Kamis, 18 November 2010

Definisi & Terminologi Falak

Defenisi & Terminologi Falak

Ilmu Falak (Astronomi) adalah Ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi dan matahari) secara sistematis dan ilmiah, demi kepentingan manusia. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua, sebab ilmu ini ada semenjak jagad raya ini terbentuk. Kata 'falak' pluralnya 'aflak' bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa (al madar yasbah fihi al jirm as samawy). Ibn Khaldun (w.808 H) mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan.

Penamaan Ilmu Falak sangat beragam dalam khazanah turats sebelum dan sesudah Islam seiring dengan kadar kemampuan manusia dalam menerjemahkan fenomena angkasa raya. Dalam Islam, peran bangsa Yunani (Greek) agaknya tidak bisa dilepaskan, justeru istilah Astronomi yang telah mengakar tersebut berasal dari bahasa ini. Astro berarti Bintang, dan Nomia berarti Ilmu.

Secara alami, ilmu ini terus berkembang seiring perkembangan nalar manusia, sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini kepada berbagai macam penamaan meski obyeknya tetap sama. Diantara beragam penamaan tersebut yang banyak menghiasi buku-buku klasik antara lain; 'Ilm an Nujum, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al Aflak, 'Ilm Hay'ah al 'Alam, 'Ilm al Aflak, 'Ilm Shina'ah an Nujum, 'Ilm at Tanjim, 'Ilm Shina'ah at Tanjim, 'Ilm Ahkam an Nujum, dll.

Di abad pertengahan (± abad IX H) ilmu ini lebih dikenal dengan nama 'ilm al hay'ah atau 'ilm al hay'ah al aflak. Sementara itu penggunaan kata 'ilm al falak tidak begitu masyhur, pula tidak banyak beredar, meski kata ini tetap ada menghiasi buku-buku klasik dengan maksud dan tujuan yang sama. Antara lain, Ibn an-Nadim (w.388 H) dalam Al Fihrist-nya, ketika menjelaskan biografi Ya'qub bin Thariq menyebut kata ini (baca: falak/ilmu falak) sebagai cabang ilmu yang dimaksud. Kata 'falak', dengan makna 'edar' sebagai dimaksud dalam disiplin 'Ilmu Falak' banyak tertera dalam Al Qur'an, antara lain QS.Yasin ayat 40:

لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل فى فلك يسبحون

Carlo Nillino, Guru Besar Ilmu Falak Universitas Fu'ad Awwal (Jami'ah al Misriyyah) sekarang Jami'ah al Qahirah dan Universitas Pallermo Italia menyatakan; kata falak yang banyak beredar dalam Al Qur'an bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu 'Pulukku' yang berarti 'edar'. Wallah a'lam

Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama 'Ilmu Falak' mengakar diperadaban Islam sampai detik ini. Terlihat, diperguruan-perguruan tinggi, instansi-instansi pemerintah, organisasi keislaman muncul kajian-kajian dan mata kuliah Ilmu Falak dalam teori dan praktek. Secara lebih khusus, Ilmu Falak berperan secara detil dalam kepentingan umat Islam dalam empat hal, yaitu: [1]. Menentukan awal bulan Qamariyah, [2]. Menentukan jadwal shalat, [3]. Menentukan bayang (arah) kiblat, [4]. Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana.

Sejarah & Peradaban Falak

Sejarah & Peradaban Falak

Dimaklumi, lapangan pembahasan ilmu falak adalah langit dengan segala yang berada didalam dan sekitarnya. Bangsa-bangsa kuno Babilonia, Mesir, Cina, India, Persia, Yunani, dll. dimasanya masing-masing telah melakukan aktifitas Astronomi (falak) dan Astrologi (nujum) secara bersamaan dengan model masing-masing.


Peradaban (bangsa) Sumeria yang telah muncul sekitar tahun 4500 SM diduga sebagai cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan terkhusus kajian Astronomi-Astrologi bagi peradaban sesudahnya. Peradaban Babilonia (Iraq Selatan) adalah lanjutan peradaban Sumeria tersebut yang punya pengaruh yang sangat kuat. Orang-orang Babilonia dikenal hobi dengan ilmu eksperimental, membuat peradaban ini bertahan dan berkembang dalam sejarah. Sumbangsih besar, sekaligus masalah besar Babilonia yang telah mengakar hingga saat ini adalah Astrologi. Astrologi lahir sekitar 2000 tahun SM di Lembah Mesopotamia (diantara sungai Eufrat dan Tigris). Dapat dibayangkan, langit yang begemerlapan oleh ribuan bintang-bintang dengan ketiadaan lampu taman dan kota ketika itu, tentunya sangat inspiratif untuk para Astrolog dan pendeta Babilonia, mereka mengamati dan memandang sekaligus meramal kejadian dilangit, mereka beranggapan bahwa setiap gerak benda-benda dilangit adalah pesan dari penguasa alam yang harus diterjemahkan. Ramalan yang pada mulanya diperuntukkan untuk raja dan negara, tetapi juga merembes untuk meramal kehidupan sehari-hari orang biasa. Kenapa demikian? Karena Astrologi bicara tentang manusia sehari-hari dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Namun, sejauh mana kita merelakan peruntungan pada benda-benda angkasa tersebut?, atau, apakah Islam melegalisir aktifitas ini … !

Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya sama, sama dalam menerjemahkan alam raya (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya. Sehingga kesimpulannya bahwa benda-benda di atas sana adalah benda langit, bukan dewa-dewi atau makhluk luar biasa.

Dimasa peradaban Babilonia, telah muncul tabel-tabel peredaran benda-benda langit, penyiapan kalender pergantian musim dan perubahan wajah bulan, pemetaaan langit, dan peramalan terjadinya Gerhana yang merupakan embrio Astronomi modern. Sumbangsih penting lain dari peradaban ini adalah, bangsa Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat, berdasarkan itu juga, Babilonia menjadikan keadaan bumi (muhith al ardh/muhith al falak) 360 derajat. Dan lagi, Babilonia telah menetapkan satu hari = 24 jam, satu jam = 60 menit dan satu menit = 60 detik.

Sementara itu, peradaban Mesir kuno punya segudang talenta sejarah yang panjang nan banyak memenuhi halaman buku-buku sejarah. Khusus dalam kaitan kajian perbintangan, Mesir kuno memang tidak punya begitu banyak perhatian terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan planet-planet lainnya, namun peradaban Mesir kuno punya kepercayaan yang mengakar dalam penanggalan. Melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu bertepatan dengan munculnya bintang Sirius (najm syi'ry yamany) dibagian timur pada malam bulan musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz / تموز (Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan Ab / آب (Agustus). Karena munculnya bintang ini selalu bersamaan dengan datangnya banjir sungai Nil setiap tahun, Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini. Diperadaban ini juga, Mesir kuno telah mengenal dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang muncul lebih kurang tahun 1500 SM.

Peradaban China, tak kalah besar pengaruhya dengan peradaban lainnya, diperadaban ini telah ada perhitungan gerak benda-benda angkasa seperti menghitung terjadinya gerhana seperti dipelopori oleh Konfusius (w.± abad V SM). Dimasa ini telah ada pula sistem penanggalan dengan segala plus-minusnya, diduga pula, bangsa China kuno telah dan pernah melakukan pengkajian-perhitungan terhadap Nova dan Supernova. Astronom China silam, Shi Shen, konon sudah berhasil menyususn katalog bintang-bintang yang sangat boleh jadi sebagai katalog 'tertua' yang terdiri 800 entri pada tahun 350 SM.


Peradaban India dan Persia

Dua peradaban (bangsa) ini, adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari dua peradaban inilah -secara langsung- muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban Yunani kuno yang telah mengakar. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab) dibanding Persia. Bangasa India kuno, yang telah memulai peradabannya sedikitnya sejak 3000 tahun SM di lembah sungai Indus di Mahenjo-Daro atau Harappa punya gambaran mitos menarik tentang jagad raya, mereka percaya bumi ini adalah datar bersangga diatas punggung beberapa ekor gajah raksasa; gajah-gajah itu berdiri diatas punggung seekor kura-kura maha besar. Langit tidak lain adalah seekor ular kobra raksasa yang badannya melingkari bumi, pada malam hari sisik-sisik ular itu mengkilat berkilauan sebagai bintang-bintang.

Buku Sind Hind / سند هند dari bahasa asli براهمسبهطسد هانت punya pengaruh besar dalam perkembangan peradaban falak Arab Islam, dengan puncaknya pada Dinasti Abbasiyah masa pemerintahan Al Manshur, diturunkan SK (baca: perintah) untuk meringkas dan menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Arab. Ibrahim al Fazzari (w…?) adalah orang yang menerima perintah untuk menerjemahkan buku ini, sekaligus pula ia melahirkan buku penjelas "As Sanad Hind al Kabir", dan buku ini terus bertahan hingga masa Al Makmun Dinasti Umawiyah. Perkembangan berikutnya, bermunculan karya-karya falak Arab nan banyak lagi beragam dimasa Dinasti Abbasiyah dan Umawiyah, namun kesemuanya senantiasa bernuansa gaya falak ala-Sind Hind tersebut.

Peradaban Persia, berada pada urutan kedua setelah India dalam pengaruhnya dalam Islam, peradaban ini juga mengambil (belajar) dari peradaban India disamping peradaban lainnya. Namun demikian, pengaruh peradaban Persia tetaplah signifikan, terbukti dipemerintahan Abbasiyah masa Al Manshur ia mengumpulkan pembesar-pembesar ahli perbintangan Persia untuk berdiskusi seperti Nubekht al Farisy (w.326 H), Umar bin al Farkhan (w.± 200 H), Ibrahim al Fazzary (w...?), dll.

Diantara istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini antara lain; zayj (zig), awj (Aphelion), dll. Sementara buku-buku falak bahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab Islam antara lain; زيج الشهريار dan زيج الشاة yang merupakan ephemiris (Zig) yang cukup masyhur ketika itu. Berikutnya Al Khawarizmi (w.232 H) juga membuat Zig-nya (Ta'adil al Kawakib) dalam corak mazhab Persia, demikian lagi Abu Ma'syar al Falaky (w.272 H), dll. Buku-buku falak Persia yang dinukil kedalam bahasa Arab antara lain buku " البزيذج فى المواليد " yang dinisbahkan pada بزرجمهر , dan "Shuwar al Wujuh" karya تنكلوس .


Peradaban Yunani

Seperti disebut diatas, pengamatan fenomena jagad raya telah dilakukan sejak dahulu kala oleh orang-orang peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, dll. Namun Astronomi sebagai ilmu pengetahuan baru berkembang pada peradaban Yunani pada abad ke-6 SM. Adalah Thales diduga sebagai yang memelopori ilmu Astronomi klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Di waktu yang sama, Phytagoras melontarkan pendapat yang berbeda dengan Thales, menurut Phytagoras, bentuk bumi adalah bulat, meski belum didukung banyak bukti.
Terobosan Astronomi lainnya dilakukan oleh Aristarchus (w.±250 SM) di abad 3 SM. Ia berpendapat, Bumi bukan pusat alam semesta. Ia mengungkap bahwa bumi berputar dan beredar mengelilingi matahari (Heliosentris). Walaupun teori tersebut akhirnya terbukti benar, tapi saat itu tidak banyak yang mendukungnya. Justeru yang didukung adalah teori yang dilontarkan oleh Hiparchus (± tahun 190 – 125 SM.). Ia menyatakan bahwa Bumi itu diam, dan matahari, bulan, serta planet-planet lain mengelilingi bumi (Geosentris). Sistem Geosentris ini disempurnakan sekaligus populerkan lagi oleh Cladius Ptolomeus (w.160 M) dan lebih dikenal sebagai Sistem Ptolomeus yang terekam dalam maha karyanya Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga dimasa awal abad pertengahan selama berabad-abad.
Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh Nicholas Copernicus (w.1543 M) di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler (w.1630 M) mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teorinya bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy) yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Di tahun yang sama, Galileo Galilei (w.1642 M) menciptakan Teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan Teleskop tersebut, selain memperkuat konsep Heliosentris Copernicus, juga membuka lembaran baru dalam perkembangan ilmu Astronomi.

Falak Pasca Jahiliyah (Era Islam)

Dalam Islam, pada awalnya Ilmu Falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian 'nujumisme' (Astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1.) Kebisaan hidup mereka dipadang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, mengetahui pergantian musim, dll. 2.) Keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan yang sama (Astrologi).

Datangnya Rasulullah S.a.w. beserta risalah-nya dengan membawa cahaya Al-Quran, menjelaskan bahwa masa bagi Allah S.w.t. adalah sama, tidak ada bahagia dan tidak ada celaka, bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah S.w.t. Perkembangan berikutnya aktifitas falak terus berkembang dengan kontrol Al Qur'an, hingga lahirlah banyak sarjana-sarjana falak berpengaruh dalam Islam.

Adalah Dinasti Abbasiyyah -tepatnya masa pemerintahan Ja'far al Mansur- berjasa meletakkan Ilmu Falak pada posisi istimewa, setelah Ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu, Ilmu Falak -dikenal juga Astronomi- tidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain seperti; ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan, dll. Tidak tanggung-tanggung, Khalifah Al-Manshur membelanjakan dana negara cukup besar dalam rangka mengembangkan kajian Ilmu Falak. Ilmu Falak-pun terus berkembang hingga zaman pemerintahan Umawiyah, dengan puncak kecemerlangan perkembangannya dipemerintahan Khalifah Al-Makmun. Kajian Astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana Falak Islam semisal Al Battani (w.317 H), Al Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At Thusy (w.672 H), Biruny (w.442 H), dll. Di era peradaban Arab-Islam inilah kajian falak mulai berkembang secara alamiah dan ilmiah dengan berbagai pembenahan teori, terjemah, cetak ulang, perbaikan, dan ta'lif dengan berbagai penambahan dan penemuan. Khusus dalam kepentingan ibadah, Qudama' Arab telah melakukan perhitungan waktu-waktu shalat, arah kiblat, rukyat hilal, perhitungan musim, dll.

Dimasa Al Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku "Miftah an Nujum" yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al Hakim) dimasa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary (w...?), Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al Barmaky dan disempurnakan oleh al Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H), dll.

Hal penting yang perlu dicatat -seperti ditegaskan diatas- , perkembangan peradaban falak Arab-Islam memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban sebelumnya, dalam bahasa yang agak 'ekstrim', Arab memang berhutang terhadap peradaban sebelumnya. Namun terdapat beberapa keistimewaan dibalik keberhutangan tersebut, antara lain sbb.;
1.] Meski Arab menukil dari peradaban sebelumnya, namun senantiasa disertai dengan koreksi (tashih al akhtha'), penjelasan ulang teori (syarh), penambahan informasi, yang berikutnya membuat karya-karya (ta'alif ) tersendiri yang punya ciri dan keunggulan.
2.] Peradaban falak Arab-Islam tidak hanya terhenti dalam sebatas tinjauan teoritis saja (dirasat nazhariyyah), namun mempolanya dalam bentuk ilmu-ilmu pasti seperti mate-matika, fisika, kimia, dll., hal ini paling tidak dapat dilihat dari karya-karya (alat-alat) observasi yang ada.
3.] Dalam hal perbintangan (Astrologi), Arab-Islam memang tidak mampu menghapus habis tradisi ini, bahkan praktek ini tetap ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari hingga saat ini. Alasannya -seperti disebutkan diatas-, Astrologi bicara tentang diri seseorang dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Wallah a'lam.


Rekonstruksi Fakta

Setiap kali bicara tentang orbit benda-benda langit, kita pasti akan bersentuhan dengan hukum Kepler. Hukum ini digagas oleh Johannes Kepler pada awal abad ke-15 M. Kepler mendasarkan hukumnya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Astronom Denmark, Tycho Brahe. Hukum ini memang telah diakui sebagai terbenar dalam abad ini. Hukum Kepler terdiri dari tiga postulat yang menjelaskan tentang orbit planet. Secara singkat, Hukum Kepler pertama menjelaskan bahwa planet-planet mengorbit (mengelilingi) matahari dengan lintasan berbentuk elips (ihlijy) dengan Matahari pada salah satu fokusnya. Hukum kedua Kepler menjelaskan tentang pergerakan planet. Dalam satu rentang waktu yang sama, planet bergerak menyapu daerah yang sama panjangnya. Karena orbit planet berbentuk elips, maka konsekuensinya makin dekat jarak planet ke Matahari, makin cepat pula gerak orbitnya. Terakhir, hukum ketiga Kepler menyatakan bahwa kuadrat dari periode planet (waktu yang diperlukan untuk menempuh satu orbit) adalah sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet itu dari matahari. Pernyataan ini dituangkan dalam persamaan matematis: P2 = a3, dimana P adalah periode planet mengelilingi Matahari (dihitung dalam tahun) dan a adalah jarak planet ke Matahari (dalam Satuan Astronomi). Konsekuensi dari hukum ini adalah semakin jauh jarak planet, makin lambat pula pergerakannya.

Terhadap tiga hukum Kepler diatas, Prof.Dr.Muhammad Shalih an-Nawawy (Guru Besar Falak Universitas Kairo) menyatakan (menulis) dalam makalahnya berjudul "Ibn Syathir wa Nashiruddin at Thusy wa Dawa'ir al Aflak" yang dipresentasikan pada seminar internasional sejarah ilmu pengetahuan tanggal 28-30 September 2004 M di Perpustakaan Iskandariah-Mesir, ia mengungkap, bahwa teori tersebut pada dasarnya telah dikemukakan atau setidak-tidaknya disinggung oleh Ibn Syathir (w.777 H) diabad 8 H melalui karyanya "Kitab Ta'liq al Arshad" dan "Nihayat al Ghayat fi [l] a'mal al Falakiyyat". Lebih lanjut, melalui diskusi (bincang-bincang) penulis dengan Dr.Muhammad Abdul Wahab Jalal (mantan Guru Besar falak-riyadhiyyat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan (History Science) Universitas Perancis) menyatakan; Nicholas Copernicus dalam teori "bulat bumi"-nya, ternyata komposisi jadwal Astronomi yang ia buat sama persis seperti teori (jadwal) yang dibuat Ibn Syathir dalam jadwal (Zig)-nya. Wallah a'lam

Data Astronomis Waktu-Waktu Shalat

Data Astronomis Waktu-Waktu Shalat

Firman Allah S.w.t;
(إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا

Artinya: "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman". (QS. An Nisa': 103)

Firman Allah S.w.t.;

أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقرآن الفجر إن قرآن الفجر كان مشهودا

Artinya: "Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh Malaikat)" (QS.Al Isra': 78)


Hadits Nabi S.a.w.;

وقت الظهر إذا زالت الشمس وكان ظل الرجل كطوله ما لم يحضر وقت العصر , ووقت العصر ما لم تصفر الشمس , ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق , ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط , ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم تطلع الشمس.

Tiga dalil di atas menyatakan bahwa waktu shalat punya limit dan ketentuan (awal dan akhir) dalam prakteknya, yang berarti shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu, tetapi harus mengikuti atau berdasarkan dalil-dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadis terkait. Persoalannya adalah, baik Al Qur'an maupun Hadits tidak memberi limit pasti awal dan akhir waktu-waktu shalat tersebut, yang ada hanyalah "kitaban mauquta" (waktu yang sudah ditentukan) tanpa ada penjelasan rinci dan mate-matis terhadap kalimat tersebut. Hal ini membawa konsekuensi pada beragamnya penafsiran terhadap penetapan awal dan akhir waktu-waktu tersebut.

Terlihat, dibuku-buku fikih klasik sampai kontemporer senantiasa memuat bab khusus yang membicarakan waktu-waktu shalat, yang biasanya dengan judul "bab mawaqit as shalah". Di bab tersebut pedebatan ulama cukup ramai dalam menanggapi dalil-dalil waktu shalat tersebut.

Dari dalil-dalil diatas, memberi isyarat bahwa pada dasarnya fenomena yang dikemukakan dalil-dalil tersebut dapat diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan. Hadits riwayat Abdullah bin Umar diatas secara jelas mengaitkan waktu shalat tersebut dengan pergerakan matahari. Firman Allah QS. Al Isra' : 78 diatas, kata "duluk as syams" secara Astronomi berarti Aberasi (inhiraf) kearah barat dari garis meridian yang menandai sampainya pusat lengkung matahari ke garis meridian.

Dalam penentuan jadwal/waktu shalat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian, jarak zenit, awal fajar, matahari terbit, kulminasi, matahari terbenam dan akhir senja. Dalam hal ini Ilmu Falak berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalil al-Qur'an dan Hadits di atas, dan ter-aplikasikan dalam bentuk rumus mate-matis. Dalam penetapan jadwal/waktu-waktu shalat, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data Astronomi (baca: perhitungan) sebagai acuan.

Akibat pergerakan semu matahari 23,5° ke utara dan 23,5° ke selatan selama periode satu tahun, waktu-waktu tersebut bergeser dari hari kehari. Akibatnya waktu shalat setiap hari atau setidak-tidaknya dalam beberapa hari juga mengalami perubahan.


Waktu Zuhur

Waktu Zuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian (gelincir matahari) , biasanya diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari, dan berakhir hingga panjang bayangan dari sebuah benda lebih panjang dari obyek sebenarnya. Untuk keperluan praktis, waktu tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.


Waktu Asar

Dalam penentuan waktu Asar, terdapat sedikit perdebatan, karena fenomena yang dijadikan dasar ada dua kemungkinan. Hadits di atas menyebutkan bahwa shalat Asar ketika panjang bayang suatu benda sama dengan tinggi benda sebenarnya (hyna kana kullu syay'in mitsluhu), namun dalam kesempatan lain disebutkan, Nabi S.a.w. pernah diajak shalat dua kali oleh Jibril a.s., kali pertama Nabi S.a.w. dan Jibril a.s. shalat Asar ketika panjang suatu benda sama panjang, kali kedua ketika panjang suatu benda dua kali tinggi benda sebenarnya (hyna kana zhillu kullu syay'in mitslayhi).

Dengan demikian setidaknya ada dua pendapat dalam penentuan waktu Ashar dikalangan Ulama, Jumhur (Syafi'iyah, Malikiyah, Hanabilah) berprinsip bahwa waktu Asar dimulai setelah panjang bayangan satu kali lebih panjang dari panjang bendanya, sementara itu Hanafiyah memegang prinsip bahwa waktu Asar dimulai setelah panjang bayangan dua kali panjang asli bendanya. Pendapat ini (Hanafiyah) beralasan dan dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin (seperti dibeberapa negara Eropa dan Afrika), sebab pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Zuhur. Meskipun waktu Asar sangat pendek dan mendekati waktu Magrib, namun tergolong ihtiyath, dan perbedaan dua kondisi di atas membawa konsekuensi pada perbedaan perhitungan (rumus) yang digunakan.
Namun secara zhahir-astronomis lebih tepat setelah panjang bayangan satu kali panjang benda sebenarnya (Jumhur), karena kondisi ini hampir tepat dipertengahan antara tengah hari (Zhuhur) dan awal malam (Maghrib). Hal ini diperkuat dengan ungkapan 'shalat pertengahan' dalam QS. Al Baqarah : 238 yang ditafsirkan oleh banyak mufassir sebagai shalat Asar. Wallah al a'lam


Waktu Magrib

Waktu Maghrib, berarti saat terbenamnya matahari sampai hilangnya cahaya merah di langit barat. Matahari terbit atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90° 50' (The Astronomical Almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu shalat Magrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan shalat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.


Waktu Isya'

Waktu Isya' ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (QS. Al Isra' : 78). Dalam astronomi hal itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) yaitu bila jarak zenit matahari z = 108o. Pada saat itu matahari berkedudukan 18 derajat di bawah ufuk (horizon) sebelah barat.


Waktu Shubuh

Hadits di atas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah sejak terbit fajar shidiq (fajar sebenar) hingga terbitnya matahari. Secara astronomis, fajar shidiq dipahami sebagai awal fajar astronomi (astronomical twilight), yaitu semenjak munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit matahari kira-kira 18° di bawah horizon (jarak zenit z =110 o).

Hisab dan Argumentasi Penolakannya-ILMU FALAK SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Hisab dan Argumentasi Penolakannya-ILMU FALAK SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh: Muhammad Rofiq, Lc.

Diskusi tentang keabsahan penggunaan hisab sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, khususnya pada tiga bulan yang berhubungan dengan ibadah umat Islam, sampai batas tertentu adalah cerminan dari wajah fikih Islam yang plural. Penerimaan dan penolakan terhadap masalah ini juga tidak luput dipengaruhi oleh faktor epistemologi masing-masing madzhab. Ibnu Taymiyah, bapak filsafat empirisme misalnya, menolak hisab dikarenakan hisab adalah ilmu yang bersifat 'prediktif' alias tidak bersentuhan langsung dengan praktek terjun ke lapangan. Sebaliknya kelompok masyarakat yang bersedia menerima hisab dalam menentukan awal bulan hijriyah bisa dianggap mewakili madzhab penganut rasionalisme. Suatu benda ataupun materi bisa saja eksis (ada) tapi belum tentu bisa dilihat oleh mata telanjang manusia.

Sebagian kalangan cenderung ambivalen ketika mengambil sikap tentang definisi dan mekanisme "rukyah". Di satu sisi mereka bersedia menerima teropong dan fasilitas canggih lainnya, tapi di sisi lain mereka menolak penggunaan hisab dengan alasan terlalu rumit. Mereka mengatakan perintah rukyah dalam hadist-hadist nabi harus ditafsirkan secara sederhana, yaitu dengan mengembalikannya ke pada maknanya yang zahir, karena dengan begitu lebih akan memudahkan terjadinya persatuan dalam hari raya. Menurut saya, menafsirkan atau melakukan pembacaan terhadap perintah agama tidak bisa disandarkan dengan logika-logika sederhana. Kalau mau sederhana, "niscaya khuf disapu bukan dari atasnya, tapi dari telapaknya", kata imam Ali. Manusia diperbolehkan untuk memadukan dan mengharmonikan antara dimensi normafitas teks (nash) dengan capaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menafsirkan agama secara sederhana dan membiarkan nya terpisah dari kemajauan dan perkembangan zaman, dalam hemat saya, pada akhirnya akan berujung pada sebuah titik kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang rigid, kaku, normatif dan bisa jadi bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, bersedia menggunakan ilmu pengetahuan dan sains sebagai piranti dalam memahami agama justru akan membuktikan kebenaran dari agama Islam itu sendiri. Dus, bagi saya sebenarnya tak ada masalah jika kita menggunakan hisab.

Sebagian kalangan juga menolak hisab karena tidak mengetahui substansi permasalahan. Saya teringat dengan sebuah makalah yang dibuat oleh senior saya yang berhasil menggondol gelar "doktor" dari universitas al-Azhar di bidang fikih. Ia menolak hisab karena alasan yang terlalu simplikatif, yaitu karena dalam hisab sudah terlalu banyak aliran sehingga peluang untuk terjadinya perbedaan hasil perhitungan sangatlah besar. Seorang teman yang padahal sejak awal telah setuju dengan prinsip ke-qathiy-an hisab juga menolak hisab dengan alasan yang sama. Kawan saya ini, sekalipun percaya akan keampuhan hisab, ternyata confused ketika harus berhadapan dengan rumus-rumus hisab yang bermacam-macam. Padahal sejatinya, jumlah rumus penghitungan yang beragam tidaklah kontradiktif dengan prinsip ke-qathiy-an hisab. Sebab, keragaman itu justru sebenarnya merupakan representasi dinamika (usaha ratusan tahun) manusia untuk mengetahui fenomena astronomis (waktu, tempat, jarak, dll) secara lebih akurat. Pada awalnya mereka baru menemukan rumus-rumus sederhana, namun lambat laut rumus tersebut terus diperbaiki sehingga akhirnya menjadi benar-benar menjadi qathiy. Jika kemudian masing-masing rumus yang ada digunakan lalu menghasilkan natijah yang berbeda-beda satu sama lainnya, perbedaan itu sebenarnya berada pada tingkat akurasi natijah saja. Akurasi itu sendiri sebenarnya dipengaruhi kelengkapan data-data empiris dalam melakukan penghitungan. Data-data empiris juga dipengaruhi oleh pengalaman manusia melakukan observasi dan pengamatan. Semakin lengkap data empiris yang dimiliki untuk menghitung, semakin banyak pengamatan yang dilakukan, semakin banyak trial and error yang terjadi, maka kemungkinan terjadi kesalahan akan semakin minim sampai angka yang sangat kecil. Maka, saya menyimpulkan bahwa rumus yang digunakan oleh masing-masing astronom dari setiap masa tidaklah berpengaruh secara signifikan terhadap hasil perhitungan yang dicari.

Saya ingin mengajukan bukti sederhana yang berhubungan dengan ke-qathiy-an hisab. Para pelaut di zaman kontemporer telah menggunakan data-data astromis untuk berlayar di laut, dan ternyata mereka tidak pernah salah arah. Bukti lain; para astronom juga telah membuktikan ke-qathiy-an rumus-rumus hisab dengan berhasil menentukan tempat, tahun, bulan, tanggal, jam, menit bahkan detik terjadinya gerhana bulan dan matahari. Dan, lagi-lagi tidak ada kesalahan dalam melakukan prediksi. Jadi, keragaman itu hanya berimplikasi pada tingkat keakuratan, di mana semakin maju ilmu pengetahuan, maka prosentase kesalahan akan semakin terminimalisir. Kesimpulannya, berkembangnya ilmu pengetahuan justru semakin akan membuktikan ke-qathiy-an hisab, bukan meragukannya, seperti yang diklaim sebagian kalangan.

Beberapa pihak juga terjebak dalam 'salah kaprah' ketika membedakan antara rukyah dan hisab, di mana yang pertama disebut berbentuk penelitian (saya lebih suka dengan istilah metode empiris) sementara yang kedua tidak. Mereka lupa bahwa ilmu hisab sendiri adalah akumulasi dari beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu kali observasi rukyah. Pertanyaan saya untuk mereka; dari mana didapatkan rumus falak sistem Jean Meeus, Muhammad Odeh, Muhammad Ilyas, Danjon, Ibnu Yunus, Prof. Dr Sulaiman, dll. kalau bukan dari hasil observasi?! Dari mana diketahui rumus Trigonometri, teori Gravitasi dan teori bahwa bumi itu bulat kalau bukan dari pengamatan yang bersifat induktif?! Yang ingin saya katakan pada mereka adalah mereka keliru besar ketika menyatakan bahwa ilmu hisab itu tidak empiris. Saya jadi ingat dengan bang Arwin (kawan saya berdiskusi urusan falak) ketika mengatakan; "ilmu hisab itu lahir dari rahim rukyah".

Jika kita membuka al-Quran, sebenarnya di dalam nya sudah disebutkan bahwa matahari dan bulan itu merupakan fenomena yang bisa dihitung. al-Syamsu wal qamaru bi husbân (al-Rahman;5). Dalam ayat lain disebutkan; Fâliqu'l isbâhi wa ja'alal layla sakanaw was syams wal-qamara husbâna, dzâlika taqdîru'l azîzil 'alîm (al-Anam;96). Berdasarkan dua ayat ini diketahui bahwa gerak astronomis matahari, bumi dan bulan sebenarnya memiliki periode yang pasti dan tetap, sehingga memungkinkan untuk diketahui dengan cara penghitungan.

Saya sering membaca, mendengar dan menemukan statemen yang bernada 'mengintimidasi' hisab karena melihat fenomena terjadinya perbedaan hari raya setiap tahun. Seolah-olah perbedaan hari raya di Indonesia adalah petaka yang lahir karena problem rumus hisab yang terlalu variatif. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Permasalahan perbedaan ini jika benar-benar diteliti tidaklah berasal dari hisab ataupun rukyah. Karena sebenarnya problem itu terletak pada kriteria derajat atau pada angka berapa hilal bisa digunakan untuk berhari raya, bukan pada hisab itu sendiri. Berarti sekali lagi jelas bahwa perbedaan hari raya tidak berhubungan dengan permasalahan rumus. Semua ormas di Indonesia sepakat bahwa hisab boleh digunakan untuk mengetahui ketinggian hilal, tapi permasalahan terjadi pada titik penentuan. Pemerintah menggunakan dua derajat di atas ufuk (horizon), Muhammadiyah yang penting sudah lebih dari nol derajat dan NU harus dilihat. Semua ormas di Indonesia sebenarnya sama-sama mengerti bahwa hilal itu pada hari tertentu berada di bawah ufuk atau di atas ufuk dalam ketinggian sekian derajat. Permasalahannya ketika sudah di atas ufuk, sebagian menyatakan sudah masuk bulan baru, sebagian lagi mengatakan belum karena belum sampai dua derajat, sebagian lagi tidak menggunakan faktor derajat karena yang penting pada titik itu hilal terlihat atau tidak. Hilal menurut NU adalah hilal yang bisa dilihat, berarti jika tidak kelihatan walaupun sudah di atas ufuk, belum disebut hilal. Ini berbeda dengan hilal Muhammadiyah dan pemerintah.

Sehubungan dengan ini, Ibnu Taymiyah (izinkan saya menjulukniya sebagai filosof beraliran empiris) dalam risalah fil hilal, jilid 13 dari majmuatul fatâwa-nya, terang-terangan menolak klaim bahwa menentukan kriteria sama saja membuat konsep pasti kapan hilal bisa dilihat. Menurut Ibnu Taymiyah, angka pasti sebenarnya baru ada di dua puluh derajat, itupun jika tidak ada penghalang. Tapi angka dua puluh tidak mungkin terjadi di tanggal tiga puluh syawal, apalagi dua puluh sembilan. Adapun angka-angka di bawah dua puluh jelas lebih ithimal dan lebih tergantung banyak faktor lagi.

Saya kutip ungkapan Ibnu Taymiyah: wa ammal aql fa'lam annal muhaqqiqin min ahlil hisab kulluhum muttafiqun ala annahu la yumkinu dhabtu rukyah bil hisab bi haytsu yuhkam biannahu yura aw la yura. Di paragraph lainnya Ibnu Taimiyah menulis: al-hasib ghayatu ma yumkinu idza sahha hisabuhu an ya'rifa mastalan annal qarshain ijtama'a fi sa'ah fulaniyah, wa annahu 'inda ghurubi syams yakunu qad faraqahal qamr. Loncat ke paragraph selanjutnya, ia mengatakan: amma kaunahu yura aw la yura, fa hadza amrun hissiyun tabiiyyun laysa huwa amran riyadhiyan!

Dalam hal ini saya ingin teringat bahwa dalam konsep wujudul hilal, Muhammadiyah menganut teori yang sama seperti yang digunakan oleh Ibnu Taymiyah yaitu derajat bukanlah patokan untuk melihat hilal, sebab perkara tersebut sangat relatif. Wujudul hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin bisa dilihat atau tidak, tetapi menjadi dasar dalam penetapan awal bulan Qamariyah dan sekaligus dijadikan bukti bulan baru Qamariyah sudah masuk atau belum.

Permasalahan ini kemudian menjadi lebih kompleks ketika perbedaan hari raya itu duhubungkan dengan otoritas negara sebagai ulul amri yang berwenang membuat kebijakan. Muhammadiyah, NU dan Ormas lainnya dianggap tidak taat kepada pemerintah. Bahkan ada juga yang menuduh Muhammadiyah dan ormas lainnya berkhianat. Saya melihat ada anomali (kejanggalan) dari terma berkhianat ini: 1) biasanya kata pengingkaran dan pengkhianatan terjadi setelah terlebih dahulu diawali oleh adanya kesepakatan antar kedua belah pihak. Pertanyaan saya, kapan pernah ada kesepakatan (atau semacam perjanjian) antara pemerintah dan beberapa ormas dalam perihal metodologi penetapan awal bulan hijriyah?! 2) umur sebagian ormas yang ada di Indonesia itu jauh lebih tua dari pada umur bangsa Indonesia. Muhammadiyah lahir tahun 1912, NU 1926, sementara pemerintah 1945. Begitu juga dengan umur wujudul hilal Muhammadiyah, rukyah bashariyyah NU, jauh lebih tua dari pada konsep imkanur rukyah pemerintah. Konsep pemerintah datang belakangan, persis setelah melihat bahwa ada friksi yang tajam antara konsep NU dan MUhammadiyah yang dalam perspektif pemerintah dipandang harus ditengahi.

The lat but not the least, saya sebenarnya tidak sedang bersikeras membela satu metodologi tertentu. Saya mengakui dengan sangat terbuka bahwa semua metode tersebut masih memiliki celah-celah kekurangan, termasuk juga konsep wujudul hilal Muhammadiyah, dan saya juga mengakui bahwa hari raya akan lebih 'afdhal' jika dirayakan bersama-sama. Saya terus terang seratus persen setuju dengan ide penyatuan kriteria penentuan awal bulan hijriyah milik berbagai ormas di Indonesia dengan catatan asal tidak dengan mekanisme up to down. Wallahu A'lam. []

Muhammadiyah dan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah (Wacana Pengunggulan Hisab di atas Rukyat)

Muhammadiyah dan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah (Wacana Pengunggulan Hisab di atas Rukyat)

Oleh: Muhammad Rofiq, Lc.

Berkenaan dengan konsep penentuan awal bulan hijriyah, telah berlaku beberapa kali revisi dalam metode yang digunakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Bab Puasa disebutkan sebuah kaidah; "al-shaumu wa'l fitru bil rukyah, wa lâ mânia bil hisâb" (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab). Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menggunakan rukyah sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, sekalipun saat itu hisab tidaklah diharamkan. Namun seiring dengan perkembangan waktu yang dibarengi dengan perkembangan teknologi, Muhammadiyah pun merubah konsep tersebut. Pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta muncul kecendrungan yang lebih mengakomodir hisab secara lebih jauh sehingga lahirlah keputusan tarjih yang meletakkan hisab sejajar dengan rukyah. Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia.

Dalam tataran teoritis Muhammadiyah memang meletakkan hisab dan rukyah secara sejajar. Hanya saja dalam wilayah praksis, Muhammadiyah memandang bahwa hisab sudah cukup mewakili sehingga rukyah jarang sekali dipraktekkan. Dalam pandangan Muhammadiyah penentuan awal bulan hijriyah masuk ke domain aktivitas ta'aquliy, sehingga otomatis rukyah bukanlah ibadah. Dalam ranah pemikiran hadist ada klasifikasi al-sunnah al-tasyri'iyah dan al-sunnah ghairu tasyriiyah. Tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan si semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Ada sunnah yang ta'abudi dan sunnah yang taaqquli. Dalam konteks hadist tentang rukyah, perintah tersebut harus dipahami illah (kausa hukum) nya. Dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan 'al-hukmu yadûru ma'a 'illaitihi wujûdan wa 'adaman. Bahwa saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah baru lah rukyah. Penafsiran ini bisa dihubungkan dengan hadist lain; 'innâ ummatun ummiyah, lâ naktub wa lâ nahsub.

Saya tertarik dengan tulisan Pak Susiknan Azhari dalam bukunya "Hisab dan Rukyat, Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan" yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Pak Susiknan membaca perintah rukyah yang tertuang dalam banyak hadis dengan menggunakan pendekatan hermeutis (sayang yang dikutip adalah hermeneutika Gadamer yang orang Barat). Berkenaan dengan pendekatan hermeneutis ini ia mengatakan; "Merekonstruksi makna rukyat perlu melibatkan aspek sosio-kultural sehingga bila terjadi shifting paradigm dalam menfsirkan makna rukyat tidak perlu dirisaukan." Pak Susiknan menyimpulkan bahwa perintah rukyah yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu. Tulis Pak Siknan: "Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian melihat dengan mata telanjang lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris." Di paragraph selanjutnya; "Pada masyarakat petani, fenomena alam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya." Maka ketika zaman berubah, capaian manusia dalam bidang teknologi juga terus bergulir, mau tidak mau hisab haruslah digunakan.

Kecendrungan untuk meletakkan hisab lebih tinggi dari rukyah dalam Muhammadiyah sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari. Namun belakangan kecendrungan ini semakin menguat melalui terbitnya buku terbaru ketua Majelis Tarjih dan Tajdid yang berjudul "Hisab Awal Bulan Kamariyah Perspektif Muhammadiyah" yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Di samping karena hisab itu sudah sangat qathiy (disebut 'sudah' karena pernah tidak qathiy), juga karena berdasarkan prinsip dalil-dalil syari, hisab memang lebih kuat dari pada rukyah. Pak Syamsul dalam buku nya tersebut mengutip penelitian yang dibuat oleh dua orang ahli hadis terkemuka; Syaikh al-Ghumariy dan Syaraf al-Qudah, yang menyebutkan bahwa hadis nabi yang berisikan perintah untuk menentukan awal bulan hijriyah asalnya adalah dengan hisab (al-ashlu fi istbâti awal al-syahr an yakûna bi'l hisâb).

Keberanian Muhammadiyah untuk memegang konsep ini sebenarnya tergolong revolusioner karena di beberapa negara arab sendiri kecendrungannya masih bermacam-macam. Arab Saudi sampai detik ini masih berjuang untuk terlepas dari kungkungan konservatisme dan skriptualisme. Mesir baru sampai kaidah "al-hisâb al-daqîq lâ yata'ârad ma'a al-ruqyah al-sahihah". Beberapa intelektual Islam, semisal Yusuf Qardlawi, Mustafa Zarqa dan Rasyid Ridha, yang tulisannya diterjemahkan oleh Pak Syamsul, juga baru secara dhimniyyan (implisit) mengatakan bahwa hisab adalah wasilah pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah. Dengan mengambil sikap seperti ini Muhammadiyah berarti telah jauh melampaui yang lainnya. Bagi saya sendiri sekarang bukan lagi perdebatan kita tentang apakah kita menggunakan hisab atau rukyat, karena perkara itu terlalu jelas dan tidak up to date. Hisab terlalu pasti (qathiy) untuk ditolak; qathiy min haistu ad-dalil al-syari (dari segi dalil syari) wa min haistu natijah (dari segi konklusi matematis). Sekarang perdebatan-nya sudah masuk ke wilayah manakah di antara dua sarana itu yang pokok dan yang komplementer.

Saya sendiri, entah terpengaruh oleh gen saya yang Muhammadiyah, merasa bahwa konsep hisab adalah pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah sudah sangat ideal. Ada beberapa alasan yang melatarinya:

Pertama, bagi saya, penggunaan hisab bisa dikatakan lebih 'nyunnah' dari pada penggunakan rukyat. Perintah rukyat hanya termaktub dalam hadis nabi dan tidak ada dalam al-Quran. Sebaliknya, hisab diperintahkan langsung melalui al-Quran dan hadis. Di satu sisi ini membuktikan bahwa rukyah bukanlah segala-galanya, karena ia bagian dari wasilah yang bisa berubah sesuai dengan ruang dan waktu, dan di sisi lain membuktikan bahwa hisab lah yang sebenarnya lebih cocok dengan prinsip Islam yang menghormati ilmu pengetahuan. Dalam al-Quran surat al-Rahman ayat 5 disebutkan: al-Syamsu wal Qamaru bi husbân (matahari dan bulan bisa dihitung). Ayat ini bukan hanya pernyataan deklaratif saja (khabar), karena tanpa keterangan ilahi pun manusia akan tahu bahwa kedua benda langit itu bisa dihisab. Ayat ini mengandung pesan imperatif (thalab insyai) bahwa hendaknya posisi bulan dan matahari dihitung dan hendaknya hasil perhitungan itu dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dalam berakifitas. Jika kita membaca pesan-pesan al-Quran dengan seksama, terdapat banyak ayat yang berisi penekanan arti penting pengorganisasian waktu secara keseluruhanan.

Dengan mendahulukan hisab, bukan berarti saya menyingkirkan rukyah sebagai sebuah metode penentuan awal bulan hijriyah. Saya sepakat hisab harus dibuktikan kevalidannya melalui rukyah. Oleh karena itu rukyah harus terus dilakukan dan tidak boleh disingkirkan begitu saja. Jadi ini hanya masalah mana yang ashl (pokok) dan mana yang far' (cabang). Masing-masing punya konsekwensi. Jika hisab adalah ashl (pokok) maka implikasinya adalah kita bisa membuat keputusan masuknya waktu puasa, idul adha, idul fitri sejak jauh-jauh hari. Makalah alasan kedua adalah untuk efektifitas dan efesiensi. Dengan menggunakan hisab kita bisa membuat kalender Islam global. Kita bisa lebih futuristik (berpandangan jauh ke depan) dalam membuat keputusan. Kita lebih bisa rapi. Tulis Pak Syamsul: "Ketiadaan kalender komprehensif dan terunifikasi di kalangan umat Islam menyebabkan dunia Islam mengalami semacam kekacauan pengorganisasian waktu. Hal ini tampak sekali dalam kenyataan bahwa untuk hari raya idul fitri atau idul adha misalnya terjadi perbedaan yang mencapai empat hari." Sebaliknya, jika kita terus menggunakan kaedah ashl-nya adalah rukyah, sementara hisab hanya membantu, maka selamanya kita akan menetapkan hari raya pada setiap tanggal 29 Syakban, Ramadhan dan Dzulkaedah. Selama nya kita akan melakukan pembodohan umat (saya jadi teringat dengan kasus lebaran tahun 2008 ini di mana jelas hilal tidak terlihat tapi rukyat masih dilakukan). Selamanya kita tidak bisa memenej masa depan.

Sebagian kalangan memang masih bersih keras menggunakan rukyah sebagai sarana pokok untuk menentukan masuknya awal bulan hijriyah. Dalil-dalil yang digunakan masih cenderung normatif dan tidak terlalu melibatkan logika astronomi. Hanya saja yang saya sering herankan adalah kelompok-kelompok ini sekalipun menolak hisab untuk menentukan awal puasa, lebaran dan haji, tapi masih tetap bersedia menggunakan dan menerima hasil perhitungan pada ibadah-ibadah lain semisal penentuan arah kiblat dan masuknya waktu salat. Jadi ada semacam ambivalensi dalam memahami nash dan logika astronomi. Benarkah keduanya tidak bisa didamaikan dan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika kita bersedia salat sesuai dengan jadwal yang diperoleh dari hasil dari perhitungan (hisab), tapi enggan puasa dengan hisab, kita sesungguhnya bisa dimasukan pada golongan yang dikecam al-Quran karena bersikap ambivalen. 'Afatukminuna bi ba'dhil kitâbi wa takfurûna bi ba'dh: al-Baqarah 85.

Kalangan yang menolak klaim rasionalitas (aqliyatu) hisab dan rukyah menganalogikan (mengqiyaskan) hisab dengan rukyah di mana kedua-duanya adalah perbuatan ibadah yang harus diikuti sebagaimana perintah itu diturukan dan dipraktekkan oleh nabi. Menurut hemat saya, analogi rukyah dengan mencium hajar aswad adalah QIYAS MAAL FARIQ. Apa illah-nya dari analogi ini sehingga dua perkara itu bisa dikaitkan (ilhaq) satu sama lain, lalu kemudian memunculkan satu hukum yang sama? Kita harus ingat bahwa dalam qiyas ada entitas yang bernama al-ashl, al-far'u, al-illah dan al-hukm. Dan, menentukan illah pun juga tidak sembarangan, karena ada proses pengecekan lagi berupa penelitian empirik pada al-ashl dan al-faru yang sama-sama perkara juziy. Harus tidak boleh dilupakan juga bahwa karakter qiyas ushul fikih berbeda dengan qiyas Aristotles (iqtirâni) yang mengandalkan aksiomatika akal (dlarurah 'aqliyyah) sehingga pengecekan 'illah melalui metode induktif menjadi tidak penting lagi. Jika al-ashl-nya adalah mencium hajar aswad dan al-far'u-nya adalah rukyatul hilal, maka sekali lagi, apa illah nya sehingga dua kasus ini bisa dianalaogikan?

Bagi saya, yang benar justru sebaliknya bahwa mencium hajar aswad jelas ibadah, dan rukyah bukan bagian dari ibadah. Mencium hajar aswad ibadah dan oleh karenanya masuk ke ranah al-tsawabit (konstan) selain karena dikuatkan secara eksplisit oleh hadis Umar juga karena ia bukanlah wasilah (perantara, sarana) untuk melakukan apapun. Jadi ibadahnya terletak pada mencium itu sendiri. Sementara rukyah adalah wasilah yang jelas bisa berubah-rubah (mutaghyyirat). Kata Syatibi, kaidahnya; al-ashlu fi al-ibâdat al-ta'abud dûna al-iltifât ilal ma'âni, wa al-ashlu fil-âdat al-iltifât ilal ma'âni.

Kembali ke tema utama. Saya sepenuhnya meyakini bahwa dalam membuat sebuah keputusan Muhammadiyah harus bijak sekaligus cerdas membaca realitas masyarakat. Kelompok-kelompok lain memang masih cukup konsisten bertahan dengan konsep rukyah-nya. Menghadapi kelompok seperti ini Muhammadiyah harus dewasa, tidak merasa benar sendiri, semena-mena hingga akhirnya menyakiti kelompok lain. Sebab perbedaan adalah sunnatullah. Perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriyah ini ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah: 1) faktor nash yang kadang tak jarang multiinterpretatif, 2) metode interaksi dengan nash tersebut, 3) paradigma memandang sains. Begitu juga dengan pihak lainnya, hendaknya sama-sama arif menyikapi perbedaan. Sikap yang harus dikedepankan adalah toleransi dan dialog, bukan eklustifas-non ilmiah yang mengikis silaturahmi. Muhammadiyah harus menyadari bahwa dalam membuat satu produk hukum memang harus memperhatikan kondisi dan situasi cara berfikir dan adat istiadat masyarakat. Perlu skema tadarruj (evoutif dan gradual). Mahlan, mahlan, karena syariah itu fleksibel. Saat ini barangkali memang akan terkesan terlalu radikal jika Muhammadiyah memaksakan ide pentingnya meletakkan hisab sebagai sarana pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah. Tapi saya juga yakin ini adalah kepastian sejarah. Kita tinggal menunggu tanggal mainnya. Wallahu A'lam. []

Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?

Mengapa Muhammadiyah Memakai Hisab?
IMM UGM

oleh Inamul Haqqi Hasan

Salah satu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakaimetode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyatdalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1Ramadhan dan 1 Syawwal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan halini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidakpatuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikutiRasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalanganMuhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karenaberpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karenamelihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulanterhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’bantigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan jugacontoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulahyang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yangtidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuhmemakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang saya ringkaskan darimakalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalampengajian Ramadhan 1431H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal,yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariahbaru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsiatau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saatmatahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapaMuhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat Al Qur’an adalahmenggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredarmenurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedarmenginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pastisehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untukmenghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkanbahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisabmengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilatperintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi,tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dantidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yaknikadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jikaada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. MuhammadSyakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafimurni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariahadalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orangmengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidakbisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karenatanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironibesar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpaduyang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapatsuatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukanawal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbedamemulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyatpada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang samaada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapatmerukyat. Kawasan bumi di atas lintangutara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidaknormal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atauterlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasanlingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknyalebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulanQamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zamantengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat ituberlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan denganfakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalamikemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalahpelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementaradi kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasansebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu haridengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapatmenyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafahkarena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung baratitu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkahpadahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalendermenjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapatmemberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itutidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistemwaktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangihisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk PengkajianPerumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: parapeserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaanterhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaanhisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.

Perbedaan Jatuhnya Idul Adha Bisa Diakibatkan Penggunaan Kalender Bizonal

Upaya umat Islam memiliki kalender komprehensif dan berlaku menyeluruh secara internasional masih terus dilakukan, karena selama ini yang ada merupakan kalender yang hanya cocok bagi daerah di mana kalender itu dibuat. Akibatnya, Dunia Islam sering semacam kekacauan pengorganisasian waktu, tampak pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1428 H, misalnya, yang jatuh pada hari yang bervariasi sejak dari hari Kamis, Jumat, Sabtu hingga hari Ahad.

Namun, kalender yang diusulkan oleh para pakar falak ternyata masih mengandung kelemahan. Menurut seorang pakar dari Maroko yaitu Dr. Jamaludin Abdurrazik tiga usulan kalender yaitu Kalender Qosum, Audah dan Al Qudah yang ketiganya membagi dunia menjadi Zona Barat dan Zona Timur ternyata memberi peluang umat Islam di Zona Barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah pada hari terjadinya wukuf di Arafah, demikian diungkapkan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2005-2010, Prof. Dr. Syamsul Anwar dalam tulisan mengenai hasil korespondensi dengan Jamaludin Abdurrazik menjelang Idul Adha 1430 H / 2009 M yang lalu yang bisa di download di website ini, Selasa (20/07/2010). (KORESPONDENSI KALENDER HIJRIAH INTERNASIONAL: DARI JAMALUDDIN KEPADA SYAMSUL ANWAR ).

Menurut Jamaluddin, fenomena jatuhnya tanggal 9 Zulhijah di Mekah yang merupakan hari wukuf di Arafah bersamaan dengan tanggal 10 Zulhijah di Zona Barat yang merupakan hari Iduladha disebabkan karakter dwizonal dari kalender-kalender tersebut membuat kita mempertanyakan efektifitas kalender dwizonal, yang juga menyebabkan umat Islam di Zona Barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah pada hari terjadinya wukuf di Arafah. Menurut Jamalludin dalam kurun waktu 20 tahun dari 1431-1450 H kemungkinan terjadinya sebagai berikut :

* Dalam kalender Qasum ditemukan 11 kasus, dengan prosentase 55 %,
* Dalam kalender ‘Audah ditemukan 8 kasus, dengan prosentase 40 %,
* Dalam kalender al-Qudah ditemukan 11 kasus, dengan prosentase 55 %.

Sehingga menurut Jamalludin, mengingat sangat pentingnya kedudukan puasa Arafah itu dalam pandangan kaum Muslimin, ini merupakan alasan untuk menyatakan ketidakvalidan sistem kalender dwizonal.

Menurut makalah Prof. Syamsul sebelumnya yang berjudul “Perkembangan Pemikiran Islam Tentang Kalender InternasionalPerkembangan Pemikiran Islam Tentang Kalender Internasional” (2008), Kalender Qosum sendiri merupakan usulan Dr. Nidal Qosum (1997), Kalender Audah usulan Ir. Muhammad Syaukat Audah dari Uni Emirat Arab (2001) dan Kalender Al -Qudah usulan Prof. Dr. Syaraf Al Qudah dari Yordania (1999).

ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) pada tahun 2008 melakukan uji validitas usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.

Dr. Jamaludin Abdurrazik sendiri merupakan tokoh yang mengusulkan kalender Qomariyah (Hijriyah) Unifikasi yang tidak membagi dunia menjadi Zona-Zona. Tiga usulan Jamaludin, Pertama : Penggunaan Prinsip Hisab karena tidak mungkin dibuat kalender berdasar Rukyat, Penolakan terhadap hisab berarti pembubaran seluruh upaya penyusunan kalender. Kedua : prinsip transfer rukyat, yaitu apabila terjadi rukyat di kawasan ujung barat (hilal semakin ke barat semakin mudah dirukyat), maka rukyat itu ditransfer ke timur untuk diberlakukan bagi kawasan ujung timur. Ketiga : permulaan hari yang dimulai sejak tengah malam, bukan Maghrib atau fajar, dan diulai di garis bujur 180º

Sekali Lagi Mengapa Menggunakan Hisab

Sekali Lagi Mengapa Menggunakan Hisab

Website Muhammadiyah telah banyak memuat kajian tentang masalah hisab dan rukyat. Bahkan website ini juga memuat buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, yang di dalamnya masalah hisab dan rukyat dibahas secara luas. Namun ketika Website ini melangsir berita “Muhammadiyah telah tetapkan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha” ada beberapa pembaca yang memberikan tanggapan. Intinya yang bersangkutan merasa ada ganjalan dengan penetapan bulan-bulan ibadah dengan hisab. Kenapa tidak memakai rukyat yang diajarkan oleh Rasulullah? Pembaca lain menanggapi bahwa untuk Iduladha supaya mengikuti Arab Saudi saja.

Oleh karena itu sekali lagi perlu diturunkan penjelasan tentang mengapa harus menggunakan hisab dan tidak menggunakan rukyat.

Sebelum lebih lanjut masuk ke masalah ini, terlebih dahulu secara lengkap tanggapan kedua pembaca di atas dikutipkan di sini secara utuh sebagai berikut:

"Mohon maaf, saya besar dan hidup di lingkungan Muhammadiyah, namun ada yang sedikit mengganjal tentang penetapan awal puasa dan lebaran. Kenapa lebih mengutamakan dengan hisab bukan dengan melihat hilal. Ya walaupun saya juga sadar ilmu astronomi berkembang pesat, namun ilmu yang terbaik adalah ilmu yang datang dari sisi Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw. Hasil dari melihat secara langsung hilal dibanding dengan perkiraan bukankah lebih mantap dengan melihat hilal? Mohon maaf, saya ini hamba Allah yang masih fakir ilmu. Jika saya salah, tolong diingatkan."

Pembaca lainnya menulis,

“Menurut saya khusus untuk 10 Dzulhijjah walaupun sudah ada perhitungan tepat, pada waktunya ikutin saja pelaksanaan ibadah haji. Kalo jamaah haji wukuf hari Senin, ya Selasanya Idul Adha. Wallahu a'lam.”

Apa yang dikemukakan oleh kedua penanggap di atas bukanlah perasaan pribadi, melainkan merupakan pandangan banyak orang, bahkan di tingkat dunia. Pada berbagai konferensi dan pertemuan internasional tentang hisab dan rukyat masalah tersebut selalu muncul. Terakhir dalam Konferensi Astronomi Emirat Kedua yang dilaksanakan awal Juni baru lalu, salah seorang pembicara, yakni Dr. Nidhal Guessoum, menyatakan bahwa kita harus membuat kalender hijriah bizonal (kalender hijriah yang membagi dunia menjadi dua zona penanggalan) demi menghindari memasuki bulan kamariah baru, tanpa terjadinya rukyat di dunia Islam [walaupun yang beliau maksud dengan rukyat bukan rukyat sesungguhnya karena rukyat sesungguhnya tidak bisa membuat kalender, tetapi maksudnya adalah hisab imkanu rukyat]. Jadi aspirasi rukyat masih melekat kuat pada banyak orang. Begitu pula pandangan mengikuti Arab Saudi, juga banyak diamalkan. Pemerintah Mesir, misalnya, khusus untuk bulan Zulhijah mengikuti Arab Saudi karena haji dan puasa Arafah. Akan tetapi untuk Ramadan, Idulfitri dan bulan-bulan lain Mesir membuat penetapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan Arab Saudi. Barangkali penanggap di atas pernah atau sedang kuliah di sana.

Kembali ke persoalan kita, akan halnya ilmu Allah yang diturunkan kepada dan diajarkan oleh baginda Rasulullah saw haruslah difahami secara kaffah, tidak hanya sebagian-sebagian. Di dalam ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw itu ada perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu ada yang tidak berilat (tidak berkausa, tidak disertai keterangan sebab/alasan) dan ada yang berilat. Perintah Rasulullah saw agar salat zuhur empat rakaat dan salat subuh dua rakaat, misalnya, tidak ada kausanya (ilatnya) mengapa penetapan baginda itu demikian. Kalau dipikir-pikir menurut akal, mestinya salat zuhurlah yang dua rakaat karena biasanya para pekerja di pabrik atau di kantor mempunyai waktu istirahat siang hanya singkat, terkadang tidak cukup untuk salat dan makan siang ditambah mengaso sedikit. Sebaliknya di subuh hari orang masih punya banyak waktu dan sekalian sambil olah raga, sehingga mestinya rakaat salatnya lebih banyak. Itu semua menurut akal. Perintah baginda tersebut tidak dapat diakal-akali, karena merupakan perintah yang tidak berilat, dan semua orang harus menjalankan apa adanya sesuai perintah itu. Kata Imam al-Gazzali, ketentuan tak berilat ini kebanyakannya dalam hal-hal ibadah, walaupun ada juga dalam selain ibadah.

Macam kedua perintah dan larangan itu adalah perintah dan larangan yang berilat, yaitu ada keterangan sebab (alasan) mengapa diperintahkan atau dilarang seperti itu. Ilat perintah atau larangan itu ada yang disebutkan secara bersamaan dengan penyebutan perintah atau larangannya, dan ada pula yang disebutkan terpisah, bahkan ada yang tidak disebutkan sama sekali, namun dapat ditemukan melalui ijtihad. Diagramnya dapat dilihat sebagai berikut:


Contoh ilat yang disebutkan bersamaan adalah ilat kebolehan tidak berpuasa Ramadan di bulan Ramadan. Ilatnya ialah bepergian (safar) atau sakit. Ilat safar dan sakit ini disebutkan mengiringi perintah puasa Ramadan. Sedangkan ilat yang disebutkan terpisah, dan ini yang penting di sini, contohnya adalah ilat perintah rukyat. Perintah rukyat disebutkan dalam hadis, “Berpuasalah kamu karena telah melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal” [Diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis]. Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab” [riwayat jamaah ahli hadis]. Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah berilat dan ilatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab. Untuk mengetahui pendapat ketiga ulama ini baca terjemahannya dalam edisi ke-2 dari buku Muhammad Rasyid Rida dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar‘i tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, 2009.

Menurut Rasyid Rida lebih lanjut, adalah tugas Rasulullah saw untuk membebaskan umatnya dari keadaan ummi itu dan beliau tidak boleh membiarkan mereka terus dalam keadaan ummi tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari kenyataan ini kemudian Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ummi berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.”

Maksud beliau adalah bahwa pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan hisab, seperti di zaman Nabi saw, maka digunakan rukyat karena itulah sarana yang tersedia dan mudah pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat.” Artinya apabila hisab belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi ummi di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunkan hisab. Bahkan Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli hadis ­– yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai seorang salafi tulen yang biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah ­– menegaskan, “Pada waktu itu adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk orang yang menentang pendapat Syaikh Akbar itu [yakni Syeikh al-Maraghi yang berpandangan hisab, pen.]. Sekarang saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya menambahkan: wajib menetapkan hilal dengan hisab dalam segala keadaan, kecuali di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.”

Rasyid Rida, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan syariah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi menegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan sarana yang tidak menjadi tujuan syariah sendiri.”

Apabila kita mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini memerintahkan pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan menimbulkan kerugian (Q. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan melakukan pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi beberapa petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan berbagai benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari dan Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [Q. 55: 5]. Ini bukan hanya sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya bagi kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan penandaan waktu [Q. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal ini membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.”

Jadi demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw sebagaimana difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain alasan sayr’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama, pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan. Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan tidak bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.

Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.

Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-Daqiqah].



Ragaan 1 : Rukyat Syawal 1439 H



Ketiga ragaan di sebelah kiri memvisualisasikan rukyat hilal. Kawasan di dalam lengkungan kurve rukyat adalah kawasan yang dapat melihat hilal, sementara yang di luarnya tidak dapat merukyat. Ragaan 1 menampakkan rukyat hilal Syawal 1439 H pada hari Kamis petang 14-06-2018 M sesaat sesudah matahari terbenam. Pada sore Kamis itu yang diperkirakan dapat melihat hilal Syawal 1439 H adalah sebagian besar benua Amerika, seluruh benua Afrika, sebagian kecil benua Eropa dan Asia. Indonesia terbelah: seluruh Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Babel serta sebagian Jawa termasuk Pelabuhanratu dapat merukyat hilal Syawal 1439 H bilamana cuaca terang dan baik. Seluruh Austraia, sebagian benua Amerika, sebagian besar Eropa dan Asia tidak dapat melihat hilal Syawal 1439 H sore Kamis 14-06-2018 M.

Ini menggambarkan bahwa rukyat tidak pernah dapat menyatukan penanggalan Islam di seluruh dunia. Kalau kita konsekuen memegangi hadis-hadis rukyat secara harfiah, maka kawasan yang belum dapat merukyat mestinya belum memasuki bulan baru meskipun satu negara, karena ada di antara versi hadis rukyat itu yang menegaskan jangan berpuasa atau beridulfitri sebelum melihat hilal.

Ragaan 2 : Rukyat Zulhijah 1439 H

Ragaan 3 : Rukyat Zulhijah 1455 H



Ditambah lagi dengan hadis Kuraib yang terkenal itu yang menyatakan bahwa rukyat tidak dapat ditranfer ke kawasan yang tidak berhasil merukyat seperti rukyat Damaskus tidak dapat ditransfer ke Madinah sebagaimana ditegaskan dalam hadis tersebut meskipun kedua kotaAda yang mengatakan rukyat dapat ditransfer (diberlakukan ke daerah yang tidak bisa merukyat) sejauh batas salat belum dapat diqasar. Ada yang berpendapat boleh ditransfer ke negeri berdekatan, bahkan ada yang berpendapat boleh transfer rukyat ke seluruh dunia, walapun pendapat ini secara astronomis adalah mustahil. Di zaman modern, para pendukung kalender bizonal (kalender yang membagi dunia ke dalam dua zona tanggal dan kalender yang disemangati rukyat) membolehkan transfer rukyat dalam satu zona tanggal (separoh muka bumi, karena transfer ke seluruh muka bumi mustahil). Jadi apabila rukyat terjadi di suatu tempat di zona barat, rukyat itu dapat diberlakukan ke seluruh zona itu, dan tidak dapat diberlakukan ke zona timur. Akibatnya tanggal antara kedua zona itu tidak bisa disatukan, timbul masalah puasa Arafah seperti akan dijelaskan. itu waktu itu satu negara. Oleh karena itu timbul perbedaan pendapat di kalangan para ulama pendukung rukyat tentang boleh atau tidaknya transfer rukyat, dan kalau boleh sejauh mana.

Itulah problematika rukyat. Metode ini tidak dapat menyatukan kalender Islam secara menyeluruh dengan mencakup seluruh dunia. Karena itu dalam Temu Pakar II tahun 2008 para peserta yang hadir menyimpulkan bahwa untuk menyatukan kalender umat Islam sedunia tidak ada jalan lain kemcuali menggunakan hisab.

Ketiga, rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena rukyat itu terbatas liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum ada rukyat sementara di daerah lain (sebelah barat) sudah terjadi rukyat. Atau di Mekah sudah terjadi rukyat sementara di kawasan lain (sebelah timur) belum terjadi rukyat. Problemnya adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Iduladha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari raya dilarang. Bagi kawasan di sebelah timur Mekah, problemnya adalah bisa jadi hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung timur bumi. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada ragaan 2 dan 3.

Ragaan 2 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-08-2018 M hanya terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera Pasifik sebelah timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari Sabtu tidak mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore itu di Kepulauan Hawai dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota Honolulu ketinggian Bulan sore Sabtu tersebut 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi untuk dapat dirukyat. Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu memasuki tanggal 1 Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah (hari puasa Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M.

Sementara itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun Bulan sudah di atas ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”. Data astronomis Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi kriteria Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu 22-08-2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa 21-08-2010 M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana tidak mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang hukumnya [tetang hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Iduladha di zona barat baca dalam website ini dua artikel, yaitu: KORESPONDENSI KALENDER HIJRIAH INTERNASIONAL: DARI JAMALUDDIN KEPADA SYAMSUL ANWAR, dan satu lagi DARI SYAMSUL ANWAR KEPADA JAMALUDDIN].

Jadi rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan. Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa untuk haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah, maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu melihatnya berharirayalah.”

Kasus paralel ditampilkan oleh ragaan 3 di atas. Sebalik dari ragaan 2, pada ragaan 3 rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan di Mekah bilamana cuaca terang dan baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12” dan busur rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data ini telah memenuhi kriteria rukyat Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10 Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Ketinggian ini menurut kriteria internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M, dan iduladha jatuh kamis 2 maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa hari Arafah di Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di Indonesia. Di sini timbul pertanyaan apa orang puasa Arafah tanggal 8 Zulhijah? Inilah problem rukyat yang tidak dapat menyatukan tanggal secara global.

Mengenai rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia biasanya diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian ilmiah tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah terjadi bahwa bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.

Memang sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah, bahkan masih di bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang ada dorongan psikologis untuk cepat-cepat melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di mana orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di berbagai negeri baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian tentang 45 kali Ramadan sejak Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H, menunjukkan bahwa dari 45 kali Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah ufuk tetapi diklaim telah terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga ternyata Bulan masih di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan Zulhijah Arab Saudi oleh Majlis al-Qadla’ al-A’la mendapat kecaman teramat pedas dari Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut penetapan tersebut. [Mengenai rukyat Saudi lihat dalam website ini artikel berjudul RUKYAT SAUDI, PUASA ARAFAH, DAN MENDESAKNYA PEMBUATAN KALENDER ISLAM TERPADURUKYAT SAUDI, PUASA ARAFAH, DAN MENDESAKNYA PEMBUATAN KALENDER ISLAM TERPADU].

Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada tradisi yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu penyatuan penanggalan Islam itu harus internasional.

Sebagai catatan akhir dapat disimpulkan bahwa metode rukyat tidak dapat menyatukan penanggalan umat Islam dan menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Ini artinya kita harus menggunakan hisab. Oleh karena itu marilah kita coba melapangkan dada dan menengok permasalahannya secara luas baik dari segi dalil-dalil nas al-Quran dan hadis maupun dari segi ilmu astronomi yang juga merupakan ilmu Allah “yang diuraikannya untuk menguak ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui” [cf. Q. 10:5]. [Untuk melengkapi bacaan ini baca juga dalam website ini PUASA, IDULFITRI DAN HISAB-RUKYATPUASA, IDULFITRI DAN HISAB-RUKYAT].

Kalasan, Yogyakarta, 18 Syakban 1431 H/ 30 Juli 2010 M

Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)