Selasa, November 25, 2008
REFLEKSI PERINGATAN HARI GURU: KEMBALI MENDASARI MAKNA PENDIDIKAN
Izinkan kali ini saya menjadi “ahli pendidikan”---bukan ekonomi ataupun Epistemologi Ilmu
Bila mengamati perkembangan pemikiran pendidikan kontemporer, maka akan terjelas sekali kelinglungan para pemikir pendidikan di negeri kita. Setiap saya mengikuti mata kuliah pengantar pendidikan, teori pembelajaran, telaah kurikulum sekolah, manajemen pendidikan dan entah berapa mata kuliah pendidikan yang lain sering membuat saya dan teman-teman diskusi kelas tempoe doeloe terasa kering, membosankan, dan celetuk teman saya: intinya sama saja!
Bahwa apa yang diintruksikan tidak sesuai kenyataan. Konon katanya Kurikulum Berbasis Kompetensi, tapi kelihatan bener-bener impotensinya. Katanya CBSA, KBK dan yang terakhir ialah KTSP tapi di lapangan hanya sekedar wacana birokrasi dan proyek-proyek seminar serta pelatihan para intelektual pendidikan.
Saya sekarang sedang melakukan penelitian pengajaran di sekolah Swasta di daerah Gubug Purwodadi. Sang guru pernah meminta kepada saya, agar saya menulis sesuatu tentang pendidikan. Dalam hati saya jawab, entar ah...saya lagi males mikirin pendidikan. “Pendidikan diri sendiri lagi mogok, ngapain mikirin yang gituan...”
Walaupun kalau melihat 'ketimpangan” yang terjadi akibat campur tangan negara begitu kentara terlihat dan tidak pernah tertangkap oleh intelektual yang sering dibutakan bahwa kebanyakan dari mereka pemikirannya dikerangkeng oleh ideologi Marxisme yang masih melekat.
Kembali kepada Hakekat
Hakekat pendidikan adalah proses pe-rubah-an. Perubahan dalam makna luas, baik karakter, pengetahuan, intelektual, psikologis, etika, kepribadian dan personal peserta didik. Di jaman sebelum Plato yang memformalkan pengajaran, maka proses mendidik sangat melekat sekali dengan keluarga. Di jaman Konfusius, pengajaran bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja yang mau belajar. Tapi, anehnya, sekarang pendidikan sudah dimasukan dalam Undang-Undang, dampaknya adalah hampir setiap agen pendidik, baik itu guru, orang tua, perumus kurikulum dan juga legislator hampir semuanya---kecuali saya pribadi---mengasumsikan dengan sangat kentara bahwa pendidikan 'harus mutlak' ditangani dan dilindungi oleh negara. Dilindungi dari apa?
Kalau anda penggemar film Avatar, anda bisa lihat efek bahaya ketika negara sudah masuk ke dalam ranah pendidikan. Yang terjadi bukanlah proses pemerdekaan individu agar dapat berubah secara alamiah menurut kodrat perkembanganya sendiri, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah proses indoktrinasi kepada peserta didik. Dampaknya lebih lanjut adalah, rakyat negara api memiliki kepribadian yang paranoid, tidak bebas, kaku serta agresif.
Kita tinggalkan dulu negara api. Sekarang kita masuki ke ranah hekekat proses perubahan atau perkembangan karakter itu sendiri. Filsuf Yunani, Heraklitos pernah berkata: segalanya itu berubah. Termasuk juga manusia, dia bukanlah benda yang statis, mati, ataupun keras. Manusia adalah benda hidup, dia berubah menurut sifa-sifat alamiahnya sendiri. Peran pendidikan yang sebenarnya adalah 'mendampingi' agar proses perkembangan tersebut dapat terjadi secara 'wajar'. Artinya, apabila saya selayaknya sudah dapat membaca, berhitung, ataupun mengenal huruf, pada proses perkembangan tertentu, saat itu juga saya harus dapat mulai mendapatkan 'akses' agar proses perkembangan pengetahuan saya dapat berjalan secara alamiah. Tapi seandainya saya ternyata tidak suka menulis, membaca ataupun berhitung, maka tidak seorangpun berhak memaksa agar saya melakukan ketiga pengetahuan yang menurutku konyol tersebut. Karena ternyata saya memang sukanya melukis...
Maksudnya, sebuah “perencanaan” proses pendampingan bagi pendidikan tidaklah harus disamaratakan, diseragamkan, dibakukan, diideologisasikan serta dipaksakan. Kalaupun seandainya sekarang pendidikan telah diformalkan, dan kalaupun terjadi 'distorsi orientasi' pendidikan, yang seharusnya dikambinghitamkan bukanlah para kapitalis, neoliberalis, ataupun borjuis. Tapi yang perlu ditengok adalah diri kita sendiri.
Sudah Tepatkah Kita Memandang Pendidikan?
Entah sudah berapa literatur pemikiran pendidikan kita yang sebenarnya berbau Marxis. Isu yang sering disorot ialah 'kesejahteraan', “ketimpangan” dan “Hegemoni”, serta ancama dari ras lain---barangkali entar muncul wacana “pendidikan anti makhluk asing”. Saya tidak akan menggunakan kata-kata muluk dalam artikel ini. Pertanyaan sederhananya ialah: Sudah tepatkah kita memaknai pendidikan?
Kembali ke pemahaman awam. Bahwa agen pertama dan mutlak yang bertanggungjawab dalam hal pendidikan anak ialah KELUARGA. Bapak saya---yang tidak pernah sekolah, walaupun dasar sekalipun---sering menyanjung kepala sekolah SMP saya dulu yang sering mengatakan bahwa tanggungjawab sebenarnya bagi mendidik anak adalah keluarga atau orang tua. Konon, kata bapak dan juga kepala sekolah saya, sekolah itu hanya membantu. Tidak lebih dari itu...
Saya beruntung memiliki Ayah yang cerdas, alias tidak dungu seperti kebanyakan orang tua yang kolot menyerahkan anaknya sepenuhnya untuk dididik oleh guru produksi negara atapun pendidikan ala negara. Guru tak lebih hanya profesi, dia adalah pelayan bagi orang tua si anak agar si guru tersebut dapat membantu orang tua dalam mendidik anaknya. Sedangkan sekolah adalah lembaga untuk menaungi jalannya proses pendidikan tersebut. Maka sekolah tak lebih adalah lembaga jasa yang membantu para keluarga untuk mendidik anak-anaknya. Sedangkan mengenai dimanakah dan kemanakah seorang anak harus bersekolah, yang pasti menyesuaikan tingkat kemampuan orang tua dan calon peserta didik masing-masing, baik berdasarkan tingkat ekonomi, strata sosial, pergaulan, dan pendidikan orang tua peserta didik itu sendiri.
Artinya, jelas-jelas makna pendidikan terletak di dalam keluarga itu sendiri. Untuk lebih menguatkan argumen saya di atas, mari kita hitung rasio antara waktu seorang anak didalam keluarga dengan di sekolah. Apabila anak rata-rata di sekolah menghabiskan waktu 7 jam per hari, maka di rumah dia bersama keluarga atau lingkungan luar sekolah dia habiskan waktunya sekitar 17 jam sehari. Toh seandainya ada tambahan kursus ini dan itu, maka rasio waktu yang dia habiskan buat keluarga tetap lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan formal yang dia peroleh. Maka dengan kacamata yang sederhana, bahwa 'proses pendidikan' yang berlangsung, sebenarnya lebih banyak terjadi di luar sekolah. Bagi anak yang liar seperti saya, maka waktu sisa sekolah biasanya saya habiskan buat bermain di sungai ataupun berlatih mandiri dengan satu geng kampung. Saya masih ingat gaji pertama saya sebagai buruh tani dulu sekitar Rp. 500,-, . Saat itu ketika saya masih kelas 1 SMP. Bagi anak-anak kota, banyak hal yang masih bisa dikerjakan, seperti Loper Koran, ke Perpustakaan dsb...Toh nyatanya saya masih bisa mengenang masa kecil yang begitu indah, walaupun harus mulai mengenal bekerja sambil bermain, ataupun bermain sambil bekerja di lingkungan pertanian yang saya jalani.
Potret sederhana kehidupan sehari-hari tersebut apakah dilupakan oleh pemikir pendidikan kita? Kalau boleh saya ibaratkan, pemikir pendidikan di negeri kita ibarat melihat mikroba dengan teropong, dan melihat bintang-bintang dengan mikroskop. Dengan kata lain, mereka terjebak oleh landasan asumsi yang jelas-jelas sangat keliru. Bahwa negara bertanggungjawab atas proses pendidikan. Masihkah anda mempercayainya? Salam
*Pengamat Pendidikan dan Fellow Writer Jurnal akaldankehendak.com
Minggu, November 23, 2008
BELAJAR MAKNA “BELAJAR” DARI YAN ZHITHUI *
Rabu, Juli 23, 2008
Transparansi Subsidi Silang
Oleh : Muhtar Said
Banyaknya iklan atau sepanduk yang bertuliskan “masa depan anak lebih penting”. Sehingga mereka menawarkan jasa perkreditan bagi orang tua yang ingin anaknya bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Ironisnya demi pendidikan anaknya, para orang tua rela berhutang kepada Bank atau bahkan Rentainir. pertanyaannya apa yang ada dibenak pikiran mereka tentang pentingnya pendidikan?.
Melalui pendidikan masyarakat akan bisa meningkatkan Sumber Daya Manusianya, sehingga bisa melahirkan ide-ide brilian yang nantinya berguna bagi keluarga serta nusa dan bangsa. Tetapi ini belum bisa terlaksana karena terhalang oleh mahalnya pendidikan yang diterapkan oleh institusi yang terkait, dengan berdalih demi meningkatkan kualitas pendidikan.
Saya Sangat setuju, jika Perguruan Tinggi memasang tarif mahal dengan bertujuan untuk meningkatkan fasilitas, yang kemudian bisa berguna bagi mahasiswa itu sendiri. Tapi kita harus melihat realitas bahwa keadaan masyarakat belum sepenuhnya bisa menerima kebijakan tersebut, karena untuk makan sehari-hari mereka-pun masih kesulitan.
Jika kebijakan ini dipaksakan seharusnya juga dipikirkan solusinya. Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah subsidi silang, yaitu orang yang di anggap kaya diharuskan untuk membantu orang yang dibawah garis kemiskinan, biar bisa sama-sama menikmati fasilitas dari pendidikan yang memadahi. Sebenarnya Subsidi silang sudah dari dahulu didengungkan dan sudah dilaksanakan diberbagai institusi perguruan tinggi, akan tetapi belum sesuai dengan harapan. Karena tidak adanya laporan pertanggung jawaban yang jelas dari institusi perguruan tinggi, terkait tentang subsidi silang tersebut.
Seharusnya Perguruan tinggi yang menerapkan subsidi silang membuat rincian dananya sedimikian rupa, sehingga orang yang memberikan subsidi bagi orang miskin bisa melihat secara detail kepada siapa saja harta yang mereka keluarkan saat itu. Jika ini diterapkan saya yakin akan bermunculan dermawan-dermawan baru, karena mereka akan semakin terpacu untuk menyumbangkan sebagian hartanya, demi kemajuan bersama. Karena mereka berfikir harta yang dikeluarkannya tidak sia-sia.
Senin, Juli 21, 2008
KEGAGALAN UNIVERSITAS DI INDONESIA
Oleh: Miftakul Akla
Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS)
Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.
Hp. 081392627364
Sabtu, Juli 19, 2008
Ijtihad Pendidikan di Era Global
Oleh: Miftahul A’la
Di Era globalisasi seperti sekarang ini, dalam menjalani ketatnya persaingan dunia tentunya membutuhkan berbagai terobosan baru untuk mengarungi kehidupannya, terlebih-lebih di dunia pendidikan. Sebab bagaimanapun juga pendidikan merupakan salah pilar dan fondasi yang terpenting dalam membangun peradaban suatu negara. Kesadaran akan arti pentingnya suatu pendidikanlah, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas dan kuantitas kesejahteraan baik berupa lahir, batin mapun masa depan rakyatnya.
Selain itu, pendidikan juga sangat dibutuhkan untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang handal dan berkompetensi di dunia luar, sehingga mampu untuk bersaing dan berkompetensi dengan bangsa-bangsa lain. Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan yang mendasar dalam era globalisasi. Berbagai sitem kebijakan dan metode yang digunakan mengalam perombakan. Dan dalam perombakan tersebut, ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia.
Namun sangat berbeda dengan pendidikan di Indonesia. meskipun berbagai sistem dan kebijakan sudah pernah diterapkan, sayangnya seiring dengan perubahan berbagai kebijkan kurikulum ataupun model di dunia pendidikan tersebut, banyak menyisakan berbagai pertanyaan di benak masyarakat. Sebab dari sekian banyaknya perubahan kebijakan tersebut, bukan kemajuan seperti negara-negara lain yang dicapai, namun justru sebaliknya. Berbagai kemrosotan dan kesengsaraan justru melanda pendidikan Indonesia. Pendidikan di Indonesia bagaikan sebuah kapal yang terombang-ambing ditengah derasnya ombak, tidak menentu dan tidak jelas arah tujuannya.
Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah yang beragam menurut latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Bahkan, hingga sampai saat ini, pemeritah belum mampu untuk melakukan pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi.
Hal semacam itu masih diperparah lagi dengan adanya otonomi pendidikan yang secara tidak langsung membawa implikasi hak dan kewajiban instansi pendidikan untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan. Konsekuensi logis dari otonomi, sehingga menuntut instansi pendidikan seakan-akan diuji untuk berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan para siswa didiknya untuk mendatangkan dana. Sehingga dengan sendirinya kebijakan semacam ini akan membuat pendidikan sebagai wahana untuk mencari keuntungan secara individualistik dan komoditas pendidikan.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan yakni terjadinya pengklarisifikasian siswa berdasarkan status sosio-ekonomi yang disandangnya. Sehingga pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin mencolok dan kukuh.
Reformasi Pendidikan
Sudah tidak menjadi rahasia lagi, bahwa memang pada dsarnya pendidikan di Indonesia sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh para bisnisman tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing. Pendidikan di Indonesia telah berubah menjadi komoditas untuk memperkaya diri sendiri.
Berkaca dari berbagai fenomena semacam inilah, maka jika pendidikan di Indonesia ingin tetap berkualitas harus secepat mungkin dilakukan terobosan baru dan perubahan. Jika perlu perombakan secara menyeluruh menganai berbagai kebijakan yang diterapkan harus segera diterapkan.
Salah satu langkah yang harus diambil oleh pemerintah untuk menjaga eksistensi dan memperbaiki kualitas pendidikan menurut Dr. H M Zaenuddin M. Pd (2008) adalah harus segera dilakukan sebuah reformasi ulang ”revolusi” secara mendasar (mind set pelaku) pada semua komponen dalam berbagai sistem pendidikan di Indonesia. Perubahan orientasi pendidikan tidak hanya berkutat pada perubahan kurikulum semata, namun yang terpenting saat ini adalah adanya “revolusi” sikap mental, pola pikir dan perilaku pelaku pendidikan (aparat, pengelola dan pengguna pendidikan). Kebijakan ini dilakukan agar dapat mewujudkan pendidikan yang lebih demokratis, memiliki keunggulan komparatif dan kompetetif, memperhatikan kebutuhan daerah, mampu mengembangkan seluruh potensi lingkungan dan potensi peserta didik serta lebih mendorong peran aktif dari masyarakat. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, pengelola pendidikan hendaknya memiliki pemahaman konsep pendidikan yang komprehensif.
Seiring dengan pesatnya perkembangan di era global, pergeseran orientasi pendidikan dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul harus dilakukan secara fundamental dan populis dengan mendasarkan pada sistem nilai yang dimiliki. Sehingga mampu mewujudkan pendidikan yang beroreintasi pada kesejahteraan dan masa depan bangsa dimasa mendatang. Pemerintah dalam wilayah praksisnya harus mampu untuk mengambil kebijakan dan keputusan yang tegas dalam menangani masalah pendidikan di Indonesia. Sebab bagaimanapun juga pendidikan di Indonesia sedang berhadapan dengan jurang yang sangat terjal. Dengan situasi yang semacam ini maka harus dengan segera mengambil keputusan yang mampu untuk menghindarkan dari bahaya yang mengancam.
Sebab bagaimanapun juga, sejalan dengan era informasi dalam dunia global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan berbangsa-negara. Pendidikan merupakan salah satu bidang tumpuan dan harapan utama dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia untuk terus maju dan berkembang. Sehingga mampu untuk menghadapi proses globalisasi di seluruh aspek dalam kehidupan tanpa ada tendensi dari luar.
Penulis adalah direktur pada Center for Politic and Law Studies (CPLS) Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Berdomisili di Jl. Minggiran MJ II/1482-B Yogyakarta.
Minggu, Mei 11, 2008
Korelasi Angka dan Senyum
Jika judul semacam ini diajukan dalam kontes penelitian karya ilmiah, skripsi, ataupun sekedar tugas akhir semester, mungkin akan langsung tertolak bahkan sebelum mentah-mentah. Memang tidak ada korelasi yang jelas antara dua hal tersebut, atau lebih tepatnya hal yang kurang spesifik dan jelas jika harus ilmiah. Lagipula demi mengejar sebuah kejelasan pada akhirnya kreatifitas yang tak dibarengi dengan keberanian mulai sekarat (atau terbunuh?) dalam korelasi dan komparasi variabel yang secara ”sederhana” telah selesai dengan salah satu software komputer. Di sisi lain, kehadiran software tersebut juga telah menghemat keringat banyak orang yang biasa keluar ketika berkutat dengan pena dan perhitungan deskriptisasi data angka juga anava. Entah sebuah efektivitas waktu, atau cerminan kemalasan.
Belum terlepas dari ihwal di atas, angka adalah bahasa kejelasan sehingga peranannya termasuk dalam salah satu unggulan dalam lintasan balap sejarah. Semacam plesetan matematika-nya tukang foto, 2 x 3 = 10, adalah hal yang tidak bisa dibenarkan oleh disiplin matematika. Tetapi terdapat ”kebenaran” lain yang terungkap dari gurauan tersebut, bahwa zaman ini menginginkan semua hal yang singkat dan jelas. Salah satu jargon iklan bahkan mengatakan ”yang pasti-pasti aja deh!”, sesuatu yang lebih tinggi dari singkat maupun jelas, yaitu kepastian. Maka tak heran jika pada akhirnya keinginan kejelasan dan kepastian menyublim dalam popularitas mie instan dan software komputer itu. Sampai di sini, apakah arti kejelasan dan kepastian, jika pada akhirnya hanya menetapkan langkah pada jalur stagnasi dengan membunuh kreatifitas?
Nilai dan Pelajar
Nilai merupakan hal yang akrab bagi seorang pelajar. Sedari Taman Kanak-kanak pelajar mulai dikenalkan dengan nilai, dan setelah puluhan tahun ”bergumul mesra” dengannya, tak heranlah jika keakraban terjalin antara keduanya. Entah pada mulanya, tapi sekarang ini (setidaknya menurut pengalaman pribadi penulis) nilai menjadi hal yang teramat penting yang menggeser posisi pemahaman, kejujuran, dan kemandirian. Terlihat dari proses perolehan nilai, baik melalui tugas ataupun tes evaluasi, selalu ada ketidakjujuran dan ketidakmandirian di sana. Yang terjadi bukan sekedar permasalahan menyontek atau apapun istilahnya, lebih dari itu adalah mentalitas menerabas, kata Koentjoroningrat, yang semakin menjadi demi kesakralan beberapa digit angka. Hal lain yang tak kalah penting adalah dalih-kilah solidaritas dan kebersamaan yang seringkali digunakan, seperti menunjukkan usaha pembenaran atas sesuatu yang berdampak buruk dalam jangka panjang, mengindikasikan ketidakberanian untuk bertanggungjawab atas tindakan yang telah dilakukan sendiri.
Keterkaitan Sebuah Senyuman
Secara umum, senyuman adalah ekspresi kesenangan hati, yang disebabkan tidak adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara das sollen dan das sein. Kenyataan tidak memungkiri bahwa semua pelajar menginginkan nilai yang bagus, tetapi dengan penurunan makna sebuah nilai, senyum yang timbul dari perolehan nilai bagus tersebut tak lebih dari sekedar ekspresi kebanggan yang semu.
Senyum lain mungkin tersungging dari pihak yang telah ”mengatur” keadaan sehingga menempatkan pelajar pada posisi yang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Para perumus jargon pendidikan yang terkesan tak bisa lepas dari belenggu ideologi manusia super, membuat implementasi pendidikan terkesan hanya agar dapat lulus ujian dengan nilai dan angka-angka. Mungkin mereka memang tak bermaksud menjawab pertanyaan Abraham Maslow tentang mengapa pendidikan (kita) hanya mencurahkan perhatian pada angka-angka, bukan pada pemahaman?
Ahmad Fahmi Mubarok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar