaca, thanks for sharing , nice post

    ST3 Telkom

    BalasHapus