Kamis, 18 November 2010

Perbedaan Jatuhnya Idul Adha Bisa Diakibatkan Penggunaan Kalender Bizonal

Upaya umat Islam memiliki kalender komprehensif dan berlaku menyeluruh secara internasional masih terus dilakukan, karena selama ini yang ada merupakan kalender yang hanya cocok bagi daerah di mana kalender itu dibuat. Akibatnya, Dunia Islam sering semacam kekacauan pengorganisasian waktu, tampak pada Hari Raya Idul Fitri tahun 1428 H, misalnya, yang jatuh pada hari yang bervariasi sejak dari hari Kamis, Jumat, Sabtu hingga hari Ahad.

Namun, kalender yang diusulkan oleh para pakar falak ternyata masih mengandung kelemahan. Menurut seorang pakar dari Maroko yaitu Dr. Jamaludin Abdurrazik tiga usulan kalender yaitu Kalender Qosum, Audah dan Al Qudah yang ketiganya membagi dunia menjadi Zona Barat dan Zona Timur ternyata memberi peluang umat Islam di Zona Barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah pada hari terjadinya wukuf di Arafah, demikian diungkapkan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 2005-2010, Prof. Dr. Syamsul Anwar dalam tulisan mengenai hasil korespondensi dengan Jamaludin Abdurrazik menjelang Idul Adha 1430 H / 2009 M yang lalu yang bisa di download di website ini, Selasa (20/07/2010). (KORESPONDENSI KALENDER HIJRIAH INTERNASIONAL: DARI JAMALUDDIN KEPADA SYAMSUL ANWAR ).

Menurut Jamaluddin, fenomena jatuhnya tanggal 9 Zulhijah di Mekah yang merupakan hari wukuf di Arafah bersamaan dengan tanggal 10 Zulhijah di Zona Barat yang merupakan hari Iduladha disebabkan karakter dwizonal dari kalender-kalender tersebut membuat kita mempertanyakan efektifitas kalender dwizonal, yang juga menyebabkan umat Islam di Zona Barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah pada hari terjadinya wukuf di Arafah. Menurut Jamalludin dalam kurun waktu 20 tahun dari 1431-1450 H kemungkinan terjadinya sebagai berikut :

* Dalam kalender Qasum ditemukan 11 kasus, dengan prosentase 55 %,
* Dalam kalender ‘Audah ditemukan 8 kasus, dengan prosentase 40 %,
* Dalam kalender al-Qudah ditemukan 11 kasus, dengan prosentase 55 %.

Sehingga menurut Jamalludin, mengingat sangat pentingnya kedudukan puasa Arafah itu dalam pandangan kaum Muslimin, ini merupakan alasan untuk menyatakan ketidakvalidan sistem kalender dwizonal.

Menurut makalah Prof. Syamsul sebelumnya yang berjudul “Perkembangan Pemikiran Islam Tentang Kalender InternasionalPerkembangan Pemikiran Islam Tentang Kalender Internasional” (2008), Kalender Qosum sendiri merupakan usulan Dr. Nidal Qosum (1997), Kalender Audah usulan Ir. Muhammad Syaukat Audah dari Uni Emirat Arab (2001) dan Kalender Al -Qudah usulan Prof. Dr. Syaraf Al Qudah dari Yordania (1999).

ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) pada tahun 2008 melakukan uji validitas usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.

Dr. Jamaludin Abdurrazik sendiri merupakan tokoh yang mengusulkan kalender Qomariyah (Hijriyah) Unifikasi yang tidak membagi dunia menjadi Zona-Zona. Tiga usulan Jamaludin, Pertama : Penggunaan Prinsip Hisab karena tidak mungkin dibuat kalender berdasar Rukyat, Penolakan terhadap hisab berarti pembubaran seluruh upaya penyusunan kalender. Kedua : prinsip transfer rukyat, yaitu apabila terjadi rukyat di kawasan ujung barat (hilal semakin ke barat semakin mudah dirukyat), maka rukyat itu ditransfer ke timur untuk diberlakukan bagi kawasan ujung timur. Ketiga : permulaan hari yang dimulai sejak tengah malam, bukan Maghrib atau fajar, dan diulai di garis bujur 180ยบ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar