Senin, 26 Juli 2010

Menanti Tajdid Spiritual

Menanti Tajdid Spiritual
Di beberapa kegiatan resmi organisasi dan forum-forum pengajian sering muncul pertanyaan peserta tentang sikap Muhammadiyah terhadap Tasawuf. Dalam sebuah pelatihan kader se-Sumatera beberapa waktu yang lalu, pertanyaan ini menyeruak ketika narasumber menyampaikan materi Paham Agama dalam Muhammadiyah, Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam, serta Perbedaan Identitas Muhammadiyah dengan Gerakan-Gerakan Islam lainnya. Beberapa penanya tidak sekedar mencari pejelasan sikap resmi organisasi terhadap Sufism beserta segala apseknya namun juga menekankan bahwa dimensi esoteris itu diperlukan dalam beragama agar tidak terjebak pada formalisasi ritual. Dalam bahasa studi agama, having religion saja tidak cukup, perlu ditingkatkan menjadi being religious agar tidak terjebak pada dataran simbolik.

Tasawuf, Akhlaq & Ihsan

Terhadap pertanyaan warga Muhammadiyah tentang Tasawwuf, jawaban narasumber ternyata tidak tegas mengatakan bahwa Muhammadiyah itu anti tasawuf atau menyebut Sufisme itu haram. Narasuber Paham Agama dalam Muhammadiyah bahkan mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak bisa menyalahkan tasawuf begitu saja. Menurutnya, Muhammadiyah juga mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke akhlaq karimah tersebut, bukan pada thariqah (tarikat) yang existensinya sendiri sangat variatif. Bukankah sebagian tarikat dinilai muktabarah (valid, authentic, diterima eksistensinya sebab tidak bertentangan dengan syariah) dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabar (dinilai menyimbang dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah)?

Terhadap pertanyaan peserta bahwa Muhammadiyah cenderung anti tasawuf, nara sumber Dinamika Gerakan Pembaharuan dan Pemikiran dalam Islam mengaku bahwa ia bisa memahami bila selama ini Muhammadiyah itu terkesan alergi terhadap tasawuf, sebab ormas yang berdiri sejak 1912 itu selama ini lebih menekankan aspek ritual-ibadah. ”Namun demikian”, lanjut narasumber tersebut, ”kita tidak bisa begitu saja menyalahkan orang yang mengamalkan tasawuf. Bila sebagian besar orang Muhammadiyah merasa cukup dan ’puas’ mendekatkan diri kepada Allah melalui pintu ibadah, para pelaku tasawuf mengangap masih kurang. Karena itu mereka mengelaborasi ’jalan lain’ yang lebih mengolah aspek rasa melalui tasawuf.” Olah rasa dalam beribadah semacam ini pada dasarnya sejalan dengan konsep ihsan.

Penyebutan tasawuf itu equivalen dengan ihsan juga pernah diungkap oleh Allahu yarham K.H. Ahmad Azhar basyir, M.A (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah). Ketika pak Haedar masih di Badan Pendidikan Kader (kini Dr. H. Haedar Nashir, M.Si, salah satu Ketua PP Muhammadiyah) pernah menanyakan pada pak Azhar, ”bila Muhammadiyah itu menolak tasawuf, lalu alternatifnya apa?” Pak Azhar menjawab, bila merujuk pada hadits shahih tentang ma huwa al-Islam, maa- huwa al-Iman, wa maa huwa al-Ihsan, maka tasawuf itu adalah ihsan. Dalam hadits terebut disebutkan ihsan adalah ”ka-annaka taraahu fainlam taraahu fainnahu yaraaka” (engkau merasa melihat Tuhan, bila pun tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah melihat engkau).

Tajdid yang Terabaikan

Muhammadiyah selama ini telah berhasil melembagakan Islam dalam kontek ibadah mahdhah melalui tuntutan ibadah sesuai Rasulullah dalam Himpunan Putusa Tarjih (HPT) dan tuntunan bermuamalah sesuai dengan Qur’an dan Sunnah dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) lalu diimplementasikan dalam Amal Usaha bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Muhammadiyah juga berhasil mengelaborasi prinsip-prinsip Iman dalam produk Paham Agama dalam Muhammadiyah, Khittah Perjuangan, Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian Muhammadiyah, dll. Pertanyaannya kemudian, mengapa aspek Ihsan cenderung terabaikan proses pelembagaan dan implementasinya? Mana tafsir gerakan Muhammadiyah terhadap prinsip Ihsan ini? Ketimpangan inikah yang menyebabkan Muhammadiyah selalu dinilai ”kering” dan miskin spiritualitas? Inikah yang mendorong warga Muhammadiyah di berbagai lapisan selalu menanyakan pada pimpinan di atasnya tentang tasawuf dalam Muhammadiyah?

Memang secara personal sejumlah tokoh dan anak muda Muhammadiyah telah aktif mengkaji Sufisme dan spiritualitas, seperti HAMKA, Simuh, Abdul Munir Mulkhan, M. Damami, dan Najib Burhani; namun Muhammadiyah secara organisasatoris relatif diam. Diamnya organisasi pembaharu ini dalam mengelaborasi tasawuf bertolak belakang dengan predikat gerakan tajdid yang selama ini disandang. Dalam bidang Muamalah Muhammadiyah telah tampil sebagai teladan gerakan. Kritik pada dikhotomi pendidikan diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama dan pengetahuan umum sekaligus, kritik pada ketidakberdayaan umat dalam bidang kesehetan dan kesejahteraan diikuti dengan pendirian PKO dan panti-panti asuhan. Lalu mengapa kritik terhadap praktik spiritualitas yang berbau TBC (Tachayul-Bid’ah-Churafat) tidak diikuti dengan penyediaan saluran alternatif yang bernuansa olah spiritual namun secara syariah diterima?

Menurut hemat saya, keengganan Muhammadiyah menyediakan guidance dan saluran tasawuf bagi warganya di tengah pasar spiritualitas modern yang terus menguat akhir-akhir ini sama dengan membiarkan warganya untuk ”memulung” praktik olah batin dan rasa dari pasar global spiritualitas yang keontetikannya masih samar-samar. Coba tanya di sekitar anda, berapa banyak warga Muhammadiyah yang gandrung dengan lagu-lagu religius karya Hadad Alwi dan Opick, aktif mengikuti zikir masal, zikir penyembuhan, wisata religius, Yoga, Reiki, ESQ training, Pelatihan Sholat Khusuk, dan kegiatan olah spiritual sejenis baik dengan alasan mencari ketenangan, rezeki lancar, maupun kesehatan?

Ketidakpedualian Muhammadiyah pada isu-isu spiritualitas secara serius ini juga mengokohkan watak puritanismenya. Padahal, sebagaimana sejarah yang tejadi di berbagai gerakan keagamaan, kelompok puritan cenderung gagal menjadi mainstream. Akankah Muhammadiyah terus mengabaikan hasrat warganya terhadap dimensi spiritual ini? Wallahu a’lam.

Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah

Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang
Tisnowijaya, A. Aya'roni. 2008. "Tasawuf di Kalangan Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang." MA Thesis. IAIN Walisongo Semarang.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan
implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf.
Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan
mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf,
serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan menggunakan pendekatan naturalistik.

Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut
Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah.

Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep
tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah
tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar Al-Qur’an
dan Sunnah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap di kalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribadah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhamadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah

Tasawuf di Kalangan Muhammadiyah
Oleh: Ibnu Djarir

DI kalangan umat Islam di Indonesia masih sering timbul pertanyaan,
apakah warga Muhammadiyah mengamalkan tasawuf? Pertanyaan itu timbul
karena istilah tasawuf dalam Persyarikatan Muhammadiyah kurang
populer.

Demikian juga tariqat, Muhammadiyah secara organisatoris tidak
mempunyai afiliasi dengan tariqat mana pun.

Persyarikatan bisa juga dikatakan sebagai tariqat, dalam arti sebagai
satu organisasi yang mempunyai cara tertentu dalam memahami ajaran
Islam.

Persyarikatan sering disoroti orang luar sebagai organisasi Islam yang
"kering spiritual''. Ada anggapan dari orang luar, Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang berbasis masyarakat kota lebih menyukai cara-
cara beribadah yang praktis-praktis saja atau seolah-olah mencari yang
ringan-ringan saja.

Misalnya dikatakan, sehabis salat fardu tidak diikuti dengan wirid
atau zikir panjang, melainkan hanya doa pendek dengan suara lirih.
Salat tarawih mencukupkan delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Tidak ada kebiasaan istighotsah dan mujahadah secara massal dan lain-
lain.

Kenyataannya tidak sebagaimana anggapan tersebut, sebab Muhammadiyah
bukan mencari yang praktis-praktis atau yang ringan-ringan saja,
melainkan semata-mata ingin melaksanakan amal ibadah yang mempunyai
landasan hukum agama yang kuat sesuai dengan tuntunan Rasul.

Misalnya mengenai wirid setelah salat fardu dan salat tarawih, ingin
meniru apa yang dulu diamalkan oleh Rasulullah. Mengenai pendalaman
amalan spiritual, juga ingin mengamalkan apa yang dulu dicontohkan
Rasulullah. Misalnya dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunah seperti
salat tahajud, puasa sunah, salat sunah rawatib, membaca doa dan
wirid, iktikaf di masjid, tadarus Alquran, memiliki al-akhlaqul
karimah, dan lain-lain.

Istighotsah di kalangan warga Muhammadiyah dilakukan secara
individual. Jadi, pengamalan ibadah di kalangan umat Islam di
Indonesia itu lebih banyak kesamaannya. Bila terdapat perbedaan dalam
cara pelaksanaannya, itu karena perbedaan cara pemahaman dari tiap-
tiap golongan.

Spiritual Islami

Aktualisasi spiritualitas Islam ialah upaya mewujudkan kehidupan
islami, dengan menekankan pada penyempurnaan pengamalan ibadah,
kesucian rohani, dan kesalihan moral atau al-akhlaqul karimah.

Di kalangan warga Muhammadiyah terdapat orang-orang yang dalam
mengapresiasi makna ibadah dan zikir sebagai didefinisikan dalam buku
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, bukan pada ritual formal seperti
duduk di masjid sambil memutar-mutar tasbih, melainkan lebih
menekankan gerak amal saleh dalam bentuk kiprah kreatif dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan dalam bentuk
kekurangakraban dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara verbal
(qauli), dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi'li (operasional)
sehingga orang luar memandang mereka kering spiritual.

Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan kepada orang
luar tentang pemahaman Muhammadiyah mengenai spiritualitas islami
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang luar terhadap Muhammadiyah.

Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar
meningkatkan pengamalan spiritualitas islami dalam rangka pengukuhan
akidah, penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak.

Aktualisasi spiritualitas islami itu juga berbarengan dengan kehendak
mengembangkan pemikiran tajdid (pembaharuan dan pemurnian ajaran
Islam). Hal itu dimaksudkan agar segala amalan ibadah dilakukan dengan
cara yang benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis, bebas dari
syirik, bid'ah, khurafat, dan takhayul.

Tasawuf Modern

Meskipun PP Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih belum pernah membahas
secara khusus tentang ajaran tasawuf, seorang tokoh yang namanya cukup
terkenal, Prof Dr Hamka, telah memperkenalkan istilah tasawuf modern
untuk memberikan nama pada ajaran tasawuf yang menurutnya sesuai
dengan paham Muhammadiyah. Dia menulis beberapa buku tentang tasawuf,
di antaranya berjudul Tasawuf Mo dern.

Para pemuka Muhammadiyah yang lain pada umumnya menekankan, semua
warga suka menjalankan ibadah-ibadah sunah, di samping ibadah wajib,
dan memiliki akhlaqul karimah. Istilah akhlaqul karimah ini mencakup
serangkaian sifat-sifat utama seperti: taqwa, zuhud, sabar, faqr,
qana'ah, tawakal, ikhlas, syukur, rida, wara', tawadhu', raja', tobat,
dan lain-lain sebagaimana dicontohkan Rasulullah.

Jadi, mereka tidak menggunakan istilah tasawuf tetapi menganjurkan
warganya memiliki sifat-sifat utama sebagaimana yang didambakan para
penganut tasawuf.

Menurut Hamka, istilah tasawuf modern adalah tasawuf murni yang
relevan untuk diterapkan pada zaman modern. Orang yang menjalankan
tasawuf murni mestilah memegang teguh akidah yang benar (tauhid yang
bersih), melaksanakan ibadah dengan tekun, menghiasi dirinya dengan
al-akhlaqul karimah, serta melakukan pergaulan dalam kehidupan sosial
sehari-hari sesuai dengan Alquran dan hadis.

Ia tidak tenggelam dalam khalwat atau menjauhi kehidupan duniawi, tapi
bergaul secara wajar dalam kehidupan sosial.

Akhlak dan Tasawuf

Ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu akidah (kepercayaan
atau keimanan), syariah (hukum-hukum agama, meliputi ibadah dan
muamalah), dan akhlak (moral atau budi pekerti). Atau, tiga bagian
pokok itu ialah iman, Islam, dan ikhsan.

Iman adalah sebagaimana tercermin dalam rukun iman yang keenam. Islam
adalah sebagaimana yang kita kenal dengan rukun Islam yang kelima.
Ikhsan adalah sikap batin, kita merasa selalu dalam pengawasan Allah,
sehingga kita harus berbuat sebaik-baiknya.

Istilah tasawuf belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Istilah
tersebut baru dikenal pada abad ke-2 Hijriah, dengan kemunculan
seorang zahid yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi yang digelari sebagai
seorang sufi.

Maka sebelum abad ke-2 H itu umat Islam belum mengenal klasifikasi
ajaran Islam, Islam yang bernama tasawuf. Mereka merasa sudah puas dan
tenang hatinya jika sudah dapat mengamalkan akidah, syariah, dan
akhlak; atau mengamalkan iman, Islam, dan ihsan. Sedangkan cita-cita
tertinggi sesuai dengan ajaran Alquran dan hadis adalah menjadi orang
yang bertakwa.

Sepeninggal Rasulullah, sahabat, dan tabiin, terdapat ulama yang
mengembangkan ikhsan lebih lanjut melalui ajaran tasawuf. Jadi, baik
tasawuf maupun al-akhlaqul karimah berinduk pada ihsan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada masa hayatnya sangat
menganjurkan segenap warga untuk mengamalkan al-akhlaqul karimah. Di
antara sifat-sifatnya yang menonjol ialah zuhud, yakni tidak tergila-
gila atau serakah untuk mengejar harta, bahkan harta beliau banyak
dikorbankan untuk membaiayai kegiatan amal usaha Persyarikatan,
seperti lembaga pendidikan, kesehatan, penyantunan fakir miskin,
dakwah, dan lain-lain.

Dengan demikian KH Ahmad Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit
(roh) dan nilai-nilai substansial tasawuf menjadi etos kerja warga
Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan sosial keagamaan. (18c)

-Drs H Ibnu Djarir, Wakil Ketua Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa
Tengah

Muhammadiyah dan Sufisme

Muhammadiyah dan Sufisme
Di beberapa kesempatan, professor saya selalu bilang Sufisme tidak bakal mati. Meski puritanisme yang berkongsi dengan modernisme selalu berusaha memarginalkannya, ia selalu bisa hadir menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai lebih mystical experience dalam Islam itu.

Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: (1) Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme; (2) karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung; dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris “memayungi” kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, mengapa Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau tarikat? Dugaan saya, karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu, juga pemurni, maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Tengok misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan ‘irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang “modern”. Selain itu, sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf pada makna-nya yang asli: “membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spiritual” (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta “spiritualitas” (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta’budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks “bertasawuf” ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu “menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi”.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program “spiritualisasi syariah” (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan ‘irfani sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah lazim: Bayani (deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan ‘irfani adalah “pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi”. Dalam tradisi Syiah, ‘rfani itu ‘jalan’ Sufi.

Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam Sejati”, “akal suci” dan “Qur’an Suci” dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathinaih” di atas dalam penilain Munir Mulkhan (2003) merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.

Dalam keseharian, warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini. Riset lapangan Nakamura di Kota Gede awal tahun 1970an menemukan unsur-unsur Sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlash dan ber-akhlak terpuji (Nakamura, 1980). Saat ini pun banyak warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengesplorasi pengalaman spiritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).

Ketika pasar spiritualitas Indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan, musik, forum-forum neo-Sufisme dan majelis-majleis zikir, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya absent. Salah satu tokoh zikir akbar yang sering tampil di TV bahkan secara ‘geneologis’ berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul ‘protes’ dari pihak-pihak yang sangat puritan. Namun perlu dicatat, generasi-generasi post-puritan yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-tradisionalisme mulai bemunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puritanisme ini cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam.

Lantas, benarkah Muhammadiyah anti Sufisme? Bisa ya bisa tidak. Saya cenderung mengatakan Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan tarikat. Tasawuf adalah “isi-nya” sedangkan tarikat itu “wadahnya”; tasawuf itu kualitas yang ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Lalu, apa hubungannya antara wadah dengan isi, atau kualitas dengan jalan? Sebagian kalangan berpendapat keduanya menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Lagi pula organisasi tarikat itu sendiri muncul jauh setelah Rasulullah wafat.

Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu “kering” dan anti atau bahkan memusuhi Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman warganya berlangsung secara imbang.

Strategi Dakwah Muhammadiyah

Strategi Dakwah Muhammadiyah: Masa Lalu, Kini dan Masa Depan dalam Prespektif Kebudayaan
Oleh : Ahmad Syafi’i Ma’arif

Pendahuluan
Muhammadiyah lahir di tengah tengah kebudayaan sinkretik Jawa yang kental pada permulaan decade kedua abad ini. Mungkin karena wataknya yang non-politis, baik Belanda maupun kesultanan Yogyakarta, tampakny atidak terlalu curiga terhadap gerakan Islam puritan ini. Dengan kata lain, Muhammadiyah bukanlah gerakan “OSlam Fanatik” yang telah diracuni oleh Pan-Islam yang ditakuti itu. Musuh Belanda seperti yang dirumuskan oleh C. Snouk Hurgronje bukanlah Islam sebagai Agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik . Dengan sedikit pendahuyluan ini seterusny aakan kita tengok strategi dakwah Muhammadiyah dalam prespektuif sejarah dan cultural.

Muhammadiyah : Antara cetakan Jawa dan cetakan sabrang

Di mata Belanda kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 tidaklah akan menggoyahkan rust en orde, suatu ungkapan yang strategis demi menjaga kelangsungan kekuasaan colonial di Hindia Belanda. Menurut penelitian Dr. Alfian, dalam arsip arsip kolonial, seperti dalam Inlandsche Zaken, tidak ditemukan catatan yang serius tentang K.H.A. Dahlan, baik tentang pribadinya maupun tentang doktrin agama yang diajarkan. KEadaannya akan berlainan samasekali dengan Tjokroaminoto, Salim, dan tokoh tokoh SI lainnya . Tapi murid Kyai Dahlan, H. Fahrudin adalah tokoh Muhammadiyah yang diawasi Belanda. Mereka ini semua adalah insane –insan politik yang militan.

Fokus perhatian Dahlan tampaknya memang lebih tertuju kepada usaha pencerahan dan pencerdasan ummat, suatu strategi sosio-budaya yang berdampak sangat jauh dalam arti yang sangat positif. Karena tukik perhatian dipusatkan pada transformasi mental, sosial dan budaya, perlawanan justru datang dari kalangan ulama dan ummat Islam sendiri. Dahlan menghadapi ini semua dengan sikap tegar dan tidak pernah goyah. Djarnawi Hadikusumo menulis tentang pola perjuangan Dahlan yang non-politis : “Menilik segala tindakan dan amal yang telah dikerjakan oleh K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya ternyata bahwa pendiri Muhammadiyah itu telah memilih jalan yang ditempuh oleh Muhammad ‘Abduh.” Sedangkan pola SI bisa dikaitkan dengan Pan Isalam. Daerah pengaruh Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Dahlan (1912-1923) baru terbatas di karisidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan , dan Pekajangan. Cabang cabang Muhammadiyah berdiri di kota kota tersebut (selain Yogyakarta) pada tahun 1922, yaitu di akhir periode kepemimpinan Dahlan. Menjelang tahun 1938 barulah Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara Dengan demikian sekitar 14 tahun sepeninggal Dahlan, Muhammadiyah sudah mengindonesia.

Dilihat dari sudut pandang budaya, karakteristik da’wah Muhammadiyah sampai batas batas tertentu juga diwarnai oleh warna cetakan local, khususnya cetakan sabrang. Kita ambil contoh kasus Aceh dan Minangkabau. Di Aceh misalnya Muhammadiyah gagal memasuki lingkaran budaya para teungku, sebuah lingkaran yang dipandang punya kesadaran politik yang cukup tinggi,. Kegagalan ini, menurut Alfian, sebagian disebabkan oleh kenyataan karena Muhammadiyah telah lebih dahulu dimasuki oleh elit tradisional para teuku, saingan berat para teungku.Lantaran keduluan para teuku, golongan teungku punya alasan kuat untuk tidak memasuki Muhammadiyah, kalau bukan telah larut menghalangi gerak lajunya di daerah Aceh. Alasan lain ialah seperti kita ketahui para elit tradisional punya hubungan yang dekat dengan pihak Belanda. Jadi bila gerak Muhammadiyh dirasakan kurang militant di Aceh, salah satu faktor pentingnya adalah karena budaya para teuku ini lebih dominant mempengaruhi Muhammadiyah. Barangkali setelah kemerdekaan mungkin teleh mengalami perubahan demi perubahan. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah belumberhasil menciptakan benteng cultural yang kokoh di Aceh, bahkan sampai hari ini. Apakah nanti setelah muktamar tahun 1995, lingkaran teungku di Aceh akan lebih bersikap apresiatif terhadap Muhammadiyah, belum dapat kita katakana sekarang. Warga Muhammadiyah Aceh diharapkan agar memahami betul peta-bumi sosio-budaya masyarakat Aceh ini untuk keberhasilan da’wah Islam yang digerakkan Muhammadiyah.

Sub sub budaya lain di Indonesia yang tidak mudah ditembus Muhammadiyah selain Aceh, juga budaya Sunda, budaya Melayu Medan dan Jambi, budaya Betawi, dan sub –sub budaya suku bangsa lainnya di berbagai bagian nusantara. Fenomena yang hamper serupa kita jumpai di kalangan budaya Melayu Malaysia dan Brunei. Orang Brunei kabarnya malah menganggap Muhammadiyah bukan merupakan gerakan Islam yang patut dihormati, kalaulah bukan dinilai sebagai sudah berada diluar bingkau Islam. Fenomena semacam ini mengingatkan kita kepada situasi Islam di Indonesia pada waktu Muhammadiyah baru mulai mengorak bumi Mataram, sekitar 80 tahun yang lalu. Akan halnya di Malaysia, keadaannya lebih memberi harapan, sekalipun memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Seperti kita kenal dari catatan sejarah, gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan di semenanjung Tanah Melayu dan Singapura sama sama mulai menapak awal abad ini. Bedanya bila di Indonesia gerakan pembaruan itu relatif berjaya, sementara di Semenanjung mengalami kegagalan. Barangkali salah satu sebab kegagalan ini adalah karena di sana Islam sudah terlalu lama dipasung dalam bingkai feodalisme Melayu yang cukup kental plus mazhab al –Syafi’i yang secara formal menjadi mahzab persekutuan. Maka adalah logis bila kedatangan arus pembaruan Islam harus ditolak karena ia membawa pesan liberal dan egaliter, sesuatu yang dapat menjadi ancaman dalam jangka panjang bagi struktur feodalisme Melayu yang tampaknya kini sudah semakin lapuk. Gebrakan Mahatir-Anwar Ibrahim terhadap kedudukan raja –raja akan membawa perubahan kea rah yang lebih positif bagi hari depan arus faham pembaruan Islam di negeri jiran itu. Anwar Ibrahim sudah lama punya hubungan spiritual yang lekat dengan gerakan pembarua Islam di Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian mungkin sedikit menggoda adalah : mengapa Keraton Yogya tidak terasa terancam oleh Muhammadiyah sementara aliran serupa cukup ditakuti oleh di Malaysia ? Dilihat dari sudut proses Islamisasi kualitatif, kraton Yogya baru permukaan formalnya saja yang sudah disentuh Islam. Raja raja Mataram tampaknya rtidak mencurigai gerakan pembaruan Islam yang justru dipelopori oleh abdi dalem kesultanan. Setidak-tidaknya ada dua sebab mengapa kecurigaan itu tidak muncul. Pertama, pengetahuan kraton tentag Islam itu sangat terbatas. Para elitenya tidak pernah berfikir bahwa gerakan seperti Muhammadiyah akan menjadi ancaman bagi feodalisme Jawa. Kedua, ini berkaitan erat dengan yang pertama, Muhammadiyah sendiri memang tidak pernah membidikkan pelornya ke kraton, pusat budaya Jawa yang baru terislamkan secara superfisial. Yang lebih unik lagi adalah bahwa ulama Muhammadiyah bahkan punya kedudukan tinggi di lingkungan kraton. Sebuah panorama yang cukup menarik dikaji. Salah satu indikasi superfisialitas keislaman di lingkungan kraton dapat dilihat misalnya pada fenomena masih kentalnya dipertahankan kepercayaan kepercayaan dan adat adapt lama dengan muatan Hindu bercampuyr unsure Jawa Kuno yang sudah ada sebelum kedatangan pengaruh India itu.

Situasi Malaysia jauh berbeda. Sekalipun Islam disana masih dibungkus dalam feodalisme Melayu, kultur Melayu relatif bercorak Islam dibandinghkan kultur Jawa Mataram. Bekar bekas pengaruh Hindu yang kental hamper hamper tidak dikenal lagi dalam kultur Melayu Malaysia. Oleh sebab itu bila orang Melayu Malaysia melihat bayak sekali patung Hindu dan Budha di Jawa, mereka heran setengah mati. Pertanyaan yang muncul biasanya berbunyi : mengapapatung patung ini masih ”mencongok” di berbagai tempat di lingkungan masyarakat masyarakat Muslim Jawa ? Mereka yang paham sejarah Islam di Jawa, pertanyaan yang serupa itu tidak akan muncul karena mereka tahu betul bahwa proses islamisasi kualitatif masih akan berlangsung, mungkin lebih hebat lagi, pada masa –masa yang akan datang. Tetapi sampai sekarang, hubungan Muhammadiyah dengan pihak kraton tampaknya cukup aman aman saja. Bukankah strategi dakwah Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta, belum pernah diarahkan secara serisu untuk mengislamkan kraton, pusat kejawen yang masih berwibawa ? Dakwah Muhammadiyah untuk memberantas syirik, bid’ah, khurofat dan yang sejenis lebih ditujukan kepada rakyat yang berada di luar kraton. Mungkin diharapkan pada suatu hari nanti, entah kapan, bilamana rakyat diluar kraton sudah terislamkan menurut versi Muhammadiyah , dengan sendirinya nanti demi eksistensi kraton, para bangsawan akan turut dalam arus itu. Sebuah teori yang agak mirip dengan teori ”penguasaan desa untuk menguasai kota”. Tapi mohon dicatat bahwa Muhammadiyah belum pernah menciptakan teori yang macam macam itu. Untuk sebagian orang, cukuplah kiranya bila kita berjalan menurut gaya alam saja.

Kita bicarakan selanjutnya Muhammadiyah di Sumatera Barat. Mungkin tidak ada kawasan budaya di nusantara yang sangat reseptif dan responsif terhadap paham dan gerakan Muhammadiyah melebihi budaya Minang. Gejala ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan, karena pada abad ke -19 gerakana Padri telah berhasil ”mengobrak abrik” adat minang ”yang tak lekang deh paneh, tak lapuak dak hujan” itu. Sekalipun secara politik gerakan Padri pada akhirnya dilumpuhkan Belanda bersama kaum adat., secara sosio-kultural paham wahabi yang dibawaPadri itu sudah tertancap kuat dalam budaya Minang. Oleh sebab itu pada waktu Haji Rasul, sahabat Dahlan, membawa paham Muhammadiyah ke sana pada 1925, yaitu dengan terbentuknya cabang Muhammadiyah yang pertama di Sungai Batang Tanjung Sani, Maninjau. Dr. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dapat disebut sebagai Bapak Spiritual Muhammadiyah Minangkabau, tapi uniknya adalah bahwa beliau sendiri tidak pernah menjadi anggota gerakan ini. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah kemudian radius Muhammadiyah itu bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.

Berbeda dengan di Yogyakarta, di mana Muhammadiyah dirasakan ”jinak” secara politik, di Minangkabau karena tuntutan situasi, keadaan sedikit lain. Naluri politik jelas terlihat di kalangan tokoh tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sarjana Belanda C.C. Berg jug amencatat bahwa Muhammadiyah di Minangkabau tidak semata mata sebagai gerakan sosial, tapi juga terlibat dalam kegiatan politik Dalam peta sosiologis Minangkabau, sebuah negari (semacam republik kecil) dipayungi oleh empat golongan yang dominan : ninik –mamak, alim –ulama, cerdik –pandai, dan manti-dubalang. Hamka mencatat bahwa manakala cabang Muhammadiyah berdiri di suatu negari, keempat unsur itu pasti terlibat di dalamnya. Pada masa awal terlihat bahwa ” …. di seluruh Minangkabau ketika Muhammadiyah mulai berdiri tidak seorang juapun pegawai negeri yang masuk” Denga kata lain, pada periode formatif itu Muhammadiyah dipimpin oleh ”orang orang merdeka.” Keadaan sesudah kemerdekaan sudah sangat berubah. Budaya pegawai negeri lebih dirasakan pengaruhnya dalam gerak Muhammadiyah ketimbang budaya ”orang merdeka” dengan segala sisi yang positif dan negatif. Sebelum [ergolakan daerah tahun 1950-an, Muhammadiyah di Minangkabau bukan saja didukung oleh pegfawai negeri, bahkan perpolitikan propinsi Sumatera Barat tealh berada di bawah pengaruh kuat dari Muhammadiyah. Masyumi dan Muhammadiyah sukar sekali dibedakan disana. Maka tidaklah mengherankan pada saat Masyumi kalah secara politik, Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi babak belur selama hampir dua dekade. Proses pemulihannya belum sepenuhnya berjaya sampai sekarang. Inilah sebuah beaya yang harus dibayar oleh Muhammadiyah cetakan sabrang. Dakwah dengan kendaraan politik praktis dalam pengalaman Muhammadiyah lebih banyak merugikan, sekalipun hal itu bukan sesuatu yang mutlak harus demikian. Pada masa orde baru , terutama tahun 1980 –an, peran politik Muhammadiyah lebih banyak dilakukan oleh lobi lobi perorangan seperti yang ditunjukkan oleh kegiatan Lukman Harun, Ismail Sunny dll, pada saat menghadapi proses pembicaraan RUU Pendidikan Nasional dan RUU Pengadilan Agama. Lobi lobi semacam ini tidak jarang memberikan hasil positif menguntungkan.

Dakwah di masa depan : perlunya strategi budaya yang mantap
Baik Muhammadiyah cetakan Jawa maupun Muhammadiyah cetakan sabrang sama sama dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat. Proses industrialisasi yang akan dimulai secara besar besaran mulai april 1993 ini akan memberikan pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat kepada semua gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan modern Islam. Kita belum mempunyai contoh kira kira bagaimana nasib Islam di suatu negara Industri. Pada suatu kesempatan pernah saya katakan : apakah pada saat ini kita masih punya peluang untuk beriman ? Beriman dengan segala atribut dan implikasinya bukan beriman semata mata percaya kepada Tuhan. Iman dalam Islam adalah Iman yang dapat memberikan suatu keamanan ontologis kepada manusia, dan diatas dasar itu ditegakkan sebuah peradaban yang berwajah ramah.

Mari kita tengok sebentar keadaan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan. Bila pengamatan Kuntowijoyo dapat disetujui, maka gambaran tentang Muhammadiyah adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya dewasa ini Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris yangterjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas. Selama ini umpamanya Muhammadiyah masih belum dapat menerjemahkan siapa yang secara sosial-objektif dapat dikelompokkan sebagai kaum duafa, masakin, fuqoro dan mustadh’afin. Pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan kelompok kelompok itu dalam konteks sosialnya yang objektif, belum pernah diaktualisasikan secara jelas

Proses industrialisasi bukan saja akan mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industri, tapi pada waktu yang sama akan menciptakan sosok manusia “liar” kompetitif yang jarang punya kesempatan untuk tersenyum. Ini jika kita melihat fenomena sosial di beberapa negara Industri :barat dan Jepang. Kita belum dapat memperkirakan secar apasti tentang bagaimana situasinya sekarang sebuah negeri Muslim menjadi negeri Industri. Jika keadaaanya tidak berbeda negeri negeri industri diatas, maka sejak dini kita katakan bahwa Islam pada waktu itu sudah tergusur mejadi kekuatan marginal yang tidak bermakna. Muhammadiyah sampai hari ini belum siap secar amantap dengan strategi budaya untuk menghadapi serba kemungkinan itu. Kendalanya adalah sumberdaya manusia yang ada sedikit sekali punya peluang untuk merenung dan merumuskan strategi itu. Komitmen Islam mereka tidak diragukan lagi. Yang sulit adalah menari peluang yang cukup untuk berfikir serius dan mendalam mengenai maslah Islam dan ummatnya. Sebagian besar kita berada dalam pasungan kesibukan yang non-kontemplatif itu .Saya pribadi tidak tahu bagaimana caranya keluar dari himpitan kesibukan yang amat melelahkan ini.

Apakah Muhammadiyah pernah keluar dari kultur kampung sepanjang sejarahnya ? menurut Kuntowijoyo, jawabannya adalah negatif. Dia menulis :

Secara Historis Muhammadiyah sesugguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio ekonomi dan kultural masyarakat kiota., pernyataan ini benar dalam hal perbedaanya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris –desa. Tapi pernyataan itu harus direvisi, karena ternyata pada awal abad ke -20, saat ketika Muhammadiyah didirkian di Yogyakarta, kehidupan kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi, komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Mansory dari ‘Societeit’ Belanda, tapi tidak ada Masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung

Dengan demikian sebenarnya basis sosial Muhammadiyah dan NU tidak banyak berbeda yaitu sam sama basis sosial wong cilik. Keadaan ini secara substansial menurut pengamatan saya belum banyak mengalami perubahan, bukan saja di Yogyakarta dan di Jombang, tempat kelahiran kedua gerakan Islam yang dipandang mewakili arus besar Islam di Indeonesia, tapi juga di seluruh nusantara. Kita masih belum beranjak jauh dari kawasan wong cilik. Bagaimana keadaannya 25 tahun mendatang, saya tidak tahu.

Penutup
Kalau strategi dakwah Muhammadiyah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, maka saatnya sudah teramat tinggi bagi kita sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, kiprah dan car apandang dubi dari gerakan yang didirikan oleh KHA Dahlan ini. Posisi sebagai wong cilik tidak pernah efektif menentukan nasibmasa depang suatu bangsa. Bagaimana mengubah posisi demikian itu agar menjadi posisi yang berwibawa dalam sejarah merupakan kerja dakwah dalam makna yang benar dan komprehensif.

Source: http://tarjihbms.wordpress.com/2007/08/23/strategi-dakwah-muhammadiyah/

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS I (bagian 7)

61. NURUL HIKMAH (:2/115) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Sapanjang nyanghareup ngulon, ngetan deui ngetan deui,

sapanjang nyanghareup ngidul, ngaler deui ngaler deui,
* Madhab opat sagemblengna, jagat raya sagebarna,

kagungan Alloh Ta’ala, kalimpudan iradah-Na.
* Rahmat kurnia Mantenna, ngalingkupan jagat raya,

jembar teu aya watesna, Alloh Nu Maha Uninga.
* Sabudeurna puter jagat, estu kalampud kalampat,

kacebor ku rahmat ni’mat, ti Alloh Nu Maha Ha’at.

62. BASA GEUS BEAKEUN KECAP (:2/116,117) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Basa beakeun kecapna, kecap beakeun hartina,

harti beakeun rasana, rasa beakeun imanna.
* Keur narjamahkeun imanna, bari geus suda rasana,

rasa geus taya hartina, harti kecapna geus musna.
* Ahirna asal nyarita, ku basa nu teu biasa,

ngukur Dzat Maha Kawasa, ku basa keur ka manusa.
* Dzat Nu Agung mah teu ruhun, cekap dawuh

Kun Faya Kun,

sadaya estu kasuhun, teu langkung dawuh Nu Agung.

63. JELEMA ANU ADIGUNG (:2/118) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Sakapeung aya nu mikir, cenah pamikir mutahir,

ngomongna nyanyahoan, nganaha-naha Pangeran,
* Naha teu lungsur muji’zat, sapa’at sareng karomat,

naha teu ngadawuh langsung, jalma kitu teh adigung.
* Baheula oge geus aya, ngomongna kitu sarua,

nu kitu sombong kacida, asa heueuh pangpinterna.
* Mikir kitu eta musrik, keur kapir teh tambah syirik,

marukan lempeng mikirna, padahal eces sasabna.

64. NURUL HIKMAH (:2/119) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Muhammad putra Abdulloh, eces jelas Rosululloh,

ari wawakil sanesna, eta teh pan urang tea.
* Jadi urang sadayana, wajib ngawawarkeun warta,

warta gumbira utama, pikeun ka umat manusa.
* Pancen urang sadayana, ngajak eling ka sasama,

ngeunaan ahli naraka, napsi-napsi pada-pada.

65. ULAH KABENGBAT (:2/120) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Omat kudu taki-taki, ulah rek kabengbat ati,

ku nu ngajak pindah iman, ku rupa-rupa alesan.
* Urang sing boga kawani, pikeun nolak panceg ati,

ka nu ngarolo ngajakan, ngajak-ngajak pindah iman.
* Pek kedalkeun pangka panceg, iman ka Alloh geus panteg,

kaimanan mangka panceg, ulah waswas rundag-randeg.
* Nu pundah-pinah ageman, komo mun geus ngagem Islam,

eta tanda ipis iman, Alloh moal nangtayungan.

66. NGADERES AL-QUR’AN (:2/121,122) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Ti wengi nu sepi jempling, aya gerendeng nu wening,

horeng nuju ngaos Qur’an, dideresna lalaunan.
* Waktu ngagayuh ka subuh, ngaderes Qur’an teu rusuh,

sorana halimpu pisan, ayat suci dlenyepan.
* Nalika bade manceran, aya anu ngaos Qur’an,

ngagerendeng lalaunan, Al-Qur’an ditapakuran.
* Dur lohor gerendeng deui, nu maos Al-Qur’an suci,

dawuhan Ilahi Robbi, teu kalangkung ungal wanci.
* Surya condong ka beh kulon, nu ngaos sorana halon,

asar ahir tereh lingsir, ngaos Qur’an tengtrem pikir.
* Magrib nu ngalingkup cunduk, anu ngaos brek sumujud,

kedal lisan maos Qur’an, ka Gusti Alloh unjukkan.
* Rongheap geus mangsa Isa, ngaderes sabisa-bisa,

ngaos Qur’an husu pisan, pidawuhNa dilenyepan.
* Kiamullail brek sumujud, sumegruk bari tahajud,

ka Alloh sumerah diri, mugia tobat ditampi.

67. ULAH SARAKAH (:2/123) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Kenging hirup hese cape, dug tinetek unggal poe,

kukumpul dunya barana, harta banda salobana.
* Dipilampah kabeh cara, dapon laksana maksudna,

sarakah taya eureunna, asa rek lana di dunya.
* Tambah mabok ku jabatan, ngeukeuweuk kakawasaan,

hayang jadi pangunggulna, marukan lana di dunya.
* Leuheung mun inget ahirna, mieling ka aheratna,

yen ditimbang sagalana, boh dosa boh pahalana.

68. NABI IBRAHIM IMAM SADUNYA (:2/124) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Nyonto ka Nabi Ibrahim, mantenna muslim nu mu’min,

sadaya parentah Gusti, ditumutkeun panceg ati.
* Sadaya parentah Alloh, ditumutkeun insya-Alloh,

teu aya anu dipungpang, henteu hamham teu hariwang.
* Cocobi ti Maha Suci, ditampi ku sabar ati,

sadaya rupi ujian, ku Ibrahim dipayunan,
* Nu mawi ku Gusti Alloh, Ibrahim teh Rosulloh,

kalintang dipiasih-Na, janten imamna manusa.
* Muga urang sadayana, nyonto ka Ibrahim mulya,

dina mayunan cocoba, tetep sadrah panceg takwa.

69. BAITULLOH (:2/125) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Tempat suci Baitullloh, pikeun sumujud ka Alloh,

Ka’bah Mekah Mukarommah, puseur anu aribadah,
* Titilar Nabi Ibrahim, nabi kongas mu’min muslim,

dianggo keur tempat solat, ka Alloh sumembah to’at.
* Baheula di lebet Ka’bah, seueur berhala disembah,

Ibrahim sareng Ismail, ngabasmi arca nu batil.
* Baitulloh pikeun towaf, atanapi keur itikaf,

Baitullloh kedah Suci, tempat madep ka Ilahi,
* Baitulloh dina dada, sami kedah dijaraga,

Qolbu keur itikaf ruhi, kedah dipiara suci.

70. KUDU NGADU’A (:2/126) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Mangkahade ulah hilap, upami nuju iti’kaf,

atawa nuju ngadu’a, ulah pegat nya neneda,
* Kahade ulah rek hilap, ngadu’a teh henteu cekap,

ukur keur sasoranganeun, bangsa oge pek dungakeun.
* Dicontokeun ku Ibrahim, mundut ka Robbul Alamin,

Mekah sareng pangeusina, ma’mur mu’min padumukna.

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS I (bagian 8)

71. KUDU SABAR (:2/127) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Upama gaduh kahayang, ulah osok rurusuhan,

kudu bari sabar diri, kudu tartib ati-ati.
* Contona ngadegkeun Ka’bah, ku Ibrahim di baladah,

ngentepkeun batu teh nungtut, ku leukeun mah nya ngawujud.
* Mun keur migawe garapan, kudu sabar dileukeunan,

bari muntang ka Ilahi, gawe teh jadi pangbakti.

72. MUJI KA ALLOH SWT (:2/128) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Sanaos Ibrahim nabi, henteu pegat muja-muji,

neneda ka Maha Suci, miharep asihing Gusti.
* Atuh diri urang oge, sami kedah kitu oge,

boh keur diuk boh keur sare, ngadua isuk jeung sore.
* Upami aya kabingung, pok unjukkeun ka Nu Agung,

nunuhun kenging papayung, ka Alloh neda pitulung.
* Upami kenging kasusah, ulah aral bari luh-lah,

unjukkeun ka Maha Agung, Mantenna tinangtos nulung.

73. NGAMUTOLAAH AL-QUR’AN (:2/129) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Nabi urang sadayana, Nabi Muhamad nu mulya,

tos mulih ka rohmatullloh, di pendemna di Raudoh.
* Nya Nabi Muhammad pisan, anu ngeceskeun Al-Qur’an,

pituduh ka unggal insan, dumugi ka ahir jaman.
* Qur’an sareng sunah Nabi, eta panuyun sajati,

pigeusaneun unggal jalmi, muru hirup anu suci.
* Sanaos nabi geus pupus, ngulik Qur’an kedah terus,

aya Qur’an jeung Sunahna, leukeun ngamutola’ahna.

74. NU MULYA NABI IBRAHIM (:2/130,131) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Nabi Ibrahim kapungkur, jadi karuhun luluhur,

anu diagemna Islam, dumugi ka ahir jaman.
* Jadi imamna di dunya, jadi sungapan agama,

kadeudeuh Alloh Ta’ala, awahing ku iman takwa.
* Kedal ucap pangakuan, Mung Alloh Nu Murbeng Alam,

sumembah mung ka Mantenna, iman ka Alloh Ta’ala.

75. AGAMA ISLAM (:2/132,133,134) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Kacida pisan bagjana, upamana hirup di dunya,

Islam anu diagemna, agama rido Mantenna.
* Kacida pisan rugina, mun maot can iman takwa,

matak enggal-enggal takwa, bisi kaburu palastra.
* Nabi Ibrahim nu muslim, amanat ka urang yakin,

yeuh anak incu Ibrahim, tong maot mun acan muslim.
* Nabi Yaqub oge sami, amanat ka nu pandeuri,

sumembah teh mung ka Alloh, tur to’at ka Rosululloh.
* Eta amanat mantenna, keur ka urang sarerea,

da urang turunanana, tanggung jawab pribadina.

76. ULAH NGABEDA-BEDA UTUSAN ALLOH SWT (:2/135,136) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Kahade dulur baraya, ulah rek ngabeda-beda,

ka para utusan Alloh, sadaya ge rosul Alloh.
* Nu beda ukur alamna, jeung beda-beda umatna,

pada nyandak kalamulloh, pada nyandak kitabulloh.
* Unggal rosul unggal nabi, pada kenging pancen suci,

saluyu sareng jamanna, pikeun nulungan umatna.
* Ari mungguh pikeun urang, nu gelar alam kiwari,

Muhammad panutan urang, utusan Ilahi Robbi.
* Sadaya iman ka Alloh, percanten ka Rosululloh,

tuduh jalan tina Qur’an, nu diagem Iman Islam.

77. ALAM DUNYA NU ENDAH (:2/137,138,139) - rhs, 4 Syawal 1421 H

* Ciptaan Alloh Ta’ala, kalintang pisan endahna,

endah teu aya tandingna, tan wilangan pulas warna,
* Dicelup ku kanyaahna, dipulas ku kaasihna,

sadayana ngandung ma’na, kaagungan Nu Kawasa.
* Sabudeurna bumi langit, estu asri endah wingit,

ti siang atra kasawang, ti wengi baranang bentang.
* Tutuwuhan kekembangan, warna-warna endah pisan,

kumelendang sasatoan, rupi-rupi lengkep pisan.
* Upami urang nengetan, diciptana kaendahan,

lajengna teh dilenyepan, bakal tambih kaimanan.
* Alam dunya ngampar lega, dicipta pikeun manusa,

urang teh kedah sukuran, nampi kaheman Pangeran.
* Tadabur alam teh penting, bade beurang bade peuting,

Sangkan urang jadi eling, pikir urang dzikir nyaring.
* Kanggo naon pacogregan, kanggo naon pasendatan,

marebutkeun bebenran, mending ge urang sukuran.

78. TANGGUNGJAWAB MASING-MASING (:2/140,141) - rhs, 4 Syawal 1421 H, 17.30

* Ahirna mungguh manusa, tanggungjawab ka dirina,

masing-masing pada-pada, naranggel amal gawena.
* Ngan ukur silih elingan, ngan ukur silih ingetan,

muga-muga susuganan, daraek tarakwa iman.
* Kumaha bagjaning diri, jeung kumaha ceuk pribadi,

da moal robah nasibna, mun teu robah pribadina.
* Mugia Alloh Ta’ala, maparinkeun hidayah-Na,

ka urang ka sarerea, sangkan pageuh iman takwa.
* Mugi paparin pituduh, sangkan hirup tong kalebuh,

di dunya kenging nugraha, di aherat ka sawarga.
* Ya Alloh Pangeran abdi, pancegkeun iman sim abdi,

teguhkeun ibadah abdi, hirup maot kersa Gusti.
* Mugi mu’minin mu’minat, sadayana kenging ni’mat,

ginulur kurnia rahmat, di dunya sareng aherat.
* Ya Alloh Malikul Alam, mugi panceg iman Islam,

mugia amal ditampi, tawis pangbakti sim abdi.

TAMAT - NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS 1

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS 30

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS 30

Ka Alloh abdi nyalindung, tina panggodana setan.

Kalayan asma Nu Agung, Alloh Anu Welas Asih.

- ALLOH -

1. KIAMAT TEH TANGTOS BAKAL KAJADIAN (:78/1,2,3,4,5) - rhs, 29 Jumadilawal 1424 H

* Assalamu’alaikum, ka muslimin wal muslimat,

asalamu’alaikum, ka mu’minin wal mu’minat.
* Seja nyanggakeun nadoman, sumberna ayat Al-Qur’an,

juz anu ka tilupuluh, mugia jadi pituduh.
* An-Naba’ nami suratna, tujuhdalapan nomerna,

dupi nu jadi ayatna, kahiji dugi kalima,
* Anu kapir teu percaya, yen kiamat bakal aya,

pajar ukur nyingsieunan,nu kapir teh seuseurian,
* Padahal kiamat pasti, bakal cunduk hiji wanci,

nu uninga mung Ilahi, manusa mah moal ngarti.
* Mun kiamat enggeus cunduk, nu kapir bati ngaheruk,

kakara sadar jeung eling, elingna geus elat teuing,
* Nu mawi yeuh kanca mitra, urang teh wajib percaya,

engke dina hiji mangsa, kiamat pasti cundukna.
* Ti ayeuna urang tobat, samemeh dongkap kiamat,

mugi Alloh ngahampura, kana samudaya dosa.

2. ALLOH SWT ANU NYIPTA BUMI ALAM (:78/6,7) - rhs, 30 Jumadilawal 1424 H

* Nadoman surat An Naba’, sareng nu jadi ayatna,

ayat genep sareng tujuh, eusina ngandung pituduh.
* Alloh Anu Maha Agung, Nu Kawasa sakalangkung,

nyipta bumi saeusina, sadaya damelana-Na.
* Ngagelar jadi daratan, sinareng ngaplak lautan,

gunung-gunungna ngajega, eta teh jadi paseukna.
* Jeung parentul pasir-pasir, pagunungan tingjalegir,

eta teh pikeun patokna, nyaimbangkeun ieu dunya.
* Kitu agungna Pangeran, anu nyipta bumi alam,

urang wajib takwa iman, ka Alloh Nu Maha Heman.

3. ALLOH SWT ANU NYIPTA MAHLUK (:78/8,9) - rhs, 1 Jumadilahir 1424 H

* Dangukeun ieu nadoman, kahaturkeun patarosan,

saha anu nyipta urang, nyipta wengi sareng siang.
* Sumangga geura diwaler, sangkan manah urang leler,

tambih panceg kaimanan, keur ngandelan kayakinan.
* Saha anu nyipta urang, ngahaja dipasang-pasang,

aya pameget jeung istri, nu engkena laki-rabi.
* Sareng saha nu mepende, urang teh tiasa sare,

ngalenggut raos nundutan, kulem tibra nanakeran.
* Cik mangga geura waleran, sumangga geura lenyepan,

mahaakbarna Pangeran, Maha Welas Maha Heman.

4. RAHMAT SARENG NI’MAT TI ALLOH SWT (:78/10,11) - rhs, 2 Jumadilahir 1428 H

* Sumangga geura lenyepan, eusina ieu nadoman,

welas asihna Pangeran, seueurna tanpa wilangan.
* Mangsa magrib layung ngempur, palih kulon hurung mancur,

langit lir disipun emas, matak hebat matak waas,
* Poek mimiti ngalingkup, indung peuting geus ngarukup,

dur magrib muadzin adzan, sorana antare pisan.
* nu sholat enggal sarumping, di disarung nu disamping,

ka mushola nu ka tajug, ka masjid pada ngajugjug.
* Ya Alloh ku ni’mat pisan, sujud payuneun Pangeran,

nampi nuhun ka Ilahi, anu maparin rejeki.
* Henteu lami tengah peuting, nu kulem tibra ngajempling,

dikirna marengan nafas, tibra kulrem bari iklas.
* Ya Alloh Ilahi Robbi, jog anjog wanci janari,

anu kulem gugah sakedap, solat tahajud teu hilap.
* Tengah wengi sujud sukur, ka Alloh Nu Maha Gofur,

sujud tobat ka Pangeran, hoyong lubar kalepatan.
* Ya Alloh Ilahi Robbi, nu tahajud sujud lami,

cisocana teh nyakclakan, sajadahna kabaseuhan.
* Sujudna teuing ku husu, dikir sajeoring kalbu,

pertobatna iklas pisan, miharep rido Pangeran.
* Aya anu kulem deui, nampi ni’mat ti Ilahi,

henteu lami adan subuh, gugah deui rada rusuh.
* Siram beberesih diri, abdas ku cai nu suci,

solat subuh di mushola, berjamaah sadayana.
* Teu lami dunya bray caang, panon poe hurung herang,

sadaya pada mariang, nu tatanen anu dagang.
* Usaha nyiar kipayah, da eta jadi tarekah,

ihtiar nyiar rejeki, paparin Ilahi Robbi.

5. RAHMAT SARENG NI’MAT PAMAPARIN ALLOH SWT (:78/12,13,14,15,16) - rhs, 3 Jumadilahir 1428 H

* Ieu wargi sadayana, sumangga dangukeun heula,

ieu nadom kahaturkeun, dangukeuneun lenyepaneun.
* Sumangga tingali langit, wedel mo bisa disebit,

langit nyusun tujuh lapis, ku urang henteu katawis.
* Euleuh itu panonpoe, medal unggal-unggal poe,

ti wetan surya bijilna, di kulon engke surupna.
* Panonpoe palitana, nyaangan saalam dunya,

jadi cekas titingalan, dunya ngampar endah pisan.
* Henteu lami aya mega, kumalayang di angkasa,

langit ngadak-ngadak mendung, pihujaneun enggeus mayung.
* Teu lami hujan miripis, murupuy hujan girimis,

paralak hujan ngerepan, nyebor darat jeung tegalan,
* Geus kitu breng tutuwuhan, jararadi subur pisan,

ngemploh hejo titingalan, nu daunan nu kembangan.
* Tutuwuhan subur pisan, henteu lami baruahan,

cukul pisan pepelakan, patani barungah pisan.
* Kitu asihna Pangeran, ka mahlukna mikaheman,

nu mawi kedah sukuran, nampi ni’mat ageung pisan.

6. ANU DISEBUT POE FASHLI TEH NYAETA POE CUNDUKNA KIAMAT (:78/17,18,19) - rhs, 10 Jumadilahir 1428 H

* Nu disebut poe Fashli, eta teh teu aya deui,

iwal ti poe kiamat, poe wawales teu lepat.
* Lajeng ditiup sangkala, kiamat dadak sakala,

sadaya mhluk palastra, pada ngaleupaskeun nyawa.
* Panto langit nembrak muka, sareng kabeh nyawa jalma,

lumebet ka eta panto, panto langit nu molongo.
* Poe Fashli bakal cunduk, bakal maot sugri mahluk,

sadayana tilar dunya, kiamat teh nya harita.

7. ALAM DUNYA ANCUR LEBUR (:78/20) - rhs, 10 Jumadilahir, 1428 H

* Ari dintenan kiamat, estu kajadian hebat,

dunya genjlong gunjang-ganjing, ngarandeg henteu nguriling.
* Gunung gunung tingbaliur, rabeng haliber kalabur,

tingsoloyong tingkoleang, tingbelesat ngawang- ngawang.
* Gunung-gunung teh baritu, sawareh pada diadu,

henteu aya anu nyesa, alam dunya jadi rata.
* Anu nyesa kari lebu, ngebul di dieu di ditu,

alam dunya ririakan, hawa panas nyongkab pisan.

8. ANU KAPIR DIASUPKEUN KA NARAKA (:78/21,22,23) - rhs, 10 Jumadilahir 1428 H

* Poe Fashli poe ahir, cilaka jalma nu kapir,

nyawana teh matak watir, sabab hirupna mubadir.
* Ka naraka disuntrungkeun, seuneu panas disampakkeun,

sabab keur hirup di dunya, ka Alloh teu iman takwa.
* Di narakana teh langgeng, abadi saendeng-endeng,

panto naraka ditutup, panasna moal kauntup.
* Nu kapir disiksa beurat, langgeng keuna ku pangla’nat,

cilaka estu cilaka, nu kapir bakal disiksa.

9. KAAYAAN ANU KAPIR DI JERO NARAKA (:78/24,25) - rhs, 10 Jumadilahir 1428 H

* Lamun bae urang terang, anu kapir keur dipanggang,

dikulub jero naraka, estuning watir kacaida.
* Maot henteu hirup henteu, diduruk jeroning seuneu,

halahab hanaang pisan, hayang nginum kapanasan.
* Nu aya cai ngagolak, panas pacampur jeung ruhak,

bau bangke matak utah, da pacampur reujeung nanah.
* Kitu gambaran naraka, nu matak urang sadaya,

kudu iman kudu takwa, ka Alloh Nu Maha Esa.

10. WAWALES KA JELEMA ANU KAPIR TEH SAIMBANG JEUNG DOSANA (:78/26,27,28,29,30) - rhs, 13 Jumadilahir 1428 H

* Dangukeun ieu nadoman, pikeun jadi paringetan,

saha nu nolak Al-Qur’an, tangtuna kenging siksaan.
* Komo anu nyebut palsu, kana Al-Qur’an teu ngaku,

Al-Qur’an disebut dongeng, nu kitu dosa singhoreng.
* Ari siksa nu katampa, saimbang reujeung dosana,

moal langkung moal kirang, siksaan bakal saimbang.

11. JELEMA TAKWA KA ALLOH SWT BAKAL KA SAWARGA (:78/31,32,33,34,35,36) - rhs, 13 Jumadilahir 1428 H

* Bagja teuing nu muslimin, keur muslim teh sarta mu’min,

jaga bakal ka sawarga, sabab iman sarta takwa.
* Sawarga teuing ku endah, patempatan matak betah,

seueur kembang seueur buah, estu matak tumaninah.
* Buah anggur ruruntuyan, cukul sakur kekebonan,

gelas kristal nu harerang, ngaleueut lamun hana’ang.
* Dijaga ku mojang geulis, lalucu sarta maranis,

di sawarga matak betah, teu aya pisan kasusah.
* Sawarga teh keur ganjaran, ka jelema anu iman,

Alloh Anu Maha Heman, ka mahlukna anu iman.

12. ALLOH SWT ANU MAHA KERESA (:78/37,38) - rhs, 13 Jumadilahir 1428 H

* Gusti Alloh Nu Kawasa, Gusti Alloh Maha Esa,

Pangeranna jagat raya, nu disembah ku mahlukna.
* Dina dintenan kiamat, jaga di alam aherat,

taya nu wani unjukan, iwal mun widi Pangeran.
* Malaikat nu ngajajar, sadaya wirid istigfar,

mun ku Alloh dipariksa, unjukan satarabasna.

13. POE KIAMAT TEH BAKAL KAJADIAN (:78/39) - rhs, 13 Jumadilahir 1428 H

* Eling-eling yeuh baraya, dangukeun ku sadayana,

nadoman penting kacida, matak kudu iman takwa.
* Ari perkara naraka, eta teh pasti ayana,

kahade ulah cangcaya, urang wajib percayana.
* Lamun hayang ka sawarga, atuh kudu iman takwa,

nyembah ka Alloh Nu Esa, ulah nyembah ka berhala.

14. DINA POE KIAMAT AMAL IBADAH TEH SADAYANA NEMBRAK (:78/40) - rhs, 13 Jumadilahir 1428 H

* Ieuh dulur sadayana, dangukeun nadoman heula,

eusina penting kacida, pamungkas surat An-Naba’.
* Ari kiamat teh pasti, bakal cunduk hiji wanci,

nembrak gawe unggal jalmi, sakabehna ge kaciri.
* Tah harita kajadian, anu kapir gogoakan,

amal gawe kabandungan, nembrak kabeh kasaksian.
* Leungeunna kabeh nyarita, naon nu dipigawena,

anggota badan lianna, jadi saksi ka dirina.
* Anu kapir teh careurik, hanjakal keur hirup musrik,

mending keneh jadi lebu, moal ngalaman hanjelu.
* Jadi taneuh mah teu nista, da tara milampah dosa,

jadi manusa mah nista, da bongan milampah dosa.

TAMAT - NADOMAN NURUL HIKMAH, Tina Surat AN- NABA’

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS 30

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS 30
15. SAKARATNA JELEMA ANU KAPIR KACIDA PIKAWATIREUNANA (:79/1) - rhs, 17 Jumadilahir 1428 H

* Sakaratna jalma kapir, estuning ku matak watir,ku Ijroil digebugan, anu kapir diteunggeulan.
* Digebugan sahabekna, sangkan ka luar nyawana, nyawana mugen embungeun, sieun dikanarakakeun.
* Si nyawa didudut tarik, nyawa teh ngajerit ceurik, tingkoceak sosongkolan, sakaratna nu teu iman.
* Naha atuh maneh kapir, teu inget engke di ahir, bakal pinanggih jeung maot, dipapag malakal maot.
* Sanajan ampun-ampunan, enggeus euweuh kasempetan, tobatna geus elat teuing, naha baheula teu eling.
* Tarima bae buktina, sabab teu iman teu takwa, marukan teh bakal lana, langgeng rek hirup di dunya.
* Na naon nu diteangan, ngumbar napsu tetemenan, terang-terang geus lekasan, malakalmaot nungguan.

16. MAOTNA JELEMA ANU MU’MIN MAH ESTU PASRAH PISAN (:79/2,3,4) - rhs, 17 Jumadilahir 1428 H

* Ijroil diutus deui, nampi pancen ti Ilahi,

pikeun nyabut deui nyawa, nyawana jalma nu takwa.
* Ijroil nyanggakeun salam, panghormat ka mu’min Islam,

sang nyawa teh digentraan, seug ka luar lalaunan.
* Sang Nyawa lajeng dibetot, ditarik malakal maot,

ditarikna lalaunan, teu pegat maca wiridan.
* Ngageleser ngagulusur, lungsur-langsar narik umur,

teu pisan karaos nyeri, pupus iklas rido ati.
* Malaikat nu sanesna, lalebet ka salirana,

nyabutan roh nu sanesna, tina sel-sel salirana.
* Malaikat nu sanesna, jajap nyawa ka sawarga,

nyawa nu iman nu takwa, pupusna bagja kacida.
* Muga teuing diri urang, lamun engke kedah mulang,

lamun geus cunduk waktuna, datang ajal geus mangsana.
* Hoyong maot iman takwa, iklas ngaleupaskeun nyawa,

maot nuju muslim mu’min, ngadeuheus Robul a’lamin.

17. SADAYA MALAIKAT PADA KAGUNGAN PANCEN TI ALLOH SWT (:79/5,6,7) - rhs, Jumadilahir 1428 H

* Malaikat sadayana, pada kagungan tugasna,

sadaya jadi utusan, kenging pancen ti Pangeran.
* Ari tugas malaikat, ngajaga sareng ngarumat,

ngatur sagebarna jagat, henteu aya nu kaliwat.
* Bentang-bentang nu di langit, tingcarelak tingkaretip,

panonpoe sareng bulan, sadaya tumut aturan.
* Tapi dina hiji mangsa, ngadadak sajagat raya,

ancur lebur pabalatak, dunya bencar paburantak.
* Dunya sakitu wedelna, harita ancur sadaya,

eta teh kiamat tea, bakal bukti hiji mangsa.

18. JELEMA ANU GEUS MARAOT BAKAL DIHIRUPKEUN DEUI DINA POE PANGADILAN (:79/8,9,10,11,12,13,14) - rhs, 17 Jumadilahir 1428 H

* Dupi poe pangadilan, eta bakal dicirian,

aya tangara soara, nu disebut sangkakala.
* Sangkakala nu kadua, sorana tarik kacida,

nu maot harudang deui, ka luar ti jero bumi.
* Kabeh manusa degdegan, hatena teh gegebegan,

pikir ketir sieun pisan, mikiran nasib sorangan.
* Silih rangkul jeung baturna silih tanya jeung sobatna,

euleuh geuning hirup deui, padahal geus maot lami.
* Geus tangtu urang cilaka, da hirup pinuh ku dosa,

rugi teuing diri urang, cilaka henteu kapalang.
* Sakabeh umat careurik, rajeg di sagara keusik,

narangtung luhur tegalan, nu legana tan wangenan.
* Eta poe pangadilan, bakal nampi kaputusan,

saha anu ka sawarga, jeung saha nu ka naraka.

19. NABI MUSA AS. DIPIWARANG NEPANGAN FIR’AON (:79/15,16,17,18,19,20) - rhs, Jumadilahir 1428 H

* Kacarios Nabi Musa, harita linggih di Thuwa,

munajat ka lenggah Gusti, kenging dawuh ti Ilahi.
* Pidawuh Alloh Ta’ala, katampi ku Nabi Musa,

yen kedah angkat ka Mesir, nepangan Fir’aon kapir.
* Raja Fir’aon kamashur, kaasup raja nu kupur,

galak gangas ngagalaksak, di dunya ngan nyieun ruksak.
* Sugan mun ku Nabi Musa, Fir’aon robah adatna,

tina kapir jadi takwa, nyembah ka Alloh Ta’ala.
* Lajeng bae Nabi Musa, ngajugjug ka Mesir tea,

maksadna bade nepangan, Fir’aon rek dielingan.
* Mun Fir’aon daek eling, ku Musa bakal diaping,

dituyun ka jalan iman, nyembah ka Alloh Nu Heman.
* Malah Kangjeng Nabi Musa,ningalikeun muji’zatna,

tapi Fir’aon mantangul,bedegong keukeuh ngabedul.

20. FIR’AON NGANGGAP DIRINA JADI PANGERAN (:79/21,22,23,24,25,26) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Dasar Fir’aon nu kapir, hese diajakan lilir,

napsuna angger ngaberung, dasar kapir jalma linglung.
* Malah jadi malik ngewa, miceuceub ka Nabi Musa,

pajar sarapna kaganggu, ngaku-ngaku meunang wahyu.
* Dikumpulkeun rahayatna, pok Fir’aon teh nyarita,

pangeranna Nabi Musa, eta teh bohong kacida.
* Pangeran mah nya kaula, nu disembah sanagara,

Fir’aon anu ngawasa, kitu Fir’aon ngomongna.
* Gusti Alloh lajeng bendu, ka mahluk nu model kitu,

anu sombong gede hulu, bakal dila’nat geus tangtu.
* Di dunya bakal dila’nat, komo engke di aherat,

kisah Fir’aon baheula, pieunteungeun sarerea.

21. KAAGUNGANANA ALLOH SWT (:79/27,28,29,30,31,32,33) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Dangukeun ieu nadoman, sumangga geura lenyepan,

kaagungan Gusti Alloh, estu hebat subhan-Alloh.
* Kanggo Alloh mah teu sesah, nyipta manusa sakumna,

kanggo Alloh mah teu sesah, nyiptakeun sajagat raya.
* Alloh mah maha-keresa, teu langkung sakeresa-Na,

dunya ngadadak ngagelar, bumi alam lega ngampar.
* Geura sumangga tingali, geura titenan ti wengi,

ngadadak poek meredong, leumpang oge rarang-rorong.
* Tapi upama ti siang, panonpoe ngempray caang,

sadaya ciptaan Gusti, dibeberes teu pahili.
* Lajeng tina sela taneuh, ngadadak taneuh teh baseuh,

malancer cai nyusuna, ngalocor walunganana.
* Tina taneuh anu tadi, renung jujukutan jadi,

hejo ngemploh pepelakan, karembangan baruahan.
* Tuh tingali itu pasir, ngajajar pating jalegir,

tuh tingali itu gunung, ngabedega jararangkung.
* Sadaya ciptaan Alloh, hebatna teh subhan-Alloh,

sadaya pikeun manusa, matak kudu iman takwa.

22. ARI GEUS DATANG KIAMAT KAKARA MANUSA TEH ARELING (:79/34,35,36,37,38,39) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Ras emut dinten kiamat, kajadian anu hebat,

ancur lebur alam dunya, kitu deui jagat raya.
* Kakara jelema eling, kiamat harita geuning,

datangna ngadadak pisan, tinggaroak jejeritan.
* Ras inget kana dosana, dosa nu dipilampahna,

teu lila lawang dibuka, lawang asup ka naraka.
* Naraka keur jalma kapir, anu hirupna mubadir,

anu muja kana harta, sarua muja berhala.
* Geuning ari kapir tea, rek saha bae jalmana,

anu hirupna pidunya, eta teh kapir sipatna.
* Tah jelema anu kitu, ka naraka enggeus tangtu,

bakal jadi balad setan, di naraka pangancikan.

23. SAWARGA TEH PIKEUN JELEMA ANU IMAN TAKWA (:79/40,41) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Bagja temen jalma takwa, iman ka Alloh Ta’ala,

anu teu kendat wiridan, nyebat asmaning Pangeran.
* Bagja temen jalma mu’min, anu iman hakul yakin,

nu mampuh ngajaga diri, hirupna boga kadali.
* Mampuh ngadalian napsu, hirupna henteu kalangsu,

napsu lahir napsu batin, kadalina takwa mu’min.
* Jalma anu iman takwa, bakal lenggah di sawarga,

dirahmat ku Nu Kawasa, bagja teuing ahli sorga.

24. IRAHA-IRAHANA KAJADIAN KIAMAT ANU UNINGA ANGING ALLOH SWT (:79/42,43,44,45) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Ayeuna oge sok aya, pirajeunan tunyu-tanya,

kiamat iraha bukti, naha beurang naha wengi.
* Mun aya nu nanya kitu, pek jawab anu saestu,

kiamat iraha bukti, mung Alloh anu tingali.
* Urang mah mung ukur mahluk, saukur tumut jeung tunduk,

ngan ukur ngajadi saksi, kiamat datangna pasti.
* Kawajiban diri urang, ibadah peuting jeung beurang,

sumujud ka Gusti Alloh, miharep ridoning Alloh.
* Urang mah ukur ngelingan, ngahudangkeun kasadaran,

yen kiamat pasti bukti, kaalaman hiji wanci.

25. URANG HIRUP DI DUNYA TEH HENTEU LAMI (:79/46) - rhs, 18 Jumadilahir 1428 H

* Dangukeun ieu sing hidmat, nami surat An-Naziaat,

ayat opatpuluh genep, lenyepan mangka saregep.
* Nalika kiamat datang, duka ti peuting ti beurang,

manusa kakara sadar, yen hirup mubah kalantar.
* Hanjakal kakara eling, waktuna geus elat teuing,

enggeus beakeun waktuna, nutup lawang pangampura.
* Katambah waktu harita, karasa ku sarerea,

di dunya asa can lila, kakara sakedet netra.
* Hirup teh asa can lami, asa kakara kamari,

malah asa karek tadi, kitu rarasaan jalmi.
* Terang-terang enggeus ahir, dunya eureun henteu muntir,

ancur lebur jagat raya, kiamat teh nya harita.

TAMAT - NADOMAN NURUL HIKMAH, Tina Surat AN-NAZIAAT

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS I

NADOMAN NURUL HIKMAH, DARAS I
Ka Alloh abdi nyalindung, tina panggodana setan.

kalayan asma Nu Agung, Alloh Anu Welas Asih.

-Alloh-

1. ALLOH ANU MAHA UNINGA (:2/1,2) - rhs, 1 Syawal 1421 H

* Alloh Nu Maha Uninga, kana sadaya dawuh-Na,

mungguhing urang manusa, wajib kedah percantenna.
* Kana Qur’an ulah hamham, ulah waswas ragu-ragu,

upami urang mihamham, tangtos urang buntu laku.
* Sadaya umat Pangeran, kedah kenging tuduh jalan,

nu mawi lumungsur Qur’an, pikeun tuduh jalan iman.
* Tawisna nu takwa to’at, yakin ayana aherat,

solatna teh tara pegat, ku Alloh tangtos dirahmat.

2. SILIH BAGI REJEKI (:2/2,3,4) - rhs, 1 Syawal 1421 H

* Mun urang nampi rejeki, rejeki pabagi-bagi,

sasama ge kabagean, rejeki silih agehan.
* Jelema nu iman mu’min, panceg percaya tur yakin,

kitabulloh nu baheula, eta ge dawuh Mantenna.
* Jelema nu iman mu’min, yakinna aenal yakin,

yen engke teh hirup deui, bakal deuheus ka Ilahi.

3. PITUDUH TI ALLOH SWT (:2/5) - rhs, 1 Syawal 1421 H

* Mungguhing nu iman takwa, kenging pituduh Mantenna,

hirupna kenging panungtun, henteu lesot ti panuyun.
* Eta teh bagja utama, rahmat teu kinten ageungna,

mulus salamet hirupna, kenging pituduh Mantenna.
* Nu kitu hirup rahayu, kenging pituduh lumaku,

moal sasar katambias, moal hamham moal waswas.

4. ULAH NGABEDUL (:2/6,7) - rhs, 1 Syawal 1421 H

* Jelema anu mantangul, hirup nyuruntul ngabedul,

hese dibere pepeling, langlang-lingling lir teu eling.
* Mangeran kana napsuna, ngagugulung kahayangna,

aturan kabeh dirumpak, ngaruksak jeung ngagalaksak.
* Lajeng ku Alloh ditutup, kalbu dibulen dirungkup,

hatena teh ditulakan, pangreungeuna dicocokan.
* Batin jadi kurunyinyi, tebih ti hidayah Gusti,

cilaka estu cilaka, jalma nu kitu lampahna.

5. GANCANG OMEAN (:2/8,9) - rhs, 1 Syawal 1421 H

* Seueur pisan kajantenan, ngaku-ngaku panceg iman,

padahal gagaleongan, kaimanan reureundahan.
* Sering pisan kaalaman, pura-pura ngaku iman,

ari lampah euwah-euwah, kitu salah kieu salah.
* Lamun nyieun kasalahan, pek omean gagancangan,

gancang menta dihampura, ka Alloh Maha Kawasa.
* Kitu lampah sasab pisan, tetela nipu sorangan,

tapi tong peunggas harepan, nu salah gancang omean.

6. SIPATNA JELEMA ANU MUNAPEK (:2/10,11) - rhs, 2 Syawal 1421 H

* Jalma munapek sipatna, mun leukeun nitenanana,

sok resep nyieun alesan, keur nutupan kasalahan,
* Kasalahan diteumbleuhkeun, geugeuleuh dika-baturkeun,

hatena pinuh werejit, kotor jeung pinuh rurujit.
* Mun hareupeun ngomong hade, tukangeun mah ngalelewe,

nu kitu tong jadi sobat, sabab mindeng ngahianat.

7. ULAH JALIR JANGJI (:2/12,13) - rhs, 2 Syawal 1421 H

* Lamun urang gaduh jangji, kade ulah lanca-linci,

subaya kedah cumponan, sabab eta kahormatan.
* Jelema nu jalir jangji, eta teh sami saharti,

reujeung ngaruksak pribadi, henteu ngajenan ka diri.
* Nu teu pageuh kana jangji, nu kitu munapek pasti,

hirupna moal jamuga, bakal pinanggih tunggara.

8. NGAJAGA LETAH (:2/14) - rhs, 2 Syawal 1421 H

* Kade jaga eta letah, sabab mindeng mawa salah,

seukeutna leuwih ti pedang, raheutna matak gudawang.
* Loba nu meunang cilaka, lantaran tina ngomongna,

ngomong teu dipikir heula, tangtu hanjakal ahirna.
* Ngomong ngabuih ngabudah, mindingan lampah nu salah,

ngaku-ngaku iman takwa, padahal reka perdaya,
* Iman ukur kaheureuyan, kawas bunglon lolondokan,

kitu peta salah pisan, kudu gancang dijauhan.

9. ULAH NGAHEUREUYKEUN AYAT (:2/15,16) - rhs, 2 Syawal 1421 H

* Mangkade ulah mokaha, ngaheureuykeun pidawuh-Na,

dipake ocon guguyon, kitu peta estu awon.
* Jalma ngaheureuykeun ayat, moal pinarinan rahmat,

jeung moal kenging sapa’at, sabab ngaheureuykeun ayat.
* Ayat teh dawuhan Gusti, lenyepan mangka kaharti,

sangkan urang ulah rugi, hirup jadi ngandung harti.
* Ayat ulah diheureuykeun, kuduna teh dihartikeun,

sangkan hirup ulah rugi, tur kenging rido Ilahi.

10. PALITA ANU TEU CAHAYAAN (:2/17,18) - rhs, 2 Syawal 1421 H

* Kuma pibakaleunana, lamun pareng hiji mangsa,

urang teh nyeungeut palita, tapi teu caang sinarna
* Kotret deui cekres deui, ngahurungkeun korek api,

pareum deui pareum deui, poek deui poek deui.
* Rajeun palitana hurung, tapi kalah tambah bingung,

sabab cahayana musna, poek mongkleng buta rata.
* Kitu minangka misilna, nu munapek ibaratna,

lolong lahir jeung batinna, sasab dunya aheratna.

SEJARAH TASIKMALAYA DAN KAMPUNG NAGA

SEJARAH TASIKMALAYA DAN KAMPUNG NAGA
Sebelum ibukota Kabupaten Sukapura berkedudukan di Tasikmalaya, kota ini merupakan sebuah afdeeling yang diperintah oleh seorang Patih Lurah (Zelfstandige Patih). Waktu itu namanya Tawang atau Galunggung. Sering juga penyebutannya disatukan menjadi Tawang-Galunggung. Tawang sama dengan “sawah” artinya tempat yang luas terbuka, dalam Bahasa Sunda berarti “palalangon”.

Ada pendapat lain yang menerangkan arti Tasikmalaya, yaitu berasal darikata “tasik” dan “laya”, artinya “keusik ngalayah”, maksudnya banyak pasir di mana-mana, mengingatkan kejadian meletusnya Gunung Galunggung Oktober 1822, yang menyemburkan pasir panas ke arah Kota Tasikmalaya. Keterangan kedua menyebutkan bahwa Tasikmalaya berasal dari kata “Tasik” dan “Malaya”. Tasik dalam bahasa Sunda berarti danau, laut dan Malaya artinya nama deretan pegunungan di Pantai Malabar India.

Menurut Buku Pangeling-ngeling 300 Tahun Ngadegna Kabupaten Sukapura dan keterangan R.Yudawikarta, bahwa Sareupeun Cibuniagung berputera Entol Wiraha yang menikah dengan Nyai Punyai Agung, seorang pewaris dari Negara Sukakerta, dan Entol Wiraha diangkat menjadi Umbul di Sukakerta. Waktu Wirawangsa, putra Entol Wiraha menjadi umbul Sukakerta, Bupati Wedana di Priangan dipegang oleh Dipati Ukur Wangsanata.

Pada tahun 1628/1629 Dipati Ukur mendapat perintah dari Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama-sama tentara Mataram dibawah pimpinan Tumenggung Bahurekso. Dipati Ukur membawa sembilan umbul (Pemimpin Daerah), diantaranya umbul dari Sukakerta, Wirawangsa. Penyerangan yang berakhir dengan kegagalan itu menyebabkan Dipati Ukur dikejar-kejar tentara Mataram. Menurut salah satu versi dari penangkapan Dipati Ukur, yaitu pendapat K.F. Holle; bahwa ada tiga umbul yang ikut dalam penangkapan, yaitu Umbul Sukakerta Ki Wirawangsa, Umbul Cihaurbeuti Ki Astamanggala dan Umbul Sindangkasih Ki Somahita.

Atas jasa-jasanya, ketiganya diangkat menjadi mantri agung di tempatnya masing-masing. Ki Wirawangsa diangkat menjadi Mantri Agung Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha pada tahun 1674. R.Tg. Wiradadaha I yang berjasa dalam mendirikan Kabupaten Sukapura wafat dan dimakamkan di Pasir Baganjing. R.Tg. Wiradadaha I berputra 28 orang dan digantikan oleh putranya yang ketiga, R. Djajamanggala dengan gelar Tumenggung Wiradadaha II, serta dikenal pula sebagai Dalem Tambela yang meninggal pada tahun 1674. Sebagai penggantinya untuk menjadi bupati adalah adiknya, R. Anggadipa, putra keempat R.Tg. Wiradadaha I, karena putra Dalem Tambela yang berjumlah 8 orang belum cukup umur untuk menggantikannya.

Nama R. Anggadipa I setelah menjadi bupati diganti menjadi R.Tg. Wiradadaha III yang memerintah dari tahun 1674 hingga 1723. Pada masa itu kemajuan agama dipentingkan sekali, karena adanya anjuran dari Sjeh Abdul Muhyi di Pamijahan yang menjadi perintis Agama Islam di Kabupaten Sukapura. Dalam memegang pemerintahan, R.Tg. Wiradadaha III dibantu empat orang puteranya yang masing-masing mempunyai pembagian kerja. Adanya pembagian kerja ini membuat R.Tg. Wiradadaha III terkenal sebagai Bupati Sukapura terkaya. Selain itu memiliki putra terbanyak 62 orang, sehingga lebih dikenal dengan nama Dalem Sawidak.

Pada tahun 1900 Bupati Sukapura XII, R.T. Wirahadiningrat yang memerintah dari tahun 1875 hingga 1901 mendapat Bintang Oranye Nasau, dari pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan namanya dikenal sebagai Dalem Bintang. Pada tahun itu pula ibukota Sukapura dipindahkan dari Manonjaya ke Tasikmalaya. Adapun yang melaksanakan perpindahan ibukota adalah penggantinya, yaitu R.Tg. Wiriaadiningrat, Bupati Sukapura XIII. Ada beberapa alasan dipindahkannya ibukota Kabupaten Sukapura ke Tasikmalaya, di antaranya karena daerah Tasikmalaya yang lebih dekat ke Galunggung termasuk daerah yang subur sehingga baik untuk penanaman nila, disamping itu daerah kota Tasikmalaya lebih luas, datar dan indah dibandingkan Manonjaya.

Pada tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir diganti dengan pemerintahan militer Jepang. Karena adanya peraturan pengumpulan beras dari pemerintahan Jepang, pernah muncul pemberontakan para santri di pasantren Sukamanah yang dipimpin seorang ulama besar, K.H.Z. Mustofa yang dibela Bupati R.T. Wiradiputra.

Inilah sebagaian kecil dari catatan mengenai Sejarah Sukapura atau yang kini lebih dikenal dengan nama Tasikmalaya.

Sumber: Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, Tahun 2000

KAMPUNG NAGA
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.

Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melaluai jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.

Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.

RELIGI DAN SISTEM PENGETAHUAN

Penduduk Kampung Naga sumuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, namun syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu; Subuh, Duhur, Asyar, Mahrib, dan solat Isa, hanya dilakukan pada hari jumat. Sedangkan pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak dikampung Naga dilaksanakan pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, menurut anggapan mereka tidak perlu jauh-jauh pergi keTanah Suci Mekah, cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam “leuwi”. Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang menganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi agueng dan mesjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedong.

Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.

Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.

Adapu pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari selasa, rabu, dan sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.

Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan post_category yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan “sasajen” (sesaji).

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi.

Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan kepada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya.