Katakanlah namanya AR dan CB. AR adalah sosok yang perfeksionis serta apologis. Dia menganggap dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Konsekuensinya, dia ’harus’ mendapatkan calon istri yang juga dekat dengan Tuhan. Jadi perempuan impiannya adalah seseorang yang dapat menjaga diri dan bersih dari lelaki gadungan. Perempuan dengan alis tebal, kulit putih, cerdas---yang pasti harus berjilbab---dengan wajah polos ialah perempuan idamanya. Istri idamannya ialah sosok yang harus dapat menjaga rumah, mendidik anak serta dapat dibanggakan secara sosial. Sedangkan CB harapan-harapannya tidak jauh beda dengan AR. Kedua-duanya mengidamkan perempuan muslim yang santun serta alim---seperti wajah perempuan di film Perempuan Berkalung Surban.
Tidak ada yang salah dengan harapan-harapan kedua sahabatku tersebut---karena saya sendiri mengidamkan perempuan yang demikian. Tapi masalah-nya ialah ketika mereka berdua menganggapnya menjadi suatu yang mutlak alias harus. Disinilah sumber masalahnya. Ketika sebuah tujuan melegalkan segala cara. Ketika harapan-harapan berdiri di atas realitas yang rapuh. Ketika mimpi dianggap kenyataan. Ketika hasrat menutupi semua sifat cinta yang sebenarnya harus estetis sekaligus etis. Yang terjadi ialah kisah cinta yang rumit dengan jalan terbirit-birit. ’Cinta tak lebih’ objek yang mencoba untuk dimiliki dan bukan diperjuangkan.
Alih-alih mendekati perempuan idamannya secara langsung, keduanya menggunakan cara yang cukup konservatif, yaitu mendekati kedua orangtua perempuan yang menjadi sasaran tanpa lebih dulu mendekekati secara langsung dari hati ke hati tentang isi hati cewek idamannya. Yang terjadi adalah peneremiaan dari orangtua si gadis---bukannya si gadis itu sendiri. Saya tidak tidak tahu menahu apa yang terjadi di dalam keluarga si cewek, namun yang menarik untuk disorot ialah reaksi dari si cewek terhadap AR dan BC. Keduanya melakukan penolakan secara halus. Jadi bisa dipahami bila AR dan CB stress setengah mati.
Saya sendiri mendapat pelajaran dari kasus mereka berdua. Bahwa status yang ’ tinggi’ dari laki-laki tidak akan menjamin diterimanya penawaran cinta seseorang. Hal ini agak berbeda dengan tesis saya sebelumnya. Menguatkan pendapat Erich Fromm bahwa mayoritas masyarakat sekarang ini sebenarnya ingin dicintai bukannya mencintai. Bagi Fromm, dalam The Art of Loving, mayoritas orang berusaha mendapatkan cinta dengan cara meraih status yang tinggi yang biasa dilakukan oleh laki-laki dan mempercantik diri yang biasa dilakukan perempuan adalah bukti bahwa sesungguhnya manusia tidak sepenuhnya mencitai tapi lebih ingin dicintai. Walaupun saya sendiri tidak sependapat dengan analis Fromm yang menuduh kapitalisme sebagai penyebab masyarakat berfikir demikian.
Menurut saya, permasalahan tersebut murni praksiologis. Artinya, bahwa masalah tersebut terkait dengan bagaimana manusia menggunakan means alias cara-cara untuk mencapai tujuannya. Dalam kasus kedua sahabat tersebut, apa yang menjadi problem mereka ialah rendahnya kreativitas dalam meraih tujuannya. Cara mereka dalam melakukan pendekatanlah sebenarnya sumber kegagalan mereka. Cara mereka yang cukup konservatif menurut saya adalah inti jawaban mengapa mereka berdua mendapatkan penolakan.
Di jaman ketika arus informasi begitu kuat serta pemahaman emansipasi yang begitu tinggi. Perempuan sekarang, menurut saya, cukup pandai untuk menilai cowok mana yang dapat membahagiakan diri mereka. Alasan lainnya ialah makin luasnya kebebasan bagi perempuan untuk memilih sendiri cowok mana yang dapat dijadikan sebagai partner hidup. Konsekuensi dari perubahan tersebut ialah makin ketatnya persaingan untuk mendapatkan perempuan dengan kategori high class. Jadi cowok-cowok yang paling dapat menyesuaikan diri dengan karakter si ceweklah yang sebenarnya memiliki peluang lebih tinggi untuk mendapatkan hati si cewek---bukannya hati si ortu,ha2.
Oleh karena itu, cowok sekarang dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam bersikap. Dengan kata lain, cowok sekarang harus memiliki ketrampilan seperti bunglon. Yaitu mampu beradaptasi menurut ‘warna’ lingkungannya. Jika seorang cowok memiliki sifat yang sabar, fleksibel dan toleran, makin besar peluang mereka untuk mendapatkan tujuan yang diinginkannya.
Jadi melakukan cara-cara dengan menganggap bahwa ketika kita mendapatkan hati si ortu seorang cewek kemudian dengan sendirinya akan mendapatkan hati anaknya ialah cara yang kuno. Cara ini, menurut saya, cukup ketinggalan jaman. Cara dimana memanfaatkan otoritas ortu untuk mendapatkan hati seorang cewek bisa dikatakan sebagai cara Orde Baru. Sebuah cara yang meyakini bahwa hubungan kekuasaan dapat menyelesaikan suatu masalah ialah anggapan yang perlu direvisi ulang.
Di sini agar saya tidak disalah mengerti, bukan berarti kita harus mengabaikan peran orang tua---Saya masih menganggap peran orang tua masih penting. Tapi pesan yang ingin saya sampaikan di sini ialah bahwa kita, sebagai cowok, yang sebenarnya ingin mencintai seorang anak manusia---bukannya seorang ibu-bapak manusia--- setidaknya juga menggunakan cara-cara yang lebih manusiawi. Dengan menggunakan otoritas sebagai sarana kita mencapai tujuan, sekali lagi menurut saya, sebenarnya ialah bukan cara yang manusiawi. Cara tersebut ialah cara dimana sebuah pilihan seseorang kita asumsikan dapat dipaksakan. Pilihan, kategori yang paling mendasar dari manusia, yang harus tunduk pada otoritas bukanlah pilihan sesungguhnya, tapi lebih mendekati dengan penjajahan.
Untuk mengakhiri artikel ini, saya merekomendasikan sebuah buku menarik dari Erich Fromm, The Art of Loving. Menurut Fromm, agar seorang mampu mencintai setidaknya dia harus menguasai tiga hal. Pertama, yaitu penguasaan secara teoritis tentang cinta, kedua ialah melatihnya melalui praktek mencintai dan yang ketiga ialah dengan menjadikan cinta sebagai profesi atau keahlian. Sekian, salam Cinta!(Giy)
artikelnya menarik, terimakasih atas informasinya semoga bermanfaat untuk para pembaca, thanks for sharing , nice post
BalasHapusST3 Telkom