Era Komunikasi Interaktif merupakan fase mediamorfosis terbesar dalam bidang komunikasi selama 40 tahun terakhir (sejak kemunculan TV) yang ditandai dengan penemuan dan pertumbuhan internet, atau yang lebih dikenal sebagai komunikasi digital. Era ini menciptakan sesuatu yang bombastis dimana tidak dialami oleh masyarakat era sebelumnya, yakni yang dinamakan sebagai masyarakat cyber. Masyarakat ini muncul sebagai komunitas maya dimana mereka betul-betul ‘hidup’ dalam alam virtual, keseharian mereka dilakukan dengan interaksi tanpa kontak fisik, namun cukup melaksanakan ritual di depan layar komputer dengan konektivitas internet yang cukup tinggi.
Gibon (dalam Benedikt, 1991, hlmn. 122-123) membuat semacam konsep cyberspace (dunia maya) yang akhirnya dikembangkan menjadi suatu definisi sebagai berikut: “Dunia maya adalah realita yang terhubung secara global, didukung komputer, berakses komputer, multidimensi, artifisial atau virtual. Dalam realita ini, dimana setiap komputer merupakan sebuah jendela, terlihat atau terdengar obyek-obyek yang bersifat nonfisik dan bukan representasi obyek-obyek fisik, namun lebih merupakan gaya, karakter dan aksi pembuatan data dan informasi murni.” Sedangkan dalam pemakaian umum saat ini, cyberspace adalah istilah komprehensif untuk world wide web (www), internet, milis, elektronik, kelompok-kelompok dan forum diskusi, ruang ngobrol (chatting), permainan interaktif multiplayer dan bahkan e-mail (Turkle, 1995).
Secara umum, cyberspace sendiri merupakan saluran komunikasi yang sangat berguna dan sangat efektif di dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer termasuk kegiatan keagamaan. Akan tetapi, meskipun cyberspace diramaikan oleh berbagai situs berbasis keagamaan, misalnya, tidak berarti bahwa ia hanya memberi kemudahan bagi komunikasi ajaran agama secara global. Semudah agama menyebarkan ajaran dan spiritnya, semudah itu pula kejahatan, keburukan, kegilaan menempati hampir setiap sudut di dalam cyberspace yang tanpa batas. Oleh karena itu, disebabkan sifat anonim, tanpa identitas, tanpa jejak, tanpa alamat, tanpa pengenal tempat dari cyberspace, sesungguhnya yang paling diberikan fasilitas kemudahan oleh dunia tanpa identitas tersebut adalah para penjahat-penjahat.
Masyarakat cyber selalu identik dengan virtual reality (VR), yakni pemakaian komputer untuk mensimulasikan sebuah pengalaman dengan cara yang sama dengan realita. Selain itu mereka juga dikelilingi oleh berbagai perlengkapan digital dalam keseharian mereka, seperti chat rooms, MUD (Multi-User Domain) dan bot yang memungkinkan interaksi antar sesama dengan cara-cara baru, menarik serta tanpa batas. Bentuk-bentuk interaksi tersebut menciptakan berbagai kegilaan cyber yang akhirnya membudaya dalam lingkup ‘masyarakatnya’.
Salah satu kegilaan di dalam cyberspace adalah ‘kebrutalan tanda’ (cyber semiotic violent). Pemerkosaan terhadap gambar, hibrida seksual yang tak terkendali, distorsi terhadap kebenaran, pembalikan arah informasi, pemutar balikan fakta, perusakan ikon-ikon pada situs-adalah di antara berbagai kekerasan di dalam semiotik, yang memenuhi hampir setiap sudut ruang di dalam cyberspace. Kekerasan seperti ini menyebabkan gambar, image atau informasi tertentu menjadi tidak memiliki makna lagi disebabkan kedangkalan dan efek-efek permainan bebasnya.
Dengan demikian di dalam cyberspace, ‘iblis’ menemukan tempat yang paling ‘aman’ dan kondusif dalam menggoda manusia, sebab di dalam dunia yang anonim dan tanpa identitas tersebut, orang didekonstruksi secara sosial untuk cenderung tidak pernah bersalah, merasa berdosa, malu, takut, atau kasihan karena orang tidak pernah berada di bawah pengawasan (surveilance) siapapun di dalam dunia tersebut. Semua perasaan tersebut merupakan ‘perasaan-perasaan dasar’ dalam kehidupan keberagamaan. Potensi cyberspace sebagai tempat pemupukan daya spiritualitas sangatlah kecil, sebaliknya ia justru menjadi tempat yang berpotensi kuat bagi sang iblis untuk lebih berhasil menjauhkan manusia dari kekuatan spiritual yang sejati, yakni the cyber devil.
Cyberspace dalam hal ini adalah ‘wadah pelepasan energi libido’ atau dorongan hasrat, yang jauh lebih bebas di dunia nyata. Cyberspace adalah tempat di mana energi libido, dorongan hasrat paranoia (Deleuze), dorongan hasrat sadisme (Kaplan), dorongan hasrat perversi (Kristeva), ekstasi kekearan (Fromm), ekonomi libido (Lyotard) dan gelora subversi semiotik (Hebdige) menemukan tempat pelepasannya yang sempurna. Cybespace menjadi saluran bebas hasrat (desire), yang di dunia nyata menemukan benteng, kanal, tembok, perangkapnya berupa berbagai bentuk ketentuan moral, tabu, adat, peraturan atau hukum.
Di dalam cyberspace, kode (code) atau konvensi hanya bersifat teknis (misalnya kesepakatan mengenai ikon, password), tetapi jarang yang bersifat etis atau moral. Tidak ada konsensus mengenai baik/buruk, benar/salah, asli/palsu, atau berguna/tidak berguna. Semuanya menjadi ‘nihilisme’ (serba nol). Cyberspace merupakan ruang yang tercipta, seperti penemuan angka nol (ketiadaan) pertama kali oleh Al-Khawarizmi. Ia adalah ruang yang dimulai dari ketiadaan (atau pengingkaran): ketiadaan etika, moral, batas dan hukum. Di dalam dunia yang di dalamnya apapun didekonstruksi kembali menjadi nol, apapun menjadi serbaboleh, serbabenar dan serbaguna. Dunia yang demikian tak lain dari dunia anarkis. Cyberspace menjadi ruang yang sarat dengan tanda, citra, dan informasi (plenum), tetapi sebagaimana dikatakan Slouka, ia adalah ruang yang hampa etika (ethical zero). [enik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar