Kamis, 18 November 2010

Muhammadiyah dan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah (Wacana Pengunggulan Hisab di atas Rukyat)

Muhammadiyah dan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriyah (Wacana Pengunggulan Hisab di atas Rukyat)

Oleh: Muhammad Rofiq, Lc.

Berkenaan dengan konsep penentuan awal bulan hijriyah, telah berlaku beberapa kali revisi dalam metode yang digunakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah Bab Puasa disebutkan sebuah kaidah; "al-shaumu wa'l fitru bil rukyah, wa lâ mânia bil hisâb" (Puasa dan berbuka dengan cara rukyah, akan tetapi tidak masalah jika menggunakan hisab). Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa pada awalnya Muhammadiyah lebih menggunakan rukyah sebagai metode dalam penentuan awal bulan hijriyah, sekalipun saat itu hisab tidaklah diharamkan. Namun seiring dengan perkembangan waktu yang dibarengi dengan perkembangan teknologi, Muhammadiyah pun merubah konsep tersebut. Pada Munas Tarjih tahun 2000 di Jakarta muncul kecendrungan yang lebih mengakomodir hisab secara lebih jauh sehingga lahirlah keputusan tarjih yang meletakkan hisab sejajar dengan rukyah. Muhammadiyah dengan semangat pembaharuan (tajdid) nya meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu wasîlah yang bisa digunakan untuk beribadah, sehingga dimensi normatif dari nash-nash al-Quran bisa selalu dikaitkan dengan dimensi ideal peradaban manusia.

Dalam tataran teoritis Muhammadiyah memang meletakkan hisab dan rukyah secara sejajar. Hanya saja dalam wilayah praksis, Muhammadiyah memandang bahwa hisab sudah cukup mewakili sehingga rukyah jarang sekali dipraktekkan. Dalam pandangan Muhammadiyah penentuan awal bulan hijriyah masuk ke domain aktivitas ta'aquliy, sehingga otomatis rukyah bukanlah ibadah. Dalam ranah pemikiran hadist ada klasifikasi al-sunnah al-tasyri'iyah dan al-sunnah ghairu tasyriiyah. Tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan si semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Ada sunnah yang ta'abudi dan sunnah yang taaqquli. Dalam konteks hadist tentang rukyah, perintah tersebut harus dipahami illah (kausa hukum) nya. Dalam hal ini yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan 'al-hukmu yadûru ma'a 'illaitihi wujûdan wa 'adaman. Bahwa saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah baru lah rukyah. Penafsiran ini bisa dihubungkan dengan hadist lain; 'innâ ummatun ummiyah, lâ naktub wa lâ nahsub.

Saya tertarik dengan tulisan Pak Susiknan Azhari dalam bukunya "Hisab dan Rukyat, Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan" yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Pak Susiknan membaca perintah rukyah yang tertuang dalam banyak hadis dengan menggunakan pendekatan hermeutis (sayang yang dikutip adalah hermeneutika Gadamer yang orang Barat). Berkenaan dengan pendekatan hermeneutis ini ia mengatakan; "Merekonstruksi makna rukyat perlu melibatkan aspek sosio-kultural sehingga bila terjadi shifting paradigm dalam menfsirkan makna rukyat tidak perlu dirisaukan." Pak Susiknan menyimpulkan bahwa perintah rukyah yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu. Tulis Pak Siknan: "Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian melihat dengan mata telanjang lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris." Di paragraph selanjutnya; "Pada masyarakat petani, fenomena alam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya." Maka ketika zaman berubah, capaian manusia dalam bidang teknologi juga terus bergulir, mau tidak mau hisab haruslah digunakan.

Kecendrungan untuk meletakkan hisab lebih tinggi dari rukyah dalam Muhammadiyah sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari. Namun belakangan kecendrungan ini semakin menguat melalui terbitnya buku terbaru ketua Majelis Tarjih dan Tajdid yang berjudul "Hisab Awal Bulan Kamariyah Perspektif Muhammadiyah" yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Di samping karena hisab itu sudah sangat qathiy (disebut 'sudah' karena pernah tidak qathiy), juga karena berdasarkan prinsip dalil-dalil syari, hisab memang lebih kuat dari pada rukyah. Pak Syamsul dalam buku nya tersebut mengutip penelitian yang dibuat oleh dua orang ahli hadis terkemuka; Syaikh al-Ghumariy dan Syaraf al-Qudah, yang menyebutkan bahwa hadis nabi yang berisikan perintah untuk menentukan awal bulan hijriyah asalnya adalah dengan hisab (al-ashlu fi istbâti awal al-syahr an yakûna bi'l hisâb).

Keberanian Muhammadiyah untuk memegang konsep ini sebenarnya tergolong revolusioner karena di beberapa negara arab sendiri kecendrungannya masih bermacam-macam. Arab Saudi sampai detik ini masih berjuang untuk terlepas dari kungkungan konservatisme dan skriptualisme. Mesir baru sampai kaidah "al-hisâb al-daqîq lâ yata'ârad ma'a al-ruqyah al-sahihah". Beberapa intelektual Islam, semisal Yusuf Qardlawi, Mustafa Zarqa dan Rasyid Ridha, yang tulisannya diterjemahkan oleh Pak Syamsul, juga baru secara dhimniyyan (implisit) mengatakan bahwa hisab adalah wasilah pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah. Dengan mengambil sikap seperti ini Muhammadiyah berarti telah jauh melampaui yang lainnya. Bagi saya sendiri sekarang bukan lagi perdebatan kita tentang apakah kita menggunakan hisab atau rukyat, karena perkara itu terlalu jelas dan tidak up to date. Hisab terlalu pasti (qathiy) untuk ditolak; qathiy min haistu ad-dalil al-syari (dari segi dalil syari) wa min haistu natijah (dari segi konklusi matematis). Sekarang perdebatan-nya sudah masuk ke wilayah manakah di antara dua sarana itu yang pokok dan yang komplementer.

Saya sendiri, entah terpengaruh oleh gen saya yang Muhammadiyah, merasa bahwa konsep hisab adalah pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah sudah sangat ideal. Ada beberapa alasan yang melatarinya:

Pertama, bagi saya, penggunaan hisab bisa dikatakan lebih 'nyunnah' dari pada penggunakan rukyat. Perintah rukyat hanya termaktub dalam hadis nabi dan tidak ada dalam al-Quran. Sebaliknya, hisab diperintahkan langsung melalui al-Quran dan hadis. Di satu sisi ini membuktikan bahwa rukyah bukanlah segala-galanya, karena ia bagian dari wasilah yang bisa berubah sesuai dengan ruang dan waktu, dan di sisi lain membuktikan bahwa hisab lah yang sebenarnya lebih cocok dengan prinsip Islam yang menghormati ilmu pengetahuan. Dalam al-Quran surat al-Rahman ayat 5 disebutkan: al-Syamsu wal Qamaru bi husbân (matahari dan bulan bisa dihitung). Ayat ini bukan hanya pernyataan deklaratif saja (khabar), karena tanpa keterangan ilahi pun manusia akan tahu bahwa kedua benda langit itu bisa dihisab. Ayat ini mengandung pesan imperatif (thalab insyai) bahwa hendaknya posisi bulan dan matahari dihitung dan hendaknya hasil perhitungan itu dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dalam berakifitas. Jika kita membaca pesan-pesan al-Quran dengan seksama, terdapat banyak ayat yang berisi penekanan arti penting pengorganisasian waktu secara keseluruhanan.

Dengan mendahulukan hisab, bukan berarti saya menyingkirkan rukyah sebagai sebuah metode penentuan awal bulan hijriyah. Saya sepakat hisab harus dibuktikan kevalidannya melalui rukyah. Oleh karena itu rukyah harus terus dilakukan dan tidak boleh disingkirkan begitu saja. Jadi ini hanya masalah mana yang ashl (pokok) dan mana yang far' (cabang). Masing-masing punya konsekwensi. Jika hisab adalah ashl (pokok) maka implikasinya adalah kita bisa membuat keputusan masuknya waktu puasa, idul adha, idul fitri sejak jauh-jauh hari. Makalah alasan kedua adalah untuk efektifitas dan efesiensi. Dengan menggunakan hisab kita bisa membuat kalender Islam global. Kita bisa lebih futuristik (berpandangan jauh ke depan) dalam membuat keputusan. Kita lebih bisa rapi. Tulis Pak Syamsul: "Ketiadaan kalender komprehensif dan terunifikasi di kalangan umat Islam menyebabkan dunia Islam mengalami semacam kekacauan pengorganisasian waktu. Hal ini tampak sekali dalam kenyataan bahwa untuk hari raya idul fitri atau idul adha misalnya terjadi perbedaan yang mencapai empat hari." Sebaliknya, jika kita terus menggunakan kaedah ashl-nya adalah rukyah, sementara hisab hanya membantu, maka selamanya kita akan menetapkan hari raya pada setiap tanggal 29 Syakban, Ramadhan dan Dzulkaedah. Selama nya kita akan melakukan pembodohan umat (saya jadi teringat dengan kasus lebaran tahun 2008 ini di mana jelas hilal tidak terlihat tapi rukyat masih dilakukan). Selamanya kita tidak bisa memenej masa depan.

Sebagian kalangan memang masih bersih keras menggunakan rukyah sebagai sarana pokok untuk menentukan masuknya awal bulan hijriyah. Dalil-dalil yang digunakan masih cenderung normatif dan tidak terlalu melibatkan logika astronomi. Hanya saja yang saya sering herankan adalah kelompok-kelompok ini sekalipun menolak hisab untuk menentukan awal puasa, lebaran dan haji, tapi masih tetap bersedia menggunakan dan menerima hasil perhitungan pada ibadah-ibadah lain semisal penentuan arah kiblat dan masuknya waktu salat. Jadi ada semacam ambivalensi dalam memahami nash dan logika astronomi. Benarkah keduanya tidak bisa didamaikan dan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika kita bersedia salat sesuai dengan jadwal yang diperoleh dari hasil dari perhitungan (hisab), tapi enggan puasa dengan hisab, kita sesungguhnya bisa dimasukan pada golongan yang dikecam al-Quran karena bersikap ambivalen. 'Afatukminuna bi ba'dhil kitâbi wa takfurûna bi ba'dh: al-Baqarah 85.

Kalangan yang menolak klaim rasionalitas (aqliyatu) hisab dan rukyah menganalogikan (mengqiyaskan) hisab dengan rukyah di mana kedua-duanya adalah perbuatan ibadah yang harus diikuti sebagaimana perintah itu diturukan dan dipraktekkan oleh nabi. Menurut hemat saya, analogi rukyah dengan mencium hajar aswad adalah QIYAS MAAL FARIQ. Apa illah-nya dari analogi ini sehingga dua perkara itu bisa dikaitkan (ilhaq) satu sama lain, lalu kemudian memunculkan satu hukum yang sama? Kita harus ingat bahwa dalam qiyas ada entitas yang bernama al-ashl, al-far'u, al-illah dan al-hukm. Dan, menentukan illah pun juga tidak sembarangan, karena ada proses pengecekan lagi berupa penelitian empirik pada al-ashl dan al-faru yang sama-sama perkara juziy. Harus tidak boleh dilupakan juga bahwa karakter qiyas ushul fikih berbeda dengan qiyas Aristotles (iqtirâni) yang mengandalkan aksiomatika akal (dlarurah 'aqliyyah) sehingga pengecekan 'illah melalui metode induktif menjadi tidak penting lagi. Jika al-ashl-nya adalah mencium hajar aswad dan al-far'u-nya adalah rukyatul hilal, maka sekali lagi, apa illah nya sehingga dua kasus ini bisa dianalaogikan?

Bagi saya, yang benar justru sebaliknya bahwa mencium hajar aswad jelas ibadah, dan rukyah bukan bagian dari ibadah. Mencium hajar aswad ibadah dan oleh karenanya masuk ke ranah al-tsawabit (konstan) selain karena dikuatkan secara eksplisit oleh hadis Umar juga karena ia bukanlah wasilah (perantara, sarana) untuk melakukan apapun. Jadi ibadahnya terletak pada mencium itu sendiri. Sementara rukyah adalah wasilah yang jelas bisa berubah-rubah (mutaghyyirat). Kata Syatibi, kaidahnya; al-ashlu fi al-ibâdat al-ta'abud dûna al-iltifât ilal ma'âni, wa al-ashlu fil-âdat al-iltifât ilal ma'âni.

Kembali ke tema utama. Saya sepenuhnya meyakini bahwa dalam membuat sebuah keputusan Muhammadiyah harus bijak sekaligus cerdas membaca realitas masyarakat. Kelompok-kelompok lain memang masih cukup konsisten bertahan dengan konsep rukyah-nya. Menghadapi kelompok seperti ini Muhammadiyah harus dewasa, tidak merasa benar sendiri, semena-mena hingga akhirnya menyakiti kelompok lain. Sebab perbedaan adalah sunnatullah. Perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriyah ini ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah: 1) faktor nash yang kadang tak jarang multiinterpretatif, 2) metode interaksi dengan nash tersebut, 3) paradigma memandang sains. Begitu juga dengan pihak lainnya, hendaknya sama-sama arif menyikapi perbedaan. Sikap yang harus dikedepankan adalah toleransi dan dialog, bukan eklustifas-non ilmiah yang mengikis silaturahmi. Muhammadiyah harus menyadari bahwa dalam membuat satu produk hukum memang harus memperhatikan kondisi dan situasi cara berfikir dan adat istiadat masyarakat. Perlu skema tadarruj (evoutif dan gradual). Mahlan, mahlan, karena syariah itu fleksibel. Saat ini barangkali memang akan terkesan terlalu radikal jika Muhammadiyah memaksakan ide pentingnya meletakkan hisab sebagai sarana pokok dalam penentuan awal bulan hijriyah. Tapi saya juga yakin ini adalah kepastian sejarah. Kita tinggal menunggu tanggal mainnya. Wallahu A'lam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar