NILAI DAN NORMA SOSIAL
Di dalam masyarakat manusia selau ada, dan selalu dimungkinkan adanya, apa yang disebut double reality yaitu :
1. Sistem fakta, yaitu sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan ada.
2 Dan di lain pihak ada sistem normatif, yaitu sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada.
Kedua sistem tersebut bukan dua realitas yang identik namun keduanya tidak saling berpisahan dan keduanya ada pertalian yang erat.
Pertama-tama, sistem fakta berfungsi sebagai determinan sistem normatif. Artinya, bahwa apa yang dibayangkan di dalam mental sebagai suatu keharusan itu sesungguhnya adalah selalu sesuatu yang di alam kenyataan merupakan sesuatu yang betul-betul ada, dan atau mungkin ada. Norma atau keharusan selalu dipertimbangkan dalam kenyataan dan mempertimbangkan pula segala kemungkinan yang ada di dalam situasi fakta.
Sementara itu, di lain pihak sistem normatif pun pada gantinya balik mempengaruhi sistem fakta (kenyataan). Di dalam hal ini, wujud dan bentuk perilaku-perilaku kultural yang di alam kenyataan ditentukan oleh pola-pola kultural yang telah diketahui di dalam mental sebagai keharusan-keharusan yang harus dikerjakan.
PENGERTIAN NILAI SOSIAL
Nilai merupakan sesuau yang baik, yang diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh warga masyarakat. Nilai terbentuk dari apa yang benar, pantas, dan luhur untuk dikerjakan dan diperhatikan. Nilai bukanlah keinginan, melainkan apa yang diinginkan, jadi bersifat subjektif. Selain itu nilai juga bersifat relatif karena apa yang menurut kita sudah benar dan baik belum tentu disebut nilai. Penentuan suatu nilai harus didasarkan pada pandangan dan ukuran orang banyak. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan :
TOLOK UKUR NILAI SOSIAL
Tolok ukur nilai sosial adalah daya guna fungsional suatu nilai dan kesungguhan penghargaan, penerimaan atau pengakuan yang diberikan oleh seluruh atau sebagian besar masyarakat terhadap nilai sosial tersebut, sehingga harus memenuhi syarat :
a. Penghargaan itu harus diberikan dan disetujui oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat.
b. Tolok ukur itu harus diterima sungguh-sungguh oleh masyarakat, minimal oleh sebagian besar.
JENIS-JENIS NILAI SOSIAL
Menurut Prof. Dr. Notonagoro, nilai dapat dibagi atas tiga jenis.
a. Nilai material, segala benda yang berguna bagi manusia
b. Nilai vital, segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat hidup dan mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai spiritual, segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia ; nilai kebenaran(logika), nilai keindahan(estetika), nilai moral (etika), nilai religius.
Norma merupakan konstruksi-konstruksi imajinasi (artinya, suatu konstruksi yang hanya ada karena dibayangkan di dalam pikiran-pikiran) dan banyak dipengaruhi oleh daya kreatif mental, namun norma-norma ini-sebagai norma, atau keharusan, yang bertujuan merealisasi imajinasi mental ke wujud-wujud konkret di alam kenyataan-haruslah memahami betul-betul alam realita dan fakta sehingga memberikan efek di alam kenyataan.
Menurut M. Sitorus, norma adalah kadiah atau aturan berbuat dan berkelakuan yang dibenarkan untuk mewujudkan cita-cita. Singkatnya bila nilai merupakan pola kelakuan yang diinginkan, maka norma dapat disebut sebaga cara-cara kelakuan sosial yang disetujui untuk mencapai nilai tersebut.
Daya Ikat Norma
Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Berdasarkan daya ikat norma dibedakan :
a. Cara (usge). Cara menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang mempunyai daya ikat yang sangat lemah.
b. Kebiasaan (folkways). Diterjemahkan menurut arti kata-katanya, folkways itu berarti tata cara (ways) yang lazim dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan (folk). Folkways merupakan norma-norma sosial yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang-orang kebanyakan-di dalam hidup mereka sehari-harinya – karena dipandang sebagai suatu hal yang lazim.
Folkways kebanyakan dianut orang di dalam batas-batas kelompok tertentu. Ancaman-ancaman sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran folkways pun hanya akan datang dari kelompok-kelompok tertentu saja. Oleh karena itu maka sanksi-sanksi informal yang mempertahankan folkways sering kali terbutki tidak efektif kalau ditunjukkan kepada orang-orang yang tidakmenjadi warga penuh dari kelompok pendukung folkways itu.
c. Tata kelakuan (Mores). Apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara perilaku saja, tetapi diterima sebagai norma pengatur maka kebiasaan tadi menjadi tata kelakuan. Dibandingkan dengan norma-norma folkways yang biasanya dipandang relatif kurang begitu penting-dan oleh karenanya dipertahankan oleh ancaman-ancaman sanksi yang tidak seberapa keras-maka apa yang disebut mores itu dipandang lebih esensial bagi terjaminnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman-ancaman sanksi yang jauh lebih keras. Pelanggaran terhadap mores selalu disesali dengan sanat, dan orang selalu berusaha dengan amat kerasnya agar mores tidak dilanggar.
Mores sering dirumuskan di dalam bentuk negatif, berupa sebuah larangan keras. Mores yang dirumuskan di dalam bentuk larangan ini disebut tabu. Sebagai contoh tabu ini, misalnya adalah larangan incest, yaitu larangan perkawinan antara orang-orang yang dipandang masih berdarah dekat.
d. Hukum. Hukum adalah aturan tertulis maupun tidak tertulis yang berisi perintah atau larangan yang memaksa dan yang akan memberikan sanksi yang tegas bagi setiap orang yang melanggarnya. Berbeda halnya dengan folkways dan mores, pada hukum didapati adanya organisasi-politik khususnya, yang secara formal dan berprosedur bertugas memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Inilah organisasi yang lazim dikenal dengan nama badan peradilan. Apabila suatu mores memerlukan kekuatan organisasi peradilan semacam itu agar penataannya bisa dijamin, maka sesegera itu pula mores itu telah bida dipandang sebagai hukum. Di sisi lain, karena mores itu tak lain adalah kaidah-kaidah yang tak tertulis, maka hukum yang dijadikan dari mores-dengan ditunjang oleh wibawa suatu struktur kekuasaan politik-ini pun lalu merupakan hukum yang tak tertulis (atau lazim dinamakan hukum adat, customary law).
Sumber : Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan ( J.Dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed).
Berkenalan dengan Sosiologi ( M. Sitorus ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar