Selasa, 11 Oktober 2011

Apakah sosiologi itu?

What is Sosiologi ?
By : Y A S N I A R

PENDAHULUAN
Apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya ? apa manfaat mempelajari ?
Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi perkembangan sosiologis,disamping munculnya pandangan-pandangan filosofis tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.
Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, mengantarkan pada pemahaman tentang pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu sosial lainnya, yang akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi. Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran sosiologi telah memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga sosiologi dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple paradigm science’).

SEJARAH SOSIOLOGI SEBAGAI SEBUAH ILMU
Menurut Berger dan Berger, pemikiran sosiologi berkembang ketika masyarakat menghadapi ’ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap benar dan seharusnya, yang menjadi pegangan manusia’ (threats to the taken-for-granted world). Maksudnya yaitu, suatu keadaan masyarakat dimana tatanan sosial (’social order’) yang diyakini oleh sebagian besar anggota masyarakat terancam oleh berbagai bentuk perubahan.
Sampai abad ke-18 Eropa Barat didominasi oleh sistem feodalisme yang sangat elitis dan mapan. Perkembangan yang terjadi kemudian, mengikuti tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, adalah munculnya kesadaran bahwa dominasi feodalisme sangat menghambat perkembangan kelompok intelektual serta kelas menengah. Bangkitnya kelas menengah mewarnai sebuah proses perubahan jangka panjang, seperti tumbuhnya kapitalisme,perubahan sosial dan politik, meningkatnya individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern. Dua revolusi penting pada abad ke-18, ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker, 1983:11-43).
Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), Pada masa inilah peran para tokoh sosiologi klasik berawal. Mendorong para pemikir dan intelektual mencari jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokoh-tokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah ilmu.
Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan sosiologi, dalam bukunya : ’Course de Philosophie Positive’.Yang berisi pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati tiga tahap. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, tahap positif, yaitu manusia mencari penjelasan gejala alam maupun sosial mangacu pada deskripsi ilmiah.
Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif mendasarkan pada cara berpikir ilmiah, bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan kajian harus bermanfaat, serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang digunakan dalam metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode historis. Penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis.
Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek studi sosiologi, dan memberikan rumusan penting dalam metode untuk mendekati dan mengamati obyek studi.
Pandangan Comte yang masih abstrak tentang filsafat positif kemudian diperjelas oleh Durkheim dengan meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh adalah Suicide (1968) dan The Rule of Sociological Method (1965). Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Melalui karya ini Durkheim menegaskan bahwa obyek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact), yang untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan The Rule of Sociological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi.

POKOK BAHASAN DALAM SOSIOLOGI
Untuk membangun pemahaman tentang ruang lingkup serta pokok bahasan sosiologi. Dengan memahami Istilah sosiologi yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan bahwa obyek formal sosiologi adalah hubungan antar orang.
Pengertian sosiologi sering juga dikacaukan dengan pekerjaan sosial (social worker). Sebenarnya sosiologi tidak dapat secara langsung menjawab kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dalam arti tidak mempersiapkan secara khusus profesi sebagai penyuluh atau counselling, atau membantu memecahkan persoalan pribadi. Namun demikian bukan berarti sosiologi tidak mempunyai kontribusi dalam usaha memecahkan persoalan semacam itu. Sosiologi telah membangun banyak teori yang berpijak pada asumsi-asumsi dasar dan perspektif tertentu, serta memiliki metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat evaluasi, interpretasi dan bahkan juga prediksi.
Perhatian sosiologi terhadap fenomena sosial yang terjadi tidak semata-mata membuat deskripsi, atau merentang perbedaan dan persamaan karakteristik fenomena sosial yang berkembang, akan tetapi juga memperlihatkan tendensi-tendensi atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sosiologi mampu menerangkan dan menafsirkan apa yang ada di balik fenomena sosial tersebut berdasarkan teori atau penelitian, dan tidak memberikan penilaian berdasarkan baik dan buruk pada sebuah tindakan sosial. Sehingga, tindakan sosial tertentu yang bagi orang awam terasa aneh, tidak wajar atau menyimpang, melalui sosiologi dapat menjadi sesuatu yang menarik, dan dapat ditelusuri pangkal-tolak kemunculannya dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini merupakan bukti obyektivitas sosiologi sebagai sebuah ilmu.
Beberapa contoh definisi sosiologi adalah, kajian ilmiah tentang man’s social life (kehidupan sosial), atau tentang human relationships and their consequences (hubungan antar orang dan konsekuensi-konsekuensinya), dan juga tentang social behaviour (tindakan sosial). Tentunya semua definisi ini benar adanya, namun kerapkali dianggap kurang rinci dan masih belum mampu membedakan sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tidak mudahnya menarik definisi sebuah disiplin ilmu kemasyarakatan, dalam hal ini sosiologi, bisa dipahami karena, pertama, apa yang ditangkap dan dikonstruksi oleh seorang ahli tentang disiplin tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan fokus perhatiannya ketika itu; yang kedua, begitu banyaknya faktor yang berperan dan berubah pada masalah sosial yang tumbuh dalam masyarakat sehingga orientasi pokok kajian sebuah disiplin menjadi sulit diselaraskan.
Water dan Crook menyatakan (Sunyoto Usman, 2004:hal 6-7) bahwa : “Sociology is the systematic analysis of the structure of social behaviour” (sosiologi adalah analisis yang sistematis tentang struktur tindakan sosial). Dalam definisi ini terdapat sedikitnya empat elemen penting. Pertama, pokok kajian adalah tindakan sosial, dan bukan tindakan individual. Tindakan sosial berarti tindakan yang diorientasikan pada orang lain, mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan akibat dari tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua, tindakan sosial yang dipelajari adalah tindakan yang berstruktur. Struktur disini berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini, sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial, sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu (scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi mikrososiologi dan makrososiologi (menurut Inkeles, dalam Kamanto Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial. Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
Hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

No


Paradigma

Gambaran dasar pokok permasalahan


Teori


Metode


Eksemplar


1


FAKTA SOSIAL

Obyek :
Eksternal
Memaksa
Umum
Riil

STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN KONFLIK

Metode Survei dengan Kuesioner dan wawancara

EMILE DURKHEIM :
The Rules of Sociological Method, Suicide



2



DEFINISI SOSIAL

Subyek :
internal
bebas
khusus

TINDAKAN (Weber, Parsons),
INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Weber, Mac Iver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer)
SOSIOLOGI FENOMENOLOGI (Weber, Schutz, Garfinkel)

Pengamatan, verstehen

MAX WEBER : Tindakan Sosial


3


PERILAKU SOSIAL

Perilaku manusia deterministik : penghargaan dan hukuman

PERILAKU (Burgers & Bushell, Homans)

Eksperimen

B.F.SKINNER : Perilaku Sosial


Durkheim membangun konsep fakta sosial yang kemudian diterapkannya dalam mempelajari gejala bunuh diri, dan dimaksudkan untuk memisahkan sosiologi dari arena psikologi dan filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial harus dinyatakan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa. Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni : struktur sosial dan pranata sosial. Paradigma ini memandang tindakan individu sebagai tindakan yang ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.
Eksemplar paradigma definisi sosial adalah karya Max Weber tentang ’tindakan sosial’. Weber tertarik pada makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakan mereka, dan tidak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang bersifat makro seperti struktur sosial dan pranata sosial. Bagi Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Paradigma ini secara pasti memandang individu sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri, sementara struktur dan pranata sosial hanya merupakan kerangka tempat proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung.
Paradigma perilaku sosial menetapkan pokok persoalan sosiologi adalah perilaku atau tingkahlaku dan kemungkinan perulangannya, serta memusatkan perhatiannya kepada hubungan saling pengaruh antara individu dan lingkungannya, atau dengan kata lain tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan. Pandangan ini lebih mengarahkan pendekatannya pada psikologi, dimana Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviourisme ke dalam sosiologi. Teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behaviour.
Pengetahuan tentang adanya tiga paradigma ini tidak berkaitan dengan penganutan dalam mempelajari konsep-konsep dan teori-teori sosiologi. Pada kenyataannya, sosiologi modern berkembang melampaui perbedaan-perbedaan ini. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan diri ke arah hubungan yang harmonis. Eksemplar pada suatu paradigma tertentu mendapat pengakuan dari hampir semua orang. Keseluruhan pendekatan teoritis dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang mendasar, meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi teoritis. Metode yang disukai oleh masing-masing paradigma jelas sekali saling terpaut dengan masing-masing paradigma. Menjadi jelas disini bahwa dalam mempelajari sosiologi dan melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi, seorang pelajar sosiologi harus memahami benar tentang keragaman konsep yang muncul, serta pendekatan-pendekatan yang nampaknya bertentangan, serta kemungkinan adanya perbedaan paradigma yang mungkin menjadi penyebabnya.
SUMBER BACAAN

Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta : Gramedia

Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia

Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali

Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI

Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004, Yogyakarta: CIRED

Asriwandari,Hesti. 2008,Multi paradigma dalam Sosiologi sebuah penantar, UNRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar