PRANATA SOSIAL
Manusia pada dasarnya selalu hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindak tanduk atau perilaku manusia senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri seperti pranata keluarga, pranata ekonomi, pranata pendidikan, pranata politik dan pranata agama dan masih banyak pranata sosial lain yang memiliki fungsi yang sama yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Pengertian pranata sosial secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dikenal dengan lembaga sosial, organisasi sosial maupun lembaga kemasyarakatan, karena di dalam masing –
masing istilah tersebut tersirat adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku setiap warga masyarakat.
Menurut Horton dan Hunt (1987), yang dimaksud dengan pranata sosial (lembaga sosial) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem norma yang mengatur segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokoknya dalam hidup bermasyarakat.
Sistem norma yaitu sejumlah aturan sosial, atau patokan perilaku yang pantas, yang menjadi kesepakatan semua anggota masyarakat untuk dipegang dan dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan bersama.
Istilah pranata sosial berhubungan erat dengan apa yang disebut “lembaga” meskipun keduanya berlainan arti. Dua istilah tersebut berakar dari satu ungkapan bahasa Latin institure yang berarti “mendirikan”. Kata benda dari istilah tersebut adalah institutio yang berarati “pendirian” atau “apa yang didirikan”. Institutio tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan dua istilah yang berbeda yaitu institusi (pranata) dan institut (lembaga).
Institusi adalah sistem norma atau aturan yang ada, sedangkan institut adalah wujud nyata/konkret dari norma-norma tersebut.
Pranata sosial pada hakekatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat di dalamnya selalu dapat dilihat dan diamati-amati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suau konsep atau konstruksi pikir.
Unsur-unsur pranata sosial sesungguhnya bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya sebab manusia-manusia di dalam kelompok atau pranata sosial itu hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari unsur saja. Sehingga dalam kenyataannya mereka itu bisa datang atau pergi dan diganti oleh orang lain tanpa mengganggu eksistensi dan kelestarian dari pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial adalah merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah norma-norma sosial.
Secara umum, tujuan utama diciptakannya pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat bisa berjalan dengan tertib dan lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Untuk mewujudkan tujuannya, menurut Soerjono Soekanto (1970), pranata sosial di dalam masyarakat dengan demikian harus dilaksanakan fungsi-fungsi berikut :
Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.
Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial.
Pranata tumbuh karena kebutuhan masyarkat untuk tujuan keteraturan kehidupan bersama. Karena tujuan keteraturanlah masyarakat akhirnya mempunyai sejumlah norma yang harus dipegang oleh setiap anggota masyarakat manakala ia masih terikat dalam keanggotaan. Sejumlah norma itulah yang kita sebut dengan pranata.
Suatu atau sejumlah aturan tidak secara langsung menjadi pranata begitu saja. Tidak secara otomatis norma yang ada dijadikan pranata kehidupan bersama. Proses sebuah aturan menjadi pranata sosial disebut dengan institusionalisasi (disebut juga dengan istilah pelembagaan).
Institusionalisasi yaitu proses berjalan dan terujinya sebuah kebiasaan dalam masyarakat menjadi institusi/pranata, yang akhirnya menjadi patokan dalam kehidupan bersama.
Proses itu memakan waktu yang lama dan harus melalui proses internalisasi (atau pembudayaan), yaitu pembatinan atau penghayatan kebiasaan dalam kehidupan bersama sehingga menjadi milik diri setiap anggota masyarakat. Sesudah menjadi bagian pranata, maka suatu norma mempunyai kekuatan memaksa agar ditaati.
Pranata menjadi sesuatu yang harus dipegang dan dijadikan aturan yang mengikat dalam masyarakat karena proses bertumbuhnya (institusionalisasi) harus memenuhi 3 syarat yaitu :
Penjelasan di atas akan lebih jelas jika digambarkan seperti bagan berikut :
Dengan demikian ada beraneka ragam pranata, tetapi keanekaragaman itu dapat kita telusuri dengan pendekatan sanksi. Artinya sejauh mana sebuah norma itu mempunyai sanksi sejauh itu pulalah ketatnya pranata dimiliki oleh anggota masyarakat. Sanksi tersebut kita dapatkan pada 4 macam tindakan norma yang mempunyai kekuatan pengikat, yaitu :
a) Cara (Usage), yaitu :
Menunjuk pada suatu bentuk perbuatan, mempunyai kekuatan mengikat yang paling lemah. Bagi individu yang melakukan penyimpangan tidak mendapat sanksi hukuman yang tegas, sanksi yang diterima sifatnya lemah, misalnya berupa celaan dan teguran. Misalnya, cara makan yang benar sesuai dengan norma harus menggunakan tangan kanan, jika ada individu yang makan dengan menggunakan tangan kiri, maka individu tersebut sudah dikategorikan menyimpang, tetapi hanya mendapat teguran saja.
b) Kebiasaan (Folk Ways)
Kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat yang lebih tinggi daripada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama karena orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Contoh, kebiasaan menghormati orang-orang yang lebih tua.
c) Tata Kelakuan (Mores)
Tata kelakukan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai norma pengatur yang bersumber dari kebiasaan. Ciri dari tata kelakuan adalah bahwa tata kelakuan mencerminkan sikap hidup kelompok, sebagai alat pengawas, memaksa suatu perbuatan, melarang dan menuntut anggota masyarakat untuk beradaptasi.
d) Adat-istiadat (Custom)
Tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya (menyatunya) dengan pola-pola perilaku masyarakat, lama-kelamaan meningkat kekuatan mengikatnya menjadi adat-istiadat. Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan mendapat sanksi yang tegas dan keras.
Dalam kehidupan masyarakat banyak ditemui berbagai pranata sosial, sehingga sering tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu pranata sosial sebagai suatu sistem norma mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri ini dirasakan perlu untuk membedakan apakah sistem norma tersebut dianggap sebagai suatu pranata atau bukan. Beberapa ciri yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut.
Pranata sosial merupakan sistem pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang tersusun atau berstruktur.
Pranata sosial itu relatif mempunyai tingkat kekekalan tertentu.
Pranata sosial itu mempunyai tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan
Pranata sosial mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuannya
Pranata sosial memiliki lambang-lambang atau simbol sebagai ciri khasnya
Pranata sosial mempunyai tradisi tertulis maupun tidak tertulis
Pranata dapat diklasifikasikan dari berbagai sudut. Berikut ini ditunjukkan beberapa tipe pranata sosial menurut Gillin dan Gillin (Soerjono Soekanto, 1987).
a. Berdasarkan Sistem Nilai yang Diterima Masyarakat
basic institutions, pranata sosial yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib masyarakat, misalnya keluarga, sekolah, dan negara.
subsidiary institutions, pranata yang dianggap masyarakat kurang penting, misalnya kegiatan rekreasi..
b. Berdasarkan Perkembangannya
crescive institutions, pranata sosial yang tidak disengaja tumbuh (dengan sendirinya tumbuh ) dari adat-istiadat masyarakat sehingga disebut juga pranata yang paling primer. Contoh ; pranata hak milik, perkawinan dan agama
enacted institutions, pranata sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Contoh : pranata utang-piutang dan pranata pendidikan.
c. Berdasarkan Sudut Penerimaan Masyarakat
approved institutions, pranata sosial yang diterima oleh masyarkat, seperti pranata sekolah dan perdagangan.
unsanctioned institutions, pranata sosial yang ditolak oleh masyarakat meskipun masyarakat tidak mampu memberantasnya, misalnya pemerasan, kejahatan dan pencolengan
d. Berdasarkan Penyebarannya
general institutions, pranata yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia, misalnya pranata agama, hak-hak asasi manusia (HAM)
resticted institutions, pranata sosial yang hanya dikenal oleh sebagian masyarakat tertentu, misalnya pranata agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha.
e. Berdasarkan Fungsinya
cooperative institutions, pranata sosial yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya pranata industri.
regulative institutions, pranata sosial yang berfungsi mengawasi adat-istiadat atau tata kelakukan yang ada dalam masyarakat, misalnya kejaksaan dan pengadilan.
Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai-nilai yang menentukan lembaga kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarkat yang kemudian dianggap berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Akan tetapi di dalam setiap masyarakat sedikit banyak akan dapat dijumpai pola-ola yang mengatur hubungan antara lembaga-lembaga kemasjyarakatan tersebut. Sistem dari pola-pola tersebut lazimnya dinamakan institutional configuration. Sistem tadi dalam masyarakat homogen dan tradisional mempunyai kecendrungan untuk bersifat statis dan tetap. Lain halnya dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial, maka sistem tersebut seringkali mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggapan baru tentang kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutuhan pokoknya.
Dengan pertakaan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini, hukum dapat merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa (prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;
6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum;
7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tidak mustahil bahwa hukum akan berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Disarikan dari : “Sosiologi & Politik Ekonomi” Oman Sukmana
“Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan” J. Dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)
“Pokok-Pokok Sosiologi Hukum “Prof. Dr. Soerjono Soekanto, S.H.,M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar