Sabtu, 09 Januari 2010

CINTA2

Setiap problematika “percintaan” memang tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus memiliki ciri khas nya masing-masing. Ada yang ”bubar” tanpa menimbulkan goncangan berarti, sebagian ”bubar” berdampak psikologis pada si pelaku. Ada yang terlanjur kawin tapi tidak jadi nikah, sebagian ada yang berencana nikah tapi tidak akan dikawinin (pastur kali ye), ada yang sudah ”tunangan” tapi kawin sama orang lain, dan seabrek permasalahan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.


Tapi yang pasti, solusi percintaan dalam realitas memang tidak dapat dibayangkan seperti kisah Romeo and Yuliet. Alias pandangan bahwa suatu hubungan hanya bisa bermodalkan ”cinta”, kalau perlu sampai nyawa dipertaruhkan!. Apalagi bagi kita yang hidup dalam sebuah budaya masyarakat yang tidak lepas dari berbagai penilaian-penilaian orang lain, bahkan keluarga tiap-tiap pasangan. Sebebas apapun hubungan percintaan, dia cenderung punya ”rasionalitas”nya masing-masing.


Hubungan cinta memang sulit dirasionalkan. Tapi menganggap cinta sepenuhnya permasalahan hati, juga tidak kalah kacau-nya. Apalagi, sebagian besar anak muda yang menganggap bahwa dia sedang ”jatuh cinta”, terkadang, tidak lebih hanya sebuah pesta pora hati, yang muncul dan lenyap juga dengan sesuka hati. Seperti angin di musim panas maupun dingin, selalu berubah sesuai musimnya, tapi juga kadang tidak sesuai musimnya, yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar faktor cuaca.


Saya memang tidak akan melacak ”ketidakteraturan” pola hubungan percintaan. Namun disini saya ingin mengatakan bahwa setiap hubungan memiliki preferesinya masing-masing. Preferensi tersebut jelas merupakan penilaian subyektif dari masing-masing individu. Dan preferensi itulah yang dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui tentang apa motivasi seseorang menjalin hubungan percintaan.


Semisal, barangkali, ada cowok yang angkuh untuk tidak mau menikah sebelum dia memiliki rumah sendiri atau keinginan sampai dapat ”naik haji”---orang ini jelas terlalu maksa dirinya sendiri. Sebaliknya, ada yang nekad langsung menikah tanpa modal ketrampilan dan pekerjaan yang mapan. Ada yang memang sudah di”rencanakan” oleh kedua orang tua-nya, tanpa memperdulikan pekerjaan bagi si pelaku hubungan dsb...dsb...


Munculnya berbagai keputusan-keputusan yang begitu beragam dari seseorang tidak lepas dari keyakinan serta pandangan subyektif dirinya mengenai kehidupan. Inilah yang disebut preferensi. Preferensi tersebut menyebabkan penilaian-penilaian. Artinya, dia melihat dari apa yang paling berharga menurut pandangannya sendiri.


Dengan landasan tersebut, jadi sangat wajar apabila kita dapat menangkap mengenai seputar motif umum masyarakat mengenai pandangan ideal mereka tentang apa yang disebut sebagai usaha ”menikah”. Di keluarga yang cenderung konservatif, peran orang tua akan lebih dominan. Sedangkan, di keluarga yang sedikit ”liberal”, maka keputusan si anak sangat menentukan bagi masa depan hubungannya.


Nah ini lah yang dapat memberi penjelasan mengapa kasus yang saya sebutkan di artikel sebelumnya sering terjadi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar