Minggu, Mei 03, 2009
SEANDAINYA KARTINI TAK MATI MUDA*
Perempuan…adalah sebuah tema yang tak akan pernah habis di perbincangkan. Banyak aspek yang dapat disoroti dari mahluk yang sering disebut sebagai kaum hawa ini. Dari mulai kesetaraan, pengarus utamaan, peran ganda, hingga diskriminasi dan marginalisasi yang banyak dialami oleh kaum hawa ini. Akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut terhenti sampai pada tataran pemikiran dan isu. Belum banyak yang mau take action menanggapi isu-isu perempuan ini, kecuali beberapa gelintir orang (pun orang kota) yang aktif dalam berbagai lembaga yang khusus mengusung isu-isu perempuan. Seperti halnya saya sendiri. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya belum bertindak banyak terkait isu-isu pengarusutamaan gender, dan hanya dalam tataran pemikiran dan sedikit tulisan.
Berbicara perjuangan perempuan, tak lepas dari perbincangan mengenai perjuangan-perjuangan dari salah satu tokoh pahlawan nasional, Kartini, yang dianggap sebagai pahlawan pembela nasib kaumnya. Yah, Kartini adalah seorang yang peka dan prihatin atas kondisi ketertekanannya di dalam tembok-tembok pingitan dalam penjara kabupaten yang menyekapnya selama bertahun-tahun. Dari pengalamannya itu dia tulislah segala perasaan-perasaan ketertekanannya itu. Ternyata tulisan-tulisannya bukan hanya berlaku pada zamannya saja, akan tetapi hingga kini, dan masa yang akan datang, tulisan-tulisan Kartini masihlah sangat relevan. Selain itu sosok Kartini banyak mendapat sorotan, bukan hanya dari dalam negeri saja, bahkan dari luar negeri, khususnya Belanda. Mereka memberikan apresiasi atas apa yang ditulis Kartini dalam surat-suratnya. Bahkan di Belanda, di sebuah museum yang bernama Tropen Museum, terdapat satu ruang khusus yang berisi segala sesuatu tentang Kartini. Disana terdapat miniatur-miniatur dan patung-patung saat Kartini melakukan aktivitasnya seperti menjahit, manulis, dan sebagainya. Terdapat pula miniatur tempat saat Kartini mengajar di sekolah yang didirikannya bersama adiknya. Selain itu masih banyak lagi yang berhubungan dengan Kartini. Pokoknya dalam ruangan itu : all about Kartini.
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Kabupaten Jepara, kemudian sekolah Belanda di Jepara. Saat bersekolah itulah Kartini merasakan kebebasan, hingga pada usia duabelas tahun tiba-tiba dipaksa dipingit. Walaupun sahabat-sahabat Kartini yang orang Belanda berusaha agar Kartini jangan sampai dipingit, tetapi sia-sia sajalah. Karena orang tua Kartini sangat erat memegang adat memingit, meskipun dalam hal lain sudah maju, bahkan sebenarnya keluarga termaju di pulau Jawa saat itu.¹ selama empat tahun Kartini tidak boleh keluar sama sekali. Setelah itu barulah Kartini dibebaskan, bahkan diizinkan untuk pergi keluar tempat tinggalnya. Dan banyak orang yang mencelanya, karena dianggap bahwa anak gadis Jawa ialah menurut saja, Cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak dikenalnya. ². Betapa saat itu perempuan hanyalah dianggap sebagai mahluk yang tak berkehendak saja. Kondisi itulah yang kemudian mendorong pemberontakan-pemberontakan Kartini yang dituangkan dalam bentuk surat-surat yang dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya, yang orang Belanda. Sebenarnya ada beberapa kawan Kartini dari Belanda. Pada awalnya Kartini berkenalan dengan nyonya Ovink-Soer, dan menjadi tempat berlindungnya, sehingga disebutnya sebagai Ibu. Hingga akhirnya sebelum akhir tahun 1899 nyonya Ovink-Soer pindah ke Jombang ikut suaminya. Selain itu, Kartini juga rajin berkirim surat kepada nona estele Zeehandelaar, yang tinggal di Belanda. Hingga pada tanggal 8 agustus 1900 kartini berkenalan dengan Mr. Abendanon dan istrinya, yang lambat laun menjadi pengganti dari nyonya Ovink-Soer. Seadangkan pada tahun 1902 Kartini berkenalan dengan Tuan Van Kol dan istrinya (Neile). Mereka setuju atas cita-cita Kartini yang sangat ingin melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda. Akan tetapi atas nasehat dari Mr. Abendanon, yaitu Kartini tidak usah pergi ke Belanda karena akan merugikan cita-citanya saja, dan Kartini menyetujui nasehat dari Mr. abendanon itu, maka urunglah niat Kartini belajar ke negeri Belanda. Akan tetapi semangat Kartini memperjuangkan hak-hak kaumnya tidaklah surut. Kemudian Mr. Abendanon mengusulkan kepada pemerintah agar Kartini dikirim ke Betawi untuk belajar menjadi guru. Dan sejak saat itu Kartini yang bekerjasama dengan adiknya mulai mendirikan sekolah, pun atas nasihat dari Mr. Abendanon. Akan tetapi usulan Mr. Abendanon tersebut ditolak oleh pemerintah, dikarenakan Kartini akan menikah. Dan pada tanggal 8 November 1903 Kartinipun Dinikahkan. Pada tanggal 13 September 1904 anaknya lahir laki-laki, empat hari kemudian pada tanggal 17 September 1904 Kartini pun meninggal.³
Satu hal yang sampai sekarang saya sesalkan adalah mengapa kartini mati dalam usia yang sangat muda? Dalam usia yang pada kurva normal perkembangan produktivitas manusia berada dalam posisi puncak? Ah, seandainya Kartini dapat hidup lebih lama lagi, tentu akan lebih banyak lagi hal-hal yang dapat dikreasikan oleh anak dari seorang (laki-laki) bupati yang berpoligami. Yah, ayah Kartini adalah Bupati Jepara, keturunan bangsawan, priyayi. Sedangkan ibu Kartini adalah seorang biasa, orang-orang kebanyakan, yang menjadi selir dari bupati Jepara saat itu. Akan tetapi Kartini sungguh sangat menentang kondisi budaya yang semacam itu, dan dalam salah satu kutipan suratnya kepada Stella, Kartini menggambarkan dengan getir betapa dia memilih kata-kata yang keras untuk melukiskan sikapnya terhadap perkawinan yang semacam itu : “aku sendiri membenci, menganggap rendah”, dan ia ingin “mengubah keadaan yang tak tertahankan ini”4. Akan tetapi kondisi budaya pada saat itu sangatlah kental, bahkan dianggap tabu, tidak sopan, dan pendeskriditan lainnya terhadap seseorang (khususnya) perempuan yang melawan tradisi, bahkan hanya dalam pemikirannya saja.
Keteguhan jiwa Kartini sungguh kuat. Belum ada seorang wanita pada zamannya yang berani menuangkan pemikiran-pemikirannya akan pertentangan dengan kultur Jawa, apalagi anak dari seorang bupati, kecuali Kartini. Dengan jaringan yang dia miliki, yaitu dia dapat berkirim surat kepada sahabat penanya di Belanda, Stella Zehandeelaar, Kartini memilih untuk melawan arus, tidak pasrah begitu saja pada nasibnya yang buta. Sungguh besar tekad dan semangat perjuangan Kartini, pantang menyerah dan memberikan inspirasi bagi yang membacanya. Seperti yang diungkapkannya dalam suratnya kepada Stella : “…..aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat; stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan ia padam. Buatlah aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas. Terima kasih Stella atas dukunganmu. Kuharap apa yang kau iyakan itu bisa menjadi kenyataan. Kamu tahu apa moto hidupku? ‘aku mau’. Dan kedua kata sederhan ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. ‘aku tidak mampu’ berarti menyerah. ‘aku mau!’ mendaki gunung itu. (pada dirinya sendiri dia berkata) Kartini, janganlah berkata aku tidak bisa, katakan aku mau!” pada kesempatan lain kepada Stella dia juga berkata : “aku mau, aku akan mencobanya…. Aku melakukan yang terbaik yang aku bisa.”5 Semangat perjuangannya serta keberanian dari Kartini juga tercermin dalam kutipan dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu : “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” (Kartini via Pramoedya Ananta Toer).6. Keberaniannya itulah yang menjadi modal dasar Kartini dalam perjuangannya. Tanpa keberanian, Kartini tak akan mapu untuk melakukan perjuangan-perjuangannya melalui tulisan-tulisannya dan berbagai usahanya meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan.
Ah, Kartini, mungkin Tuhan sayang kepada engkau, sehingga Dia cepat memanggilmu. Tapi tahukah engkau Kartini? Betapa kami semua masih sangat membutuhkanmu, membutuhkan semangat-semangat perjuanganmu, membutuhkan pemikiran-pemikiran cemerlangmu. Rasanya, ingin kuulang waktu, ingin aku hidup pada zamanmu, agar aku dapat bertemu dengan engkau. Tapi kamu anak seorang bupati, berdarah biru, sedangkan aku ini hanya seorang rakyat biasa. Heh, bangkali juga kalau aku hidup pada zamanmu aku tak bisa bertemu denganmu, karena kita beda. Budaya kitalah yang membuat perbedaan-perbedaan semacam itu. Dan tahukah engkau Kartini? Walaupun sudah seabad lebih kau tinggalkan dunia ini, rasanya masih saja banyak diskriminasi terhadap kaum kita ini, dan anehnya lagi, mereka (perempuan) mau saja diperlakukan (dan memperlakukan diri) seperti itu. Masih banyak penindasan-penindasan pada perempuan ini. Tolong, walau hanya dalam mimpi, bisikkan kata-kata darimu untuk membimbingku, dan menghembuskan ruh-ruh perjuanganmu kepadaku, agar aku dapat melanjutkan apa yang telah kau korbankan selama ini. Walaupun selama ini aku hanya mengenalmu lewat tulisan-tulisan orang tentangmu, lewat lagu yang diciptakan khusus untukmu, lewat doktrinasi dari guru-guru kami saat kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tapi rasa-rasanya aku sungguh mengenalmu. Sorot matamu dalam foto-fotomu, yang sudah agak buram karena sudah dicetak beberapa kali, dan termakan oleh zaman, menyiratkan kelembutan dan keteduhan, tapi juga terpancar kekuatan dan keteguhan hatimu disana. Seandainya engkau diberi kesempatan lebih lama lagi menjadi ibu, pastilah anakmu itu sangat bahagia dalam buaian kasih sayangmu. Tapi sayang sekali hanya empat hari engkau menjadi seorang ibu. Walau begitu, engkaulah tetap menjadi ibu dari kami semua, dari kami yang sekarang menikmati perjuanganmu dulu… Oh, Kartini betapa engkau perempuan pemberani, betapa engkau rela berkorban untuk kami, betapa harum namamu…..
Foot note:
- Habis Gelap Terbitlah Terang (Armijn Pane)
- Ibid
- Ibid
- Aku mau : Feminisme dan Nasionalisme (surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar)
- Ibid
- Panggil Aku Kartini Saja (Pramoedya ananta Toer)
Daftar Pustaka
Pane, Armijn. 2000. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.
Yulianto, Vissia Ita (alih bahasa) & Mohamad, Goenawan (Kata Prngantar). 2004. Aku Mau…Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. Jakarta : irb press.
Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lenter Dipantara.
Keesing, Elisabeth. 1999. Betapa besar Pun sebuah Sangkar. Hidup, Suratan dan Karya Kartini. Jakarta : Djamban dan KITLV.
Jakarta, 03 Mei 2009
*N. A. El Insiyati , seorang perempuan biasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar