KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA
Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage
Oleh:
Etty Saringendyanti
Makalah Hasil Penelitian
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi:
Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda
Oleh : Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
NIP. 131573160
Evaluator,
H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum. Dr. Wahya,
M.Hum.
NIP. 131472326 NIP. 131832049
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah,
Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum.
NIP 132102926
2
KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA
Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology: Meaningly of
the Sundanese Culture Heritage
Oleh:
Etty Saringendyanti1
ABSTRAK
Penelitian “Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi: Upaya Memaknai
Warisan Budaya Sunda”, membahas masalah kosmologi yang tertuang di dalam
mitologi masyarakat Kampung Naga yang tinggal di desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
arkeologi khususnya arkeologi kognitif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi
dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang
berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun
ajaran Islam. Mitologi itu tersirat dari mitos, ritual (upacara adat), dan seni tradisi.
Mitos diperoleh dari cerita lisan tentang asal usul Kampung Naga, serta mitos ruang
dan waktu. Ritual digambarkan dalam Upacara Hajat Sasih, Nyepi, Panen, dan
upacara lingkaran hidup (life cyrcle) berupa upacara gusaran dan perkawinan. Dalam
pada itu, seni tradisi yang masih dapat disaksikan di Kampung Naga adalah terbang
gembrung, angklung, serta beluk dan rengkong.
Kata Kunci: Kampung Naga, Kosmologi, Mitologi
1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Satra Universitas Padjadjaran,
Bandung.
3
ABSTRACT
The research of “Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage,” describe about cosmology matter
that involved in the mythology of Kampung Naga society that live at Neglasari
Village, Salawu District, Tasikmalaya Regency. The method that used on this
research is archaeology method, especially cognitive archaeology.
The result of this research obtained that Sundanese cosmology that involved in
mythology and space structuring of Kampung Naga was a shape of acculturation
from local minded which originated from the prehistoric times, especially megalitic
tradition, Hindu, Budha, and even Islam. The mythology implied from myth, ritual,
and tradition art. The Myths is obtained from oral story about the origin of Kampung
Naga; and the myth of spacial and time. The ritual described in Hajat Sasih, Nyepi,
Panen, and life cyrcle that still witnessed is gusaran and wedding ceremonial.
Afterwards, tradition art that still live in Kampung Naga is terbang gembrung,
angklung, beluk and rengkong.
Key Word: Kampung Naga, Cosmology, Mythology:
4
PENDAHULUAN
Warisan budaya bangsa Indonesia, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik
berupa artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam
masyarakat adat sudah selayaknya diapresiasi oleh peneliti lokal agar lebih mampu
menghayati makna warisan budaya tersebut. Bagaimanapun, warisan budaya
memiliki daya tarik sebagai komoditi wisaya budaya atau heritage tourism.
Pemberian makna kepada berbagai bentuk warisan budaya adalah suatu upaya
pemahaman terhadap bagaimana masyarakat masa lalu memandang dan
memperlakukan tradisi leluhur. Dalam teori kebudayaan yang menyatakan bahwa
kebudayaan itu berada di antara warga masyarakat, merupakan pandangan semiotika.
Benda-benda hasil kebudayaan dan acuannya berada di luar interpretan (interpretant)
atau “pembaca”.2 Semiotika dalam arkeologi merupakan salah satu kajian arkeologi
kognitif, yang mengkaji sistem simbol dari suatu masyarakat melalui artefak. Salah
satu warisan budaya Sunda, yang tersimpan dalam pemukiman adat di Tatar Sunda
adalah Kampung Naga di desa Ne glasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya.
Dari latar belakang sejarahnya, masyarakat adat Kampung Naga mengaku
keturunan dari Eyang Singaparna, pewaris terakhir tahta Kerajaan Galunggung3 yang
beragama Islam. Namun bila dilihat dari tata cara mereka melakukan ritual agama,
2 Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam Meretas
Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat.
Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 32.
3 Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.176-177.
5
yang lebih sarat dengan kehindu-budhaannya, dan seni tradisi yang masih
berkembang di kampung itu, sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Paling sedikit
dalam dua kontribusi penelitian, yaitu :
1. Sebagai referensi bagi peneliti lain dalam menafsirkan sistem simbol, khususnya
pengkajian mitologi pada masyarakat Sunda di wilayah lain;
2. Pengembangan studi arkeologi, terutama agar tidak lagi terpaku pada karya
arkeologi yang bersifat konvensional, melainkan juga kajian-kajian lain yang
cukup menentukan perjalanan budaya bangsa Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengacu pada penelitian arkeologi, khususnya arkeologi
kognitif. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau dengan tujuan
untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara hidup manusia, dan
merekonstruksi proses budaya.4 Sementara arkeologi kognitif adalah cabang disiplin
arkeologi yang berusaha mempelajari dan menggunakan sistem simbol untuk
menangani masalah-masalah arkeologi.5 Untuk mencapai tujuan itu, da lam
implementasi di lapangan, arkeologi menggunakan berbagai tahapan dimulai dari
observasi, deskripsi dan akhirnya eksplanasi.
Observasi merupakan proses pencarian dan pengumpulan data, baik data
tertulis maupun data lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan
data tertulis dilakukan pada sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder,
4 Binford, L.R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press, hlm 78-89.
5 Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press, hlm. 143.
6
berupa arsip, artikel, dan buku-buku. Data lapangan diperoleh melalui survei di
Kampung Naga, berupa perekaman mitologi dan tata ruang Kampung Naga melalui
pendekatan terhadap masyarakat adat Kampung Naga.
Sumber-sumber yang dikumpulkan itu, diidentifikasi dan diolah melalui
tahapan deskripsi. Dalam kajian arkeologi kognitif penelitian dilakukan melalui pola
penalaran induktif yang menghasilkan gambaran adanya kemungkinan persamaan
antara gejala budaya masa lampau dengan budaya masa kini. Artefak yang bertahan
hingga kini merupakan tanda dari acuan yang berasal dari masa lalu. Hubungan
antara tanda dengan acuannya membentuk tiga sifat, yaitu Natural yang melahirkan
tanda indeks (index); Formal yang melahirkan tanda ikon (icon); Arbitrary yang
melahirkan tanda simbol (symbol).6 Acuan dapat berupa konsep, nliai-nilai,
kepercayaan, dan lain-lain yang berkembang dan dikenali di tengah masyarakat
pembuat tanda tersebut. Oleh karena itu, suatu artefak dapat berupa tanda indeks,
ikon, atau simbol, tergantung dari sifat hubungan antara tanda dengan referennya.
Tahapan terakhir yang dilakukan adalah eksplanasi, berwujud rekonstruksi budaya
masyarakat Kampung Naga dari masa ke masa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KAMPUNG NAGA
Kampung Naga terletak di sebuah lembah yang subur. Berada pada ketinggian
+ 1.200 m. dapl., di pinggiran Sungai Ciwulan yang mata airnya bersumber dari
6 Eco, U. 1979. The Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press, hlm. 178.
7
Gunung Cikuray.7 Secara administratif, Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Untuk sampai ke Kampung Naga, perjalanan dapat ditempuh langsung dari
Bandung atau transit di Garut, sejauh lebih kurang 106 km dari Bandung atau sekitar
26 km dari kota Garut, tepat di Kampung Rancak (Salawu). Selain itu, dapat pula
ditempuh melalui rute Tasikmalaya -
Garut, dengan jarak tempuh sekitar 30
km. hingga ke Kampung Rancak
(Salawu) tadi. Di kampung inilah Dinas
Pariwisata Tasikmalaya mendirkian
gapura selamat datang, lahan parkir
wisatawan, dan pusat informasi wisata,
serta sejumlah bangunan tambahan.
Lalu melalui tangga di sisi barat area
ini, pengunjung meneruskan perjalanan
menuju Kampung Naga sejauh sekitar 800 -
900 meter lagi dengan berjalan kaki .
Pertama-tama menuruni jalan kecil yang
berbelok-belok hingga ke tepian Sungai
Ciwulan. Jalan kecil ini merupakan jalanan
semen yang dibuat berundak dengan anak tangga (Sunda: sengked) sebanyak 335
buah anak tangga dengan kemiringan + 450. Kemudian melalui sebuah jembatan dari
7 Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, hlm. 11.
8
anyaman bambu menyeberangi sungai dan kembali menyusuri tepi an Sungai
Ciwulan hingga ke bagian depan kampung.
Mata pencaharian utama penduduk Kampung
Naga adalah bertani sistem tadah hujan atau irigasi
dari air pegunungan. Lahan pertanian masih diolah
dengan cara dan peralatan tradisional, dicangkul,
diguru, diwaluku, dan lain-lain. Sebagai penyubur,
umumnya digunakan pupuk kandang.
Selain bertani padi, dewasa ini sebagian
besar penduduk juga lebih menekuni produksi
barang handicrafts, terutama karena semakin tingginya arus wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke perkampungan
mereka. Barang-barang tersebut antara
lain anyaman udang-udangan, tas tangan
dan barang-barang kebutuhan lokal
lainnya, seperti bakul (boboko), kukusan
(aseupan), kipas, tampah (nyiru), dan
lain-lain.
Pola pemukiman Kampung Naga
merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada
dengan sebuah lahan kosong l(apang) di tengah-tengah kampung. Pola
perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola
perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana sini terjadi perubahan. Adanya
kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan
9
sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga dengan
bentuk rumahnya (Lihat sketsa berikut).
Jika dicermati dengan seksama, masyarakat Kampung Naga membagi
peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
1. Kawasan suci
Kawasan suci adalah sebuah bukit
kecil di sebelah barat pemukiman yang
disebut Bukit Naga serta areal hutan
lindung (leuweung larangan) persis di
tikungan tapal kuda di timur dan barat
Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan
lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan,
berupa semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap
hutan tutupan (leuweung tutupan atau leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit
Naga inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di
dalamnya makam para uyut
10
2. Kawasan bersih
Kawasan bersih bisa
diartikan sebagai kawasan bebas
dari benda-benda yang dapat
mengotori kampung. Baik dari
sampah rumah tangga maupun
kotoran hewan, seperti kambing,
sapi atau kerbau, terutama anjing.
Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain
rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, masjid, leuit, dan
patemon
3. Kawasan kotor
Dimaksud kawasan kotor
adalah kawasan yang
peruntukkannya sebagai kawasan
kelengkapan hidup lainnya yang
tidak perlu dibersihkan setiap saat.
Kawasan ini permukaan tanahnya
lebih rendah dari kawasan
pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini
antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan
kolam.
11
MITOS, RITUAL, DAN SENI TRADISI
Sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, masyarakat
Sunda memiliki pandangan kosmologis8 yang diwariskan oleh leluhurnya. Secara
kultural pandangan kosmologi itu tergambar dalam khazanah mitologisnya. Dalam
sebuah mitologi9 terdapat suatu pola dasar yang mempersatukan secara harmoni
realitas-realitas dan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Eliade
menyebut pola ini sebagai coincidentia oppositorum.10 Sebuah mitos11 akan
mengungkapkan struktur keilahian yang dapat mengatasi dan mendamaikan
pertentangan secara lebih mendalam dari yang bisa diungkapkan oleh pengalaman
rasional. Misalnya, bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana
situasi yang kacau menjadi teratur, bagaimana yang tidak dapat mati menjadi mati,
bagaimana manusia yang semula hanya sepasang menjadi beraneka suku bangsa,
bagaimana mahkluk-mahkluk tak berkelamin menjadi lelaki dan perempuan, dan
sebagainya. Mitos tidak hanya menceritakan asal mula dunia, binatang, tumbuhan,
dan manusia, melainkan juga kejadian-kejadian awal yang menyebabkan manusia
menemukan jati dirinya. Melalui penghayatan sebuah mitos yang dituangkan lewat
upacara ritual, seseorang bisa meniru bagaimana mencapai yang illahi dengan
8 Pandangan kosmologis merupakan upaya pemetaan dan memposisikan diri seseorang atau
masyarakat dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya (Ahmad Gibson Al Bustomi
dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008).
9 Kata mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos
atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos.
10 Eliade, M. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius, hlm. 73.
11 Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai
cerita. B. Malinowski membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Legenda
lebih sebagai cerita yang diyakini seolah-olah merupakan kenyataan sejarah. Dongeng
mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus, dan tidak diyakini
sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Sementara mitos merupakan pernyataan
atas suatu kebenaran tentang realitas asal yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi
dari kehidupan primitif (Dhavamony, 1995: 147).
12
berpartisipasi secara simbolis dalam keadaan ketika manusia dicipta dan ditata oleh
yang illahi dan adikodrati.12
Pada umumnya tingkah laku manusia dapat diamati melalui ritual dan mitos.
Ritual merupakan rangsangan bagi lahirnya mitos. Dari mitos kemudian muncul
agama, dan agama itu terdiri dari pelaksanaan ritual. Ketika ritual dapat dinilai
dengan begitu mudah dari hasil-hasil yang tampak, memang tidak diperlukan mitos.
Namun ketika hasil yang dibayangkan dari ritual tidak begitu jelas terlihat sehingga
bila keyakinan terhadap efektivitas ini harus dipertahankan, maka dituntut suatu tipe
keyakinan yang lebih kompleks yang hanya dapat disimpulkan melalui mitos. Secara
keseluruhan fungsi mitos adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi ritus, serta
memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia. Mitos dan agama
sebagai satu kesatuan memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial.13
A.Mitos
Belum banyak mitos-mitos yang dapat digali dari masyarakat Kampung Naga,
karena banyaknya pertabuan yang harus ditaati mereka. Salah satu mitos yang dapat
diungkapkan sebagaimana disajikan dalam wacana berikut:.
A.1 Mitos asal usul kampung naga
Menurut Suharjo,14 penduduk asli Kampung Naga memang orang Sunda yang
dulunya sangat sederhana. Tinggal di atas pohon-pohon besar di lereng-lereng
Gunung Galunggung. Nenek moyang mereka yang kini dimakamkan di bukit sebelah
12 Dhavamony, M. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995, hlm. 149-150.
13 Ibid, hlm. 150-152.
14 Saat ini Suharjo menjabat sebagai Ketua RT Kampung Naga.
13
Barat kampung bernama Sembah Dalem Singaparna. Dinamakan Singaparna karena
ia dapat menaklukkan singa yang sedang mengamuk dengan kesaktiannya.
Singaparna dikenal sebagai seorang ulama sakti, putra dari Prabu
Rajadipuntang, Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke Linggawangi. Ketika
itu, Kerajaan Galunggung diserang oleh Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Prabu
Surawisesa (1535-1543) karena mereka telah menjadi pemeluk agama Islam,
sehingga tidak lagi menjadikan Kerajaan Sunda sebagai pusat. Menghadapi serangan
itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada
anak bungsunya yang bernama Snigaparana. Untuk melaksanakan tugas itu
Singaparana dibekali ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput bumi dina caang
(bersembunyi di keramaian).15 Eyang Singaparna memiliki enam putra yang
kesemuanya diwarisi ilmu linuwih dan meninggal di daerah tempat mereka
mengamalkan ilmunya.
A.2 Mitos Ruang dan Waktu
Mitos ruang diwujudkan dalam kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh makhluk halus, sehingga dianggap
angker (sanget) dan patut diberi sesaji (sesajen) agar penunggu tempat-tempat itu
tidak mengganggu mereka. Batas disini bisa ditemukan pada kategori yang berbeda,
misalnya sungai, pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, pesawahan dengan
selokan, tempat air masuk yang sering disebut dengan huluwotan, dan lereng bukit.16
Selain itu, mayarakat Kampung Naga memiliki mitos waktu. Waktu-waktu
yang disebut palintangan, adalah waktu yang dianggap buruk sehingga tabu untuk
15 http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.
16 http://hantu-hantu.com/tempat-angker-di-indonesia, diakses tanggal 10 September 2008
14
melaksanakan suatu ritual, atau pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti
bertani, dan melakukan perjalanan. Pertabuan itu didasari oleh perhitungan dawuh.
B. RITUAL
B.1 Upacara Hajat Sasih
Upacara hajat sasih dilaksanakan enam kali dalam setahun, atau masingmasing
satu kali dalam enam bulan yang diagungkan dalam agama Islam. Upacara
ini merupakan upacara penghormatan terhadap arwah nenek moyang, yang
dilaksanakan dalam satu hari tanpa menghentikan jalannya upacara apabila turun
hujan, karena hujan dianggap karunia. Setiap bulan pelaksanaan disediakan masingmasing
tiga tanggal untuk menjaga kemungkinan tanggal yang telah ditentukan
bertepatan dengan upacara lainnya, terutama upacara nyepi.
Upacara dimulai pada pukul 09.00 - 16.00 dipimpin oleh kuncen, lebe dan
tetua kampung. Dimulai dengan pembacaan doa bersama, serta bebersih dan ziarah
ke makam keramat sebagai inti upacara yang hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja.
Seluruh peserta upacara mengenakan jubah berwarna putih dari kain belacu atau
kaci, sarung pelekat, ikat kepala dari batik (totopong), dan ikat pinggang (beubeulit)
dari kain berwarna putih pula. Pakaian upacara ini tidak dipadu dengan perhiasan
apapun ataupun alas kaki.
B.2 Upacara Nyepi
Upacara nyepi jatuh pada setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Penghormatan
masyarakat Kampung Naga terhadap upacara ini sangat tinggi dan dapat menggeser
pelaksanaan upacara lainnya. Sebutan upacara nyepi bagi masyarakat Kampung
Naga tidak mencerminkan suasana sunyi senyap dan berhenti dari segala kegiatan
15
sehari-hari serta dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat, anak-anak, tua dan
muda. Jika dilihat dari inti kegiatan, sebenarnya upacara ini mungkin lebih tepat
disebut berpantang, pantang dalam artian benar-benar menghindari perbincangaan
mengenai adat istiadat serta asal usul masyarakat Kampung Naga, baik antar sesama
anggota masyarakat maupun pengunjung atau tamu asing lainnya.
B.3 Upacara Panen
Upacara panen merupakan upacara perorangan, artinya jika sebuah keluarga
akan memanen hasil sawahnya, maka keluarga tersebut melakukan upacara panen
guna menetapkan kapan hari pemanenan bisa dilaksanakan. Pencarian hari panen
dilakukan di rumah keluarga yang akan memanen hasil sawahnya, dibawah pimpinan
candoli, atau lebih sering oleh kuncen Kampung Naga dibantu oleh lebe dan tetua
kampung. Ditentukan melalui rangkaian penghitungan yang disebut palintangan.
Setelah pihak keluarga mendapatkan hari baiknya, maka acara panen di sawah
dilaksanakan, dan kemudian ditutup dengan upacara syukuran kepada Nyi Pohaci
Sang Hyang Asri
Pada hari panen keluarga yang akan memanen harus menyiapkan syarat-syarat
antara lain, sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung (pupuhunan), empos, nasi tumpeng,
dan sesajen pelengkap lainnya. Syarat-syarat ini di gunakan dalam pr osesi
pengambilan ibu padi.
B.4 Upacara Lingkaran hidup (life cycle)
Dalam masyarakat kita, setiap anak yang akan memasuki satu tahapan baru
dalam kehidupannya umumnya melewati pranata sosial atau dalam sebutan lain
upacara adat. Demikian pula dengan masyarakat Kampung Naga. Ada dua upacara
16
adat yang bertautan tahapan kehidupan yang hingga kini masih ditaati dan dijalankan
dari generasi ke generasi. Kedua upacara itu sebagai berikut:
B.4.1 Upacara Gusaran
Uacara Gusaran atau khitanan pada masyarakat Kampung Naga dilakukan
secara massal, artinya setiap anak laki-laki Sa Naga akan disunat dalam waktu yang
telah ditentukan, yaitu pada bulan Rayagung. Prosesi upacara terdiri dari tiga inti
rangkaian kegiatan, yaitu gusaran, lekasan, dan wawarian. Namun demikian, jika
dicermati, sebenarnya ada sejumlah upacara yang dirangkai menjadi pendahulu
upacara gusaran itu sendiri. Rangkaian upacara tersebut (lekasan) melebur dalam
upacara gusaran secara keseluruhan dan tidak kalah penting serta menarik untuk
disimak, yaitu mendapatkan pasangan, bebersih, pemberian wejangan, diarak keliling
kampung, ngala beas, pemotongan rambut, berebut sawer, khitanan dan wawarian
B.4.2 Upacara Perkawinan
Secara umum tradisi perkawinan masyarakat Kampung Naga sama dengan
tradisi perkawinan menurut adat Sunda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
masih dilengkapi dengan tradisi perkawinan Kampung Naga.
Sebelum akad nikah, calon pasangan pengantin terlebih dahulu harus
memenuhi beberapa persyaratan administrasi. Akad nikah dilakukan melalui ijabkabul
yang disebut dirapalan. Karena masyarakat Kampung Naga beragama Islam,
perkawinan dilakukan di depan penghulu dan dicatat di Kantor Urusan Agama
(KUA) setempat oleh petugas pencatat nikah (PPN). Penyelenggaraan upacara
perkawinan di Kampung Naga terkesan sederhana. Selain karena pertimbangan
17
ekonomi, lahan tempat penyelenggaraan juga terbatas sehingga undangan hanya
berkisar pada keluarga mempelai.
Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, persiapan berupa tahapan yang
tidak boleh dilewatkan menurut adat adalah, yaitu menentukan hari baik, melakukan
upacara seserahan, melakukan upacara ngeuyeuk seureuh dan, upacara perkawinan
C. SENI TRADISI17
C.1 Terbang gembrung
Masuknya terbangan atau terbang gembrung sebagai seni tradisi Kampung
Naga diduga berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Tanah Sunda. Terbang
gembrung hampir mirip dengan tagonian yang banyak dijumpai di daerah-daerah
pusat penyebaran Islam. Bedanya, bentuk dan ukuran terbang gembrung di Kampung
Naga lebih besar dan irama pukulannya lebih sederhana.
Terbang Gembrung adalah alat musik tradisional yang disajikan dalam bentuk
nyanyi. Bentuknya agak berbeda dengan terbangan yang biasa dilihat di luar
Kampung Naga. Terbangan di Kampung Naga berjumlah empat, tidak ceper atau
tipis, tapi agak bulat hampir menyerupai dogdog. Terbang kesatu (tingting)
berukuran lebih kecil dari terbang kedua (kemprang), terbang kedua lebih kecil dari
terbang ketiga (bangpak), dan terbang ketiga lebih kecil dari terbang keempat
(brungbrung). Terbang kedua dan ketiga baisanya disatukan dengan kayu
penyambung sehingga dapat dimainkan oleh seorang pemain.
17 Pemerian alat dan seni tradisi diambil dari Suhandi Shm., 1982. Penelitian Masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya. Bandung: Universitas Padjadjaran, hlm.64-66; Suganda,
2006: 101-103; dan wawancara penulis pada tanggal 10 Juni 2008.
18
Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemain
duduk berjejer sesuai ukuran terbang yang akan dimainkan. Lagu-lagu yang
dibawakan menggunakan bahasa Arab berupa pupujian yang mengagungkan
kebesaran Tuhan dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW.. Nyanyian yang
diambil dari kitab suci Al-Qur’an itu, dibawakan bersama-sama dengan iringan
pukulan atau bunyi terbang. Pertunjukan terbangan diadakan di dalam ruang Masjid,
atau di lapangan terbuka Kampung Naga. Pertunjukkan biasanya dimulai setelah
sholat Isya dan berakhir sekiatr pukul 24.00. Selain itu, trebangan juga
dipertunjukkan pada perayaan 17 Agustus untuk mengiringi jempana18 bersamasama
dengan angklung.
C.2 Angklung
Bentuk angklungdi Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan bentuk
angklung di luar Kampung Naga. Bedanya hanya dalam ukuran. Angklung Kampung
Naga berukuran lebih besar, terbuat dari beberapa ruas bambu.
Seperangkat angklung Kampung Naga terdiri dari empat angklung dengan
ukuran berbeda dari yang paling kecil sampai ke angklung yang paling besar. Cara
memainkannya dengan menggoyang-goyangkan instrumen bambu tersebut, dan
setiap unit angklung memiliki nada suara berbeda.
Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, angklung digunakan untuk mengiringi
jempana pada perayaan 17 Agustus, dan mengiringi peserta upacara gusaran.
Sebagai tradisi menghormati Nyi Pohaci, angklung dibunyikan untuk mengiringi
hasil panen (padi) dari sawah ke kampung. Biasanya angklung dimainkan oleh laki-
18 Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari
potongan bambu berbentuk menyerupai trapesium.
19
laki, meskipun secara adat wanita pun boleh memainkan alat ini. Namun karena
bentuknya besar sehingga berat, laki dianggap lebih mampu memainkannya.
C.3 Beluk dan Rengkong
Beluk dan Rengkong merupakan dua jenis kesenian yang sudah ajrang
dijumpai. Seni Beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak
menggunakan nada-nada tinggi. Pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih, yang
secara bergiliran menyanyikan syair dari wawacan.19 Seni beluk biasanya digelar
pada malam sebelum berangkat tidur bertempat di rumah tetangga atau keluarga
yang baru melahirkan. Di bawah temaramnya sinar lampu teplok, beluk dinyanyikan
di ruang depan (tepas imah). Pemain atau pendengar duduk santai mengikuti acara
itu. Lagu-lagu yang ditembangkan berasa l dari pupuh seperti kinant2i,0
asmarandana,21 sinom,22 durma,23 dan sebagainya yang disampaikan dengan
membawakan kisah-kisah yang sumbernya diambil dari wawacan.
Dalam hal pemain tidak bisa membaca, juru ilo membantu pemain itu dengan
membacakan satu pupuh hingga selesai, baru kemudian ditembangkan. Sebagai
contoh adalah pupuh kinanti berikut, yang diajarkan di SR (sekarang SD), dan sangat
populer di era tahun 1950-1960an. Pupuh ini mengisahkan seekor kelelawar yang
19 Wawacan adalah cerita yang biasanya ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sunda.
Temanya diambil dari kisah-kisah kepahlawanan Baginda Ali dalam menyebarkan agama
Islam.
20 Pupuh Kinanti menggambarkan perasaan seseorang yang sedang menanti orang tercinta.
21 Pupuh Asmarandana menggambarkan perasaan orang yang sedang kasmaran.
22 Pupuh Sinom menggambarkan perasaan orang yang sedang diruntung kesedihan, sehingga
ungkapan katanya penuh nasihat.
23 Pupuh Durma menggambarkan hati seseorang yang sedang menghadapi lawan di medang
perang.
20
diibaratkan anak kecil. Setiap malam kelelawar ini melayang-layang mencari buahbuahan
yang sudah matang, atau apa saja yang berhasil ditemukannya
Budak leutik bisa ngap(u)ng
Babakuna unggal peut(i)ng
Kalayang kakalayang(an)
Neangan nu amis-am(i)s
Sarupaning bubuah(a)n
Naon wae nu kapangg(i)h.
KOSMOLOGI DAN WARISAN BUDAYA SUNDA
A. Kosmologi
Mircea Eliade24 mengatakan bahwa manusia religius memiliki sikap tertentu
terhadap kehidupan, dunia, manusia, dan apa yang dianggapnya suci (sakral). Dunia
baginya terbatas pada wilayah yang sudah dikenal, sebagai kosmos, suatu wilayah
yang sudah “dikonsentrasikan”. Sementara di luar wilayah itu, adalah dunia yang
kacau (chaos) sebagai tempat tinggal para roh, jin, setan, dan sejenisnya. Daerah itu
bisa teratur kembali jika dilakukan penciptaan kembali kosmogoni (semesta alam)
oleh para dewa atau kekuatan supranatural melalui upacara. Pada prinsipnya semesta
alam terdiri dari tiga lapisan, yaitu dunia atas merupakan dunia illahi, surga, tempat
para dewa, dan para leluhur; dunia tengah merupakan dunia yang dihuni oleh
makhluk hidup yaitu manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan dunia bawah
merupakan tempat dimana makhluk hidup itu mati. Ketiga lapisan ini dihubungkan
oleh satu poros yang disebut axis mundi. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia
yang menghubungkan satu lapisan dengan lapisan yang lain. Melalui axis mundi
24 Dalam buku berjudul The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
21
manusia dapat berhubungan dengan dunia atas dan dunia bawah.25 Pandangan
kosmologi di berbagai belahan dunia, memiliki konsep tersendiri walaupun pada
prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pembagian wilayah tersebut.
Gambaran kosmologi yang bersumber pada agama Hindu India,
mengungkapkan bahwa alam semesta terdiri dari sebuah benua berbentuk lingkaran,
disebut Jambudwipa, yang merupakan tempat tinggal manusia dan berbagai hewan
lainnya. Jambudwipa ini dikelilingi oleh tujuh rangkaian samudra dan tujuh
rangkaian pegunungan secara berselang-seling. Lingkaran alam semesta itu berpusat
pada Gunung Mahameru (Meru), gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan,
dan bintang-bintang. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal para
dewa. Sementara di kedelapan arah Gunung Mahameru dijaga oleh dewa-dewa Astadikpalaka.
Menurut Budhisme pun gambaran alam semesta hampir sama dengan uraian
kosmos pada Hinduisme. Gunung Mahameru menjadi pusat dari alam semesta.
Perbedaannya adalah di luar rantai pegunungan ketujuh terdapat samudra; dan di
keempat arah mata anginnya terdapat empat benua. Benua yang terletak di selatan
adalah Jambudwipa, tempat tinggal manusia dan berbagai makhluk hidup lainnya.
Sementara di ketiga benua lainnya hidup berbagai makhluk ajaib. Alam semesta itu
dikelilingi pula oleh barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Mahameru terletak
surga terendah, tempat tinggal keempat Raja besar sebagai penjaga dunia.26
25 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 44-49.
26 Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali, hlm. 4-5.
22
Dalam Kropak 422,27 sebuah kisah mitologis yang menggambarkan kosmologi
Sunda abad ke 14 – 15 M, dikisahkan bahwa alam raya terbagi ke dalam tiga dunia,
yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan jatiniskala (kemahagaiban
sejati). Penghuni sakala adalah berbagai makhluk yang bisa dilihat dan diraba seperti
manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Penghuni niskala adalah berbagai makhluk
yang tidak berjasad, berupa anasir-anasir halus seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari,
apsara-apsari, roh-roh netral yang disebut syanu, bayu, sabda, dan hedap. Di antara
mereka ada yang telah dikenal dengan nama-nama serta tugasnya masing-masing di
alam gaib itu, baik di alam kesurgaan maupun di neraka. Jumlah mereka banyak dan
bisa bergabung antara satu dengan yang lainnya. Apabila roh netral bergabung
dengan bayu, sabda, dan hedap, gabungan itu adalah sukma yang disebut syaku.
Sukma yang terbuang ke sakala akan bergabung dengan anasir-anasir fisikal
sehingga di antara mereka ada yang menjelma menjadi manusia, hewan, atau
tumbuhan. Dalam kondisi demikian, sukma itu terpenjara oleh jasad. Penjelmaan
yang paling sempurna adalah manusia. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk
berusaha berbuat kebaikan agar kelak sukma bisa kembali ke kodrat sejati di
kahyangan (Sorga tertinggi) yang disebut mencapai moksa. Sementara manusia yang
terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa yang serakah, tamak, dan
rakus terhadap hal-hal lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala
sebagai penghuni Kawah (neraka). Meskipun menurut aturan para dewa, mereka bisa
mendapat keringanan, namun sukma itu harus mengalami reinkarnasi ke alam sakala.
27 Kropak 422 berada di bagian naskah Perpustakaan Nasional, Jakarta. Sebelumnya naskah
ini merupakan pemberian Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat pada perempatan ketiga
abad ke-19. Pada mulanya naskah itu disimpan di Kawali (Ciamis). Ditulis dalam aksara
dan bahasa Sunda Kuna (Darsa, dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15).
23
Penghuni jatiniskala adalah dzat Yang Maha Tunggal yang dinamakan Sang Hyang
Manon. Dzat Maha Pencipta yang disebut sebagai Si Ijunajati Nistemen, pencipta
batas tetapi tidak terkena batas.28
Pandangan serupa juga diperoleh dari naskah Serat Catur Bumi dan Sang
Hyang Raga Dewata,29 Sewaka Darma,30 Kawih Paningkes dan Jatiniskala, 31serta
Sri Ajnyana.32
Dalam penataan ruang, Kampung Naga dibagi atas tiga kawasan yaitu kawasan
suci, kawasan bersih, dam kawasan kotor. Termasuk kawasan suci adalah sebuah
bukit kecil yang disebut Bukit Naga, hutan tutupan (leuweung karamat) di sebelah
barat perkampungan, dan hutan lindung (leuweung larangan) di sebelah timur Sungai
Ciwulan. Di bukit dan hutan tutupan (leuweung karamat) inilah ditempatkan tanah
pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di dalamnya makam para uyut.
Wilayah ini hanya boleh dikunjungi oleh laki-laki Kampung Naga pada saat upacara
Hajat Sasih. Dalam pada itu, hutan lindung (leuweung larangan) merupakan tempat
para roh halus (dedemit) yang dipindahkan oleh Sembah Dalem Singaparana dari
wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi lahan pemukiman masyarakat
Kampung Naga. Rumah pertama yang didirikan dan menjadi tempat tinggal
Singaparna adalah rumah yang sekarang disebut bumi ageung. Wilayah ini
28 Darsa, dan Edi S. Ekadjati. 2006. Kosmologi Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama,
hlm. 24-26.
29 Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi dan
Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota Foundation dan Fakultas
Sastra Uiversitas Padjadjaran.
30 Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
31 Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan Terjemahan.
Bandung: Sundanologi.
32 Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.
24
merupakan tempat yang sangat dilarang untuk dijamah oleh siapa pun, baik turis
maupun warga Kampung Naga.33
Kawasan bersih adalah kawasan yang berada dalam areal pagar kandang jaga
yang menjadi pemukiman masyarakat Kampung Naga. Kawasan ini merupakan
kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung. Di dalam kawasan
ini selain sebagai tempat mendirikan rumah tinggal --termasuk di dalamnya rumah
kuncen dan rumah ketua RT-- juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung,
masjid, leuit, dan patemon
Kawasan kotor adalah areal atau kawasan yang peruntukkannya sebagai
kawasan kelengkapan hidup lainnya, tidak perlu dibersihkan setiap saat. Wilayah ini
merupakan wilayah yang permukaan tanahnya lebih rendah dari pemukiman, terletak
bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini antara lain terdapat
pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan kolam
Secara kosmologis, ketiga wilayah itu merupakan gambaran kosmos Kampung
Naga. Negoisasi antara ajaran lokal (Prasejarah yaitu tradisi megalitik dalam hal
pengagungan kepada arwah Nenek Moyang, Hindu dan Budha), dan ajaran Islam
tampak dalam penataan ruang Kampung Naga. Penataan ruang berdasarkan arah
mata angin dan gunung suci (Gunung Mahameru) digambarkan sebagai berikut: di
sebelah barat merupakan perbukitan Naga dan hutan tutupan (leuweung karamat)
yang merupakan tempat keluarga dan nenek moyang mereka dimakamkan,
perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan
Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan
33 Wawancara dengan Bapak Ridho (70 tahun), warga Kampung Naga, pada tanggal 31
Oktober 2008.
25
tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung
Larangan dibatasi oleh Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh
masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung.
Jika dikaitkan dengan pandangan kosmologi, baik Hindu, Budha, atau
kosmologi yang tergambarkan dalam naskah Sunda terlihat perpaduan di antara itu.
Mereka membangun struktur ruang atas-tengah-bawah, atau baik-netral-buruk.
Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Karamat di arah barat adalah sumber
kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung larangan sebagai wilayah
chaos, merupakan tempat roh jahat (dedemit), dan leweung karamat merupakan
sumber kebaikan. Masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan
kesakralan ke arah barat.
Negosiasi antara ajaran Islam dan ajaran lokal, terlihat pada penempatan hutan
keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid. Arah barat pada masa
sebelum Islam ada, merupakan akhir perjalanan matahari yang merupakan simbol
akhir perjalanan manusia yaitu mati atau kembali kepada yang kuasa. Ketika ajaran
Islam merebak ke wilayah itu, masyarakat di Kampung Naga percaya bahwa kiblat
adalah simbol Ka’bah,. sehingga menghadap ke kiblat berarti terlebih dahulu harus
melalui penghadapan terhadap harta pusaka di bumi ageung dan hutan keramat.
Keinginan mendapatkan kesakralan Ka’bah didahului oleh penghubungan diri
terhadap nenek moyang yang dimakamkan di Leuweung Keramat. Pandangan ini
mungkin menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji.
Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Nabi yang dianggap suci. Oleh
karena itu, mereka tidak membutuhkan kiblat yang dibungkus oleh Bumi Ageung
dan Leuweung Keramat.
26
Dengan demikian, axis mundi dapat dilihat pada komposisi bahwa seluruh
rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat
pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun.
Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia dalam himpitan antara yang
sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan). Kondisi itu
mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan, karena
kedua dunia yang menghimpit itu telah memengaruhi waktu kehidupan manusia,
yaitu waktu baik dan waktu tidak baik. Dalam segala aktivitas, baik dalam mencari
keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka, mereka berpatokan
pada tiga kata, yaitu Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (dunia atas),
Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (dunia
tengah), dan Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik.34
Gambaran kosmologi juga dapat dilihat pada bentuk rumah masyarakat
Kampung Naga. Rumah (imah) atau
lebih dihaluskan bumi merupakan
bagian dari rangkaian kosmogoni
sebagaimana kandungan arti bumi
sebenarnya. Dengan sandaran itu
maka imah atau bumi bagi
masyarakat Kampung Naga
merupakan bangunan yang sudah memiliki aturan-aturan pembuatan dan penataan
yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip kembali ke alam. Pembagian wilayah dunia
34 Lihat juga, Ahmad Gibson AlBustom, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”, dalam
http://g13b.blogdetik.com, Posted on April 14th, 2006, diakses tanggal 7 November 2008.
27
atas, dunia tengah, dan dunia bawah terdapat pada penataan ruang sebagaimana
tertera pada bab sebelumnya.
B. Warisan Budaya Sunda
Secara umum, warisan budaya adalah tinggalan yang sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari kata pelestarian budaya, sehingga proses pelestarian adalah sesuatu
yang berupa warisan. Secara lebih spesifik, warisan budaya merupakan pusaka
Indonesia yang mencakup pusaka alam dan budaya yang membentuk kesatuan
pusaka yang beraneka ragam, yang merupakan bentukan alam dan hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, baik secara
sendiri-sendiri, perpaduan dengan budaya lain, dan sebagai kesatuan bangsa
Indonesia di sepanjang sejarah keberadaannya.35
Dalam pengertian Sumber Daya Arkeologi atau benda warisan budaya menurut
UU No 5 Th 1992, sebagai berikut:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurangkurangnya
50 tahun, atau mewakili masa sekurang-kurangnya 50 tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan.
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting sebagaimana butir a.
Disamping memiliki nilai penting sebagaimana disebutkan dalam UU No 5 Th
1992, Sumber daya arkeologi juga memiliki nilai penting etnik dan publik.
35 Draf Piagam Pelestarian Pusaka Saujana Indonesia alinea kedua, dalam Naniek Widayati,
2003, Kongres Kebudayaan Indonesia ke V, Bukittinggi, 19-23 Oktober, hlm. 3.
28
Kampung Naga sebagai salah satu Sumber Daya Arkeologi memiliki nilai
penting kebudayaan, etnik, dan publik. Dengan demikian, jika ingin mengambil
manfaat dari sumber daya itu, Kampung Naga harus dipelajari melalui penelitian
budaya sehingga bisa memahami manfaat yang diperoleh. Untuk kemudian
menerjemahkan pengetahuan itu untuk masyarakat, sehingga dari masyarakatlah
proses ini berawal dan kepada mereka jugalah semua itu harus diserahkan.
29
DAFTAR SUMBER
Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan
Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..
Kluckhohn, Clyde. 1942. “Myths and Ritual: A General Theory”, dalam Harvard
Theological Review, XXXV, hlm.78-79.
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. Ithaca, New York: Cornell University
Press, hlm. 143.
Darsa, Undang A. Dan Edi S. Ekadjati. 2006. Gambaran Kosmologi Sunda.
Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, edisi ke 10. Yogyakarta:
Kanisius
Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi
dan Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota
Foundation dan Fakultas Sastra Uiversitas Padjadjaran.
Eliade, Mircea.The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali.
Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup (Studi Tentang Pantangan dan Larangan).
Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan.
Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam
Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan
Rahayu Hidayat. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Munandar, Agus Aris. 2004.”Memaknai Warisan Masa Lalu: Data Arkeologi dan
Karya Sastra”, dalam Sang Tohaan. Persembahan untuk Prof.Dr.
Ayatrohaedi, Bogor: Akademia.
Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV
Press.
Peursen, C. A. van.. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.175-185.
30
Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Suganda, Her. 2006. Kampung Naga: Memepertahankan Tradisi. Bandung: PT
Kiblat Buku Utama
Suhandi Shm., A. 1982. Penelitian Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Sumardjo, Jacob. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun
Sunda. Bandung: Kelir.
______________ 2006. Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi. Bandung:
Kelir.
Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta:
Kanisius.
Widayati, Naniek. 2003. “Strategi Pengembangan Warisan Budaya: Sebuah
Pandangan dari Sisi Arsitektur”, dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke V,
Bukittinggi, 19-23 Oktober.
Internet
Ahmad Gibson AlBustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”. Posted on
April 14th, 2006, http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei 2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Struktur Kosmologis dan Apresiasi Seni Tradisi”,
Posted on April 18th, 2006, dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei
2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Latar kosmologi Seni Tradisi: Kritik Nalar
Poskolonial”, July 11, 2008 dalam http://averroes.or.id/2008. diakses 21 Mei
2008.
http://gerbang.jabar.go.id/kabtasikmalaya
http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.
salam kenal ya........
BalasHapuscheck it out.. KUNJUNGI JUGA INI YA
BLOG SAYA