Senin, 26 Juli 2010

Muhammadiyah dan Sufisme

Muhammadiyah dan Sufisme
Di beberapa kesempatan, professor saya selalu bilang Sufisme tidak bakal mati. Meski puritanisme yang berkongsi dengan modernisme selalu berusaha memarginalkannya, ia selalu bisa hadir menerobos celah-celah kepenatan duniawi maupun ritual keagamaan yang terlalu formal dan “kering”. Kelenturannya beradaptasi dengan berbagai kondisi dan daya tahannya melintasi sekat-sekat aliran, kelompok, kelas sosial bahkan juga zaman merupakan nilai lebih mystical experience dalam Islam itu.

Muhammadiyah yang selama ini identik dengan organisasi Muslim kaum modernis berulang kali dinilai sebagai salah satu yang anti, atau setidaknya kurang ramah dan tidak apresiatif terhadap Sufisme (Howell 2001, 2004, 2007, 2008). Tampaknya, penilain ini berdasar pada: (1) Citra Modern Muhammadiyah, sementara kaum modern itu sendiri selalu melihat mystical experience bagian dari barrier yang menghambat kemajuan. Lebih kejam lagi, modernisme melekatkan mistisisme dengan keterbelakangan [backwards]. Penilaian Muhammadiyah sebagai gerakan yang mempelopori rasionalisasi pragmatik dalam Islam serta mengedepankan akal dan intelek sebagaimana diungkap Geerzt (1960) dan Peacok (1978) telah menempatkan Muhammadiyah itu by definition anti tasawuf yang dianggap expresi tradisionalisme; (2) karakter puritan Muhammadiyah yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) serta pendapat sebagian ulama yang memandang tasawuf adalah expresi keberagaam yang kurang autentik dalam Islam sebab rujukannya sulit ditemukan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung; dan (3) tidak satupun “organisasi” kaum Sufi atau Tarikat yang bernaung di bawah Muhammadiyah. Hal ini berbeda dengan, misalnya, Nahdhatul Ulama yang secara organisatoris “memayungi” kelompok-kelompok tarikat yang dinilai muktabar (diakui keabsahannya).

Selain tiga alasan tersebut, para peneliti gerakan modern dalam Islam juga mengalami kesulitan menemukan istilah tasawuf maupun tarikat dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, mengapa Muhammadiyah menghindari kata-kata tasawuf atau tarikat? Dugaan saya, karena Muhammadiyah itu terlanjur mendapat cap modernis, pembaharu, juga pemurni, maka ia atau para pimpinanannya merasa canggung untuk mengakomodasi tasawuf, bahkan sebagai istilah sekalipun, yang autentitas-nya masih dipertanyakan. Tengok misalnya tokoh kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, yang menulis buku Tasawuf Modern. Kata “modern” perlu ditambahkan di belakang tasawuf agar nilai-nilai bathini dan ‘irfani penyeimbang logika itu bisa diterima oleh masyarakat yang “modern”. Selain itu, sebagaimana ditegaskan dalam pengantar buku tersebut, Hamka berusaha mengembalikan tasawuf pada makna-nya yang asli: “membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan [menyingkirkan] segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang berlibih dari keperluan untuk kesentosaan diri” (1988: 5).

Bila tasawuf itu dimaknai dimensi batin expresi keberagaaman seorang Muslim, maka kata atau ungkapan yang equivalen dengan tasawuf yang sering muncul dalam dokumenn dan forum-forum Muhammadiyah adalah “ihsan” (dalam Kepribadian Muhammadiyah), “spiritual” (dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah butir 2), serta “spiritualitas” (dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam).

Muhammadiyah lebih memilih kata ihsan, sebab kata itulah yang secara explisit bisa dijumpai di salah satu hadits Nabi SAW yang mengupas Iman, Islam, dan Ihsan. Ihsan dalam hadist tersebut berarti An-ta’budullaaha kaannaka taraahu, fain-lam taraahu fa-innahu Yaraaka [engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jikapun engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu]. Konsep ihsan inilah yang lebih banyak dielaborasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ungkapan Ihsan kepada kemanusian dalam Kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan ibdah kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah dengan hablu minannaas. Dalam konteks “bertasawuf” ajaran zuhud, qonaah, sabar, tawakal dalam Muhammadiyah tidak bersifat pasif dan asketis yang hanya memuaskan dahaga spiritual individual namun harus juga berdimensi sosial. Sedangkan istilah spiritual digunakan dalam MKCH menegaskan bahwa Islam itu “menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi”.

Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun 1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program “spiritualisasi syariah” (Mulkhan 2003). Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan ‘irfani sebagai salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi 2 pendekatan yang sudah lazim: Bayani (deductive, berdasar explanasi text wahyu) dan Burhani (induktif, berdasar bukti-bukti empiris dan rasio). Pendekatan ‘irfani adalah “pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi”. Dalam tradisi Syiah, ‘rfani itu ‘jalan’ Sufi.

Jauh sebelum rumusan-rumusan organisasi di atas disusun, Kyai Dahlan telah menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam Sejati”, “akal suci” dan “Qur’an Suci” dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathinaih” di atas dalam penilain Munir Mulkhan (2003) merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.

Dalam keseharian, warga Muhammadiyah ternyata tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini. Riset lapangan Nakamura di Kota Gede awal tahun 1970an menemukan unsur-unsur Sufi di kalangan aktivis dan pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan nafsu muthmainah, serta usaha membentuk pribadi yang ikhlash dan ber-akhlak terpuji (Nakamura, 1980). Saat ini pun banyak warga Muhammadiyah yang merindukan hal-hal yang bernuansa inner experience. Hal ini bisa dibaca dari tingginya permintaan baik secara personal maupun atas nama Amal Usaha Muhammadiyah terhadap training-training yang mengesplorasi pengalaman spiritual (ESQ, HI, Pelatihan Sholat Khusuk, dll).

Ketika pasar spiritualitas Indonesia baru naik daun dan muncul dalam berbagai penerbitan, musik, forum-forum neo-Sufisme dan majelis-majleis zikir, Muhammadiyah juga tidak sepenuhnya absent. Salah satu tokoh zikir akbar yang sering tampil di TV bahkan secara ‘geneologis’ berasal dari keluarga dan pernah sekolah di sekolah Muhammadiyah. Ketua umum PP Muhammadiyah sempat beberapa kali mengikuti zikir akbar, meski belakangan muncul ‘protes’ dari pihak-pihak yang sangat puritan. Namun perlu dicatat, generasi-generasi post-puritan yang tidak kaku dan akrab dengan wacana-wacana post modernisme dan post-tradisionalisme mulai bemunculan dalam Muhammadiyah. Generasi post-puritanisme ini cenderung tidak canggung bergumul dengan dimensi esoteris dalam Islam.

Lantas, benarkah Muhammadiyah anti Sufisme? Bisa ya bisa tidak. Saya cenderung mengatakan Muhammadiyan tidak anti Tasawuf/Sufisme tapi menolak tarikat. Tasawuf tidak sama dengan tarikat. Tasawuf adalah “isi-nya” sedangkan tarikat itu “wadahnya”; tasawuf itu kualitas yang ingin dicapai sementara tarikat (thariqah) itu jalan untuk mencapai-nya. Lalu, apa hubungannya antara wadah dengan isi, atau kualitas dengan jalan? Sebagian kalangan berpendapat keduanya menyatu dan tidak bisa dipisahkan, karena itu untuk menjadi sufi harus melalui tarekat. Yang lain berargumen tarikat bukan satu-satunya jalan meraih kualitas sufistik. Lagi pula organisasi tarikat itu sendiri muncul jauh setelah Rasulullah wafat.

Sampai sini, klaim yang menyebut Muhammadiyah itu “kering” dan anti atau bahkan memusuhi Sufisme perlu ditinjau ulang. Hanya karena tidak aktif mempopulerkan istilah tasawuf dan tidak memberi ruang tarikat bukan berarti organisasi yang hampir satu abad usianya itu menolak dimensi esoteris dalam Islam itu. Muhammadiyah, saya kira, hanya ingin ke-ber-Islaman warganya berlangsung secara imbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar