Sejarah Danau Bandung
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandung” (Bandung Basin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau (Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh.
Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas volkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak ini, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung samapai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu volkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Meneropong Gunung Tangkuban Perahu memakai Teleskop Bumi sangat mengasikkan, kita bisa melihat alur-alur lembah nan hijau dengan sangat jelas. “Wow !” deretan pohon Pinus berjajar di sisi hamparan kebun Teh yang terhampar luas bak permadani yang sangat indah. Gunung Tangkuban Perahu memang unik bentuknya, seperti sebuah perahu raksasa tapi dengan posisi tertelungkup. “Kira-kira seberapa panjang dan lebarnya ya ?” yang pasti sangat besar. Kalau sebesar itu perahunya tentu yang membuatnya dahulu adalah seorang Satria yang Sakti Mandraguna. Bisa kita bayangkan suasana zaman dahulu itu seperti apa ya ? Tentu kalian ingin mengetahui lebih jauh bukan, untuk itu kita simak kisah serunya :
Sebenarnya Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu Sisa letusan gunung purba yang sangat besar kala itu. Gunung itu dahulu disebut Gunung Sunda yang meletus pertama kali sekitar 105.000 tahun yang lalu. Sekitar 55.000 sampai 50.000 tahun yang lalu Gunung Sunda meletus untuk keduakalinya, nah letusan yang kedua ini menjadikan Gunung Sunda terpecah menjadi tiga Gunung yang lebih kecil, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukittunggul. Tahukah kalian bahwa saat itu dataran Gunung Sunda Purba telah dihuni oleh manusia purba. Homo Sapiens dan Manusia Jawa (Wajak) yang hidup antara 50.000 sampai 62.000 tahun yang lalu, katanya merekalah yang tinggal di lereng dan lembah Gunung Sunda purba. Apakah ada kaitannya dengan nama suku di Jawa Barat yaitu suku Sunda ?
Teman-teman, Sunda sebenarnya berasal dari kata “Su” yang berarti abadi atau sejati, “Na” yang berarti api dan “Da” yang berarti besar atau agung. Sunda berarti “Api Abadi yang Agung” tak lain adalah Matahari sebagai penyokong kehidupan manusia. Matahari adalah lambang Hyang agung yang berada di langit. Banyak yang menamakan Sunda sebagai : pemberi kehidupan, Hyang Manon (di Mesir), Guru Hyang, Guring (Sangkuriang), Su-ra. Sunda zaman dahulu adalah sebuah ajaran agama yaitu agama Matahari. Konon di tatar Jawa Barat Agama Sunda pertama dianut manusia yang selanjutnya berkembang ke Mesir dan berbagai benua kala itu. Kita mengenal sekarang suku Sunda tinggal di bumi Parahyangan, “Pa” berarti tempat, “Ra” berarti Matahari dan “Hyang” berarti leluhur, jadi “Parahyangan” berarti “Tempat Para Leluhur”. Agama Sunda saat itu mengajarkan cinta kasih dan rasa syukur berterima kasih atas karunia, oleh karena itu Agama Sunda mengajarkan diadakan upacara Bende-Ra (Panji Matahari) yang disertai sesajian kepada Sang Hyang (para leluhur). Penghormatan kepada Matahari mereka simbolkan pada bangunan unik seperti Pepunden Berundak, Candi, Pyramid, obelish yang semua puncak bangunannya menunjuk ke atas yaitu Matahari. Bahkan dalam upacara tersebut juga sering dibuat Sang-Hu-Tumpeng, yaitu nasi yang dibentuk kerucut lancip keatas yang juga menghormati Matahari. Jadi Sunda awalnya adalah Agama Matahari tertua di bumi teman-teman, bukan suku atau ras manusia. Sopan-santun juga adalah salah satu ajaran Agama Sunda. Bukankah suku Sunda sangat terkenal dengan keramahan dan sopan-santunnya teman-teman ! Itulah sisa-sisa Agama Sunda Purba yang masih dipegang sebagai taradisi budaya mereka.
Kembali ke Gunung Sunda Purba, Gunung tersebut dahulu berada disisi Danau yang sangat luas. Danau yang luas itu tentu juga sangat dalam. Danau itu memang ada lo ! Bukti yang masih bisa kita lihat bersama adalah adanya Gunung-Gunung Kapur di daerah Padalarang sebelah Barat Bandung. Kapur itu terbentuk dari cangkang hewan-hewan air yang bertumpuk dan mengendap selama ribuan tahun. Dari Padalarang melewati Cianjur hingga ke Sukabumi banyak ditemukan fosil-fosil hewan laut, karena memang Danau Purba itu dahulu mengalir melewati daerah-daerah tersebut menuju lautan Pelabuhanratu Sukabumi. Danau itu terbentuk sekitar 125.000 tahun yang lalu dan mengering 16.000 tahun yang lalu. Sudah lama sekali ya ! Setelah Gunung Sunda meletus dan salah satunya menyisakan Gunung Tangkuban Perahu, pantas jika ada perahu terbalik di tepi Danau bukan ? Nah ada Legenda lama yang turun-temurun telah diceritakan di tengah-tengah masyarakat Sunda, Legenda Sangkuriang. Tentu kalian telah atau sering mendengar kisahnya, sepertinya antara Gunung Tangkuban Perahu dan Sangkuriang tidak bisa dipisahkan dalam Legenda itu.
Legenda Sangkuriang tertulis pada naskah kuno pada helaian daun Palem yang ditulis oleh Bujangga Manik sekitar akhir abad ke-15 Masehi. Dalam naskah tersebut diceritakan Pangeran Bujangga Manik atau Pangeran Jaya Pakuan atau Ameng Layaran berkelana panjang mengunjungi tempat-tempat suci Hindu dari tatar Jawa hingga tatar Bali. Ia tiba di Bumi Parahyangan Bandung kala itu dan menuturkan cerita Sakakala Sangkuriang.
Dikisahkan bahwa Raja Sungging Perbangkara yang sedang berburu di hutan tidak tahan untuk kencing, ia hampiri pohon keladi Hutan dan kencing di kelopak daun keladi Hutan tadi atau Caring dalam istilah Bahasa Sunda. Tak lama ada seekor Babi betina bernama Wayungyang yang sedang bertapa ingin menjadi manusia, karena sudah lama bertapa ia kehausan, ia melihat air seni tadi dan langsung meminumnya. Namun setelah itu Wayungyang hamil, terlahirlah seorang putri cantik. Putri Cantik itu dibawa oleh ayah Wayungyang ke Keraton dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Kecantikan Dayang Sumbi membuat para raja-raja berlomba untuk meminangnya, banyak peperangan yang terjadi antar kerajaan karena memperebutkan Dayang Sumbi . Tak satupun yang Dayang Sumbi terima pinangan itu, semua itu membuat Dayang Sumbi kecewa dan memilih untuk meninggalkan kemewahan keraton. Dayang sumbi pergi mengasingkan diri ke sebuah bukit dengan ditemani oleh seekor Anjing jantan hitam yang bernama Si Tumang. Dayang Sumbi hidup damai, ia senang menenun kain. Ketika torak (alat pemancing benang) jatuh ke bawah, karena malas ia berseloroh mengucapkan janji, “Siapapun yang mengambilnya jika ia leleki maka akan ia jadikan suami !” Si Tumang yang memang berada dekat, mengambilnya dan memberikan kepada Dayang Sumbi. Karena janji itu Dayang Sumbi mengawini Si Tumang dan terlahirlah seorang anak lelaki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda tampan dan gesit, ketika ia sedang berburu ke hutan bersama Si Tumang, ia menyuruh Si Tumang untuk mengejar seekor Babi betina yang tak lain adalah Wayungyang. Seperti mengetahui siapa Wayungyang itu Si Tumang tak mau menuruti perintang Sangkuriang. Sangkuring menjadi murka, ia menghunuskan tombak kepada Si Tumang. Si Tumang mati bergelimang darah, Sangkuriang membawa Hati Si Tumang pulang ke rumah. Sesampai di rumah Hati itu berikan kepada ibunya Dayang Sumbi untuk dimasak. Setelah mereka selesai menikmati Hati itu, Sangkuriang baru menceritakan bahwa Hati itu sebenarnya Hati Si Tumang. Betapa geram Dayang Sumbi mengetahui itu dan dengan secepat kilat ia pukulkan sendok yang terbuat dari tempurung Kelapa itu tepat di dahi Sangkuriang. Dahi Sangkuriang berdarah dan ia pergi berkelana mengelilingi dunia. Karena Bumi itu Bundar, perjalanannya yang berawal dari Timur telah kembali lagi ke arah Barat. Karena sudah lama ia meninggalkan perkampungannya dahulu, ia sudah tidak mengenali lagi bahwa seorang putri cantik yang bertemu dengannya adalah Dayang Sumbi yang tak lain adalah ibunya sendiri. Mereka awalnya terlihat sangat akrab namun betapa terkejutnya ketika rambut Sangkuriang tersibak oleh angin, Dayang Sumbi sangat mengenali bekas luka di dahi Sangkuriang. Sangkuriang tak mau tahu dengan apa yang diceritakan Dayang Sumbi, kecantikan Dayang Sumbi sudah membuatnya mabuk akan cinta. Sangkuring tetap memaksa Dayang Sumbi agar mau dijadikan istri. Dayang Sumbi pun mencari akal agar semua itu tak terjadi, ia meminta syarat kepada Sangkuring agar dibuatkan sebuah perahu besar dan telaga luas dengan membendung sungai Citarum.
Sangkuriang menemukan sebuah pohon raksasa yang ia temui di sebelah Timur. Ia menebang pohon besar itu dan tunggul pohon itu menjadi Gunung Bukit Tunggul. Ranting-rantingnya ia tumpuk dan menjadi Gunung Burangrang. Perahu pun telah ia selesaikan, tinggal membendung aliran Sungai Citarum. Dengan kesaktiannya bendungan itupun hampir selesai ia kerjakan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan khawatir, maka ia memohon kepada Sang-Hyang-Tunggal agar segera menerbitkan fajar meskipun belum waktunya. Dayang Sumbi kemudian mengiris-iris kain tenunannya yang berwarna putih dan menebarkannya ke langit, tak lama kemudian fajar menyingsing di ufuk Timur. Betapa Sangkuriang kecewa dan murka, bendungan Sang Hyang Tikoro yang hampir selesai itu ia jebol dan buka sumbatannya. Sumbat itu ia lemparkan sekuat tenaga ke arah Timur dan menjadi Gunung Manglayang. Air danau itu kembali surut, perahu besar itu kini yang menjadi sasaran tendangan dahsyatnya. Dengan angkara murka dan kesaktiannya ia tendang perahu besar itu ke arah utara, perahu itu melayang dan tertelungkup di dataran Lembang dan menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuring geram dan mengejar Dayang Sumbi, Dayang Sumbi berlari ke arah Gunung Putri. Dayang Sumbi merubah wujudnya menjadi Bunga Jaksi agar Sangkuriang tak mengenalinya lagi. Sangkuriang dengan sedih dan kecewa yang mendalam berjalan ke arah Ujung Berung. Sangkuriang akhirnya melebur dalam kegaiban.
Nah teman-teman, sebenarnya banyak pesan dan hikmah yang kita temukan dan bisa kita teladani dari Legenda di atas. Kita harus bersikap saling kasihi dan pandai bersyukur kepada Sang Maha Pencipta apapun agama kita. Saling menyayangi dan bersikap sopan dan santun pada siapapun. Kita harus menegakkan kebenaran yang hakiki di muka Bumi ini. Sikap amarah tentu akan membawa kehancuran dan ketidakberuntungan sebaliknya sikap welas asih akan membawa ketentraman dunia yang kita huni ini. Kitapun harus selalu bersikap baik dalam bersikap kepada teman, orang tua dan orang yang menjadi guru kita, sebaiknya kita selalu menghargai dan mau tolong-menolong terhadap sesama.
Gunung Sunda ?? pasti banyak orang akan mengernyitkan dahinya .. dan bertanya ada yah gunung yang bernama Gunung Sunda ?. Ya gunung sunda merupakan “Orang Tua” dari gunung Tangkubanperahu. Dan Gunung Tangkubanperahu tersebut sebenarnya hasil dari letusan dasyat Gunung Sunda , saking dasyatnya letusan tersebut membentuk kaldera yang sangat luas dan ditengah kaldera tersebut munculah gunung yang sekarang di namakan Gunung Tangkubanperahu. Kalau di runut kebelakang lagi sebenarnya masih ada “kakek-nya” Gunung Tangkubanperahu yang bernama Gunung Sunda Purba, atau kalau Pak T.Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung menamakannya gunung Jayagiri. Jadi dari gunung Jayagiri/Sunda Purba meletus muncul Gunung Sunda dan Gunung Sunda meletus muncul Gunung Tangkubanperahu.
Situ Lembang, lembah sempit berbentengkan dinding kaldera gunung Sunda. Di timur terlihat gunung berselimit kabut, Gunung Tangkubanperahu membiru (2.084 m.dpl). Dari Situ Lembang, bentuk gunung ini terlihat tidak seperti perahu yang terbalik. Jadi sangat mungkin, yang menciptakan sakakala Sang Kuriang – Dayang Sumbi itu adalah orang dari selatan gunung ini, yang setiap hari melihatbentuk gunung seperti perahu yang terbalik.
Di Barat dan uatara danau, sejak lawang angin hingga di utara Situ Lembang, membentang dinding kaldera Gunung Sunda, saksi sejarah keberadaan raksasa Gunung Sunda (+-4000 m.dpl) yang meletus dasyat hingga membentuk kaldera, kawah raksasa dengan garis tengahnya sepanjang tujuh kilkometer. (sumber T.Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).
Sebenarnya sudah lama saya ingin sekali mengunjungi Situ Lembang tapi berhubung sekarang daerah tersebut di ‘Pegang’ oleh Kopassus maka tidak sembarangan orang di kasih izin buat mengunjungi daerah tersebut. Keinginan saya tersebut semakin besar setelah membaca (atau lebih tepatnya ‘teracuni’ ) buku karangan Pak T.Bachtiar dan Pak Budi Brahmantyo (Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung — KRCB) yang berjudul “Wisata Bumi Cekungan Bandung”. Saya terkesan sekali baca buku itu .. dan jujur saya katakan itu buku kedua bagi saya dan keluarga saya yang menjadi bacaan wajib kami semua yang tentunya buku pertama itu adalah buku2 tebal dan lecek2 karangan kuncen Bandung, Haryonto Kunto (“Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”), dan tidak ada paksaan untuk membaca buku tersebut malah antri menunggu giliran hehe . Membaca buku2 tersebut seperti mengendarai mesin waktu buat melintas di lorong waktu dan membebaskan pikiran kita untuk berimajinasi sendiri dan kembali ke waktu dimana buku tersebut bercerita. Beruntung kali ini saya bisa berjumpa dan bahkan mendapat penerangan yang lebih dari yang saya perkirakan dari para penulis buku tersebut. Dan berbeda dengan buku2 sebelumnya yang saya sendiri tidak sempat melihat atau bercakap dengan penulisnya (Alm. Haryonto Kunto)
Dan kebetulan Matabumi sebagai komunitas dari pembaca buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” meng-invite saya di pesbuk dalam rangka GeoTrek ke Situ Lembang, dan tanpa pikir panjang langsung saya confirm hehe. Ada dua alasan utama kenapa saya ikut, pertama sebenarnya tour geotrek ini dah sering di adakan dan saya belum pernah satu kalipun ikut, kedua saya ingin melihat 2 orang sosok yang tidak bertanggung jawab yang dengan tega telah memenuhi racun wisata bumi cekungan Bandung di otak saya dengan tulisan2 di bukunya hehe .
Sabtu 12 February 2011, pagi2 jam setengah 6 saya sudah siap berangkat ke kampus UPI Bandung, padahal malamnya saya baru sampe ke Bandung dari Jakarta sekitar jam 8 malem dan kebetulan baru turun dari kereta ada yg ngajakin nongkrong di dago atas sampe malam sekitar jam 11 malem , nyampe rumah sekitar jam setengah satu malem. Tapi tetep bisa bangun pagi2 karena emang akan melakukan sesuatu yang saya sukai hehe. Yang saya takutkan cuma satu apakah trekingnya berat atau tidak karena benar2 kurang tidur. Dan ternyata komunitas ini cair banget dari peserta yang masih duduk di bangku SD sampe kakek yang berumur 72 tahun ikut .. dari sini saya lebih percaya diri kalo trek yg akan di lalui tidak akan sulit. Dan perkiraan saya 100% bener trek yang di lalui benar-benar nyantei dan tidak sulit tetapi tetap memberikan pengetahuan yang luas karena sepanjang perjalanan Pak Budi sama Pak T.Bachtiar tanpa henti memberikan penjelasan tentang ilmu bumi.
Setelah jalan-jalan (lupa berapa lamanya hehe) keliling di hutan dan sampai di Situ Lembang, saya agak terpana melihat keindahan dan KEBERSIHAN-nya, saya lalu berpikir kembali mungkin pengelolaan Situ Lembang yg sekarang tertutup dan di pegang Kopassus memberikan manfaat lebih buat keasrian,kelestarian dan kebersihan Situ Lembang. ”Kuliah umum’ kembali di lanjutkan pasca istirahat makan siang setelah itu sholat dan sesi poto2, akhirnya waktu juga yg membuat kami harus berpisah …
Letusan Gn. Sunda Membendung Ci Tarum Jadi Danau Bandung Purba
Di utara Bandung, di tempat Gunung Tangkubanparahu sekarang, terdapat gunungapi raksasa. Gunung Jayagiri, namanya. Gunung ini kemudian meledak dahsyat hingga mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera, kawah yang sangat luas. Dari sisi kaldera Jayagiri ini tumbuh gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan maha dahsyat Gunung Sunda telah mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera. Dari kaldera Gunung Sunda inilah Gunung Tangkubanpararahu terbentuk. Sampai sekarang, cucu Gunung Jayagiri ini terus memperlihatkan aktivitasnya, membentuk dirinya mengikuti jejak alam leluhurnya.
Komplek Kaldera Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanparahu menyimpan sejarah bumi yang sangat panjang. Gunung ini mempunyai daya pikat dan pesona yang luar biasa, sehingga terus mendapat perhatian.
Kawasan ini bukan hanya memiliki keragaman bumi, melainkan juga keragaman hayati, baik flora maupun faunanya. Macan tutul (Panthera pardus sondaicus) yang menjadi simbol fauna Jawa Barat pun masih terdapat di sana.
Mochamad Nugraha Kartadinata (MNK, 2005) telah mengaji secara mendalam Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Sunda. Data hasil kajianya dijadikan dasar dalam tulisan ini.
Gunung Sunda (1.854 m.dpl.) yang terdapat dalam peta, itu hanyalah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar 20 km. lebih, dengan ketinggian ± 4.000 m.dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu, sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya. Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 m.dpl., artinya, tinggi gunung tersebut hanyalah satu per tiga bagian dari Gunung Sunda.
Sebelum Gunung Sunda terbangun, di sana terdapat Gunung Jayagiri. Letusan-letusan pertamanya mengalirkan lava, yang terjadi dalam rentang waktu antara 560.000-500.000 tahun yang lalu. Kemudian letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera.
Tiga abad kemudian, dari dalam kaldera itu terjadi letusan yang membangun gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan dahsyat Gunung Sunda oleh MNK dibagi menjadi tiga episode letusan utama.
Episode pertama berupa letusan-letusan yang mengalirkan lava, terjadi antara 210.000-128.000 tahun yang lalu. Episode kedua, terjadi 13 unit letusan, dalam satu unit letusan dapat terjadi lebih dari satu kali letusan besar. Episode ketiga berupa letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu.
Episode ketiga letusan Gunung Sunda dibagi lagi menjadi tiga fase letusan: Pertama fase plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat tinggi, melontarkan material sebanyak 1,96 km3 ke angkasa, membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payung letusan sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7 km.
Kedua fase freatomagmatik, letusan yang melontarkan awan debu dengan butiran-butiran kerikil gunungapi, volumenya 1,71 km3.
Ketiga fase ignimbrit, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3, yang mengarah ke baratlaut, selatan, dan timurlaut dari pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, Kampung Manglayang, Cipeusing, dll. Belum terhitung 40% dari total material gunungapi yang melayang-layang di angkasa dan jatuh di belahan bumi yang sangat jauh. Karena banyaknya material yang dikeluarkan, mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda, membentuk kaldera seluas 6,5 x 7,5 km.
Pada letusan dahsyat fase ketiga inilah material letusan Gunung Sunda dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara terkubur bersamaan dengan mahluk hidup yang ada di dalamnya seperti badak, rusa, kijang, dan lain-lain yang sedang berada di lembah Ci Tarum, yang jaraknya ±35 km. dari pusat letusan (Umbgrove dan Stehn: 1929, R.W. van Bemmelen: 1936, Th. H.F. Klompe: 1956). Arang kayu seukuran drum yang melintang serah datangnya awan panas ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, Kota Cimahi.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, letusan Gunung Sunda fase ketiga itulah yang telah mengurug Ci Tarum Purba di utara Padalarang, membentuk danau raksasa, Danau Bandung Purba. Bagian sungai ke arah hilir yang tidak tertimbun disebut Ci Meta, sungai kecil dalam lembah besar Ci Tarum Purba.
Jadi, yang selama ini dianggap bahwa letusan Gunung Tangkubanparahu yang telah membendung Ci Tarum itu terbantahkan, karena sebelum gunung ini meletus, ada gunung yang meletus sangat dahsyat, yaitu letusan Gunung Sunda.
Dari kaldera Gunung Sunda itu kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu. Letusan-letusannya dibagi ke dalam dua kategori letusan, yaitu: letusan Gunung Tangkubanparahu tua, antara 90.000-10.000 tahun yang lalu, yang pernah meletus sebanyak 30 unit letusan, dan letusan Gunung Tangkubanparahu muda, antara 10.000 - 50 tahun yang lalu, yang meletus 12 unit letusan.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunungapi ke dalam 9 tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya menghembuskan fumarola hingga derajat IX yang melontarkan material gunungapi lebih dari 100 km3. Bila gunungapi itu mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10-100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan VIII. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada letusan fase ketiga melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60%-nya saja, sebab yang dihitung hanya yang mengendap di permukaan. Sedangkan yang diterbangkan ke berbagai penjuru bumi tidak dihitung, jumlahnya mencapai 40%. Bila seluruhnya dijumlahkan, kedahsyatan Gunung Sunda mendekati kategori IX.
Sebagai bandingan, letusan dahsyat Gunung Krakatau 1883 hanya melontarkan material sebanyak 18 km3, dan letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghamburkan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX (K. Kusumadinata, 1979).
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Jayagiri, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkubanparahu, merupakan keragaman bumi yang luar biasa dan sangat baik bila dijadikan laboratorium alam untuk pembelajaran bagi warga kota.
Talaga Bandung Purba
Talaga Bandung panjangna kira 50 km, lébarna 30 km, mimiti ti Cicaléngka beulah wétan, nepi ka Rajamandala beulah kulon, jeung ti Majalaya, Banjaran beulah kidul nepi ka Dago beulah kalér. Ditilik sacara géomorfologi, talaga Bandung téh rada déngdék ka beulah kulon jeung kira béh tengah aya galengan saolah olah talaga teh dibagi dua nyaéta beulah wétan jeung beulah kulon. Ieu galengan téh perenahna aya di Curug Jompong. Pikeun babandingan, jerona talaga Bandung Purba téh mun kiwari mah di wewengkon Cigéréléng 45 m, Buahbatu 49 m, Cibiru 52 m, Pasirkoja 39 m, Tolo Kopo 54 m.
Rangkayan gunung kuna nu ngurilingan talaga Bandung, di antarana Gunung Puncaksalam, Pasir Kamuning, Pasir Kalapa, Gunung Lalakon, Pasir Malang, Gunung Selacau, Lagadar, Padakasih, Jatinunggal, nepi ka Gunung Bohong di beulah kidul Cimahi.
Talaga Bandung beulah kulon mimiti ngorotan kira kira 6000 taun nu geus kaliwat, nu pangheulana bobol téh nyaéta di daerah Pasir Kiara (aya ogé nu nyebutkeun di Sanghyang Tikoro) beulah kidul Rajamandala.
Di jaman kuartier kala pleistosen, kira kira 500.000 taun nu geus kaliwat, Gunung Sunda (purba) mimiti mucunghul, gunung api raksasa anu rohaka, dibeulah wétanna aya gunung Bukittunggul jeung beulah kulonna aya gunung Burangrang. Gunung Sunda ngajegir, jangkungna kira antara 3000-4000 méter. Tangkuban Parahu harita can aya.
Kira kira 375 rébu taun lilana Gunung Sunda ngajegir, nangtawing jadi tanda Tatar Sunda, nepi ka 125 rébu taun nu geus kaliwat Gunung Sunda mimiti bitu, sagala material gunung mancawura, bukti anu masih keneh katingal tug nepi ka kiwari nyaéta ayana “patahan Lémbang” anu panjangna kira-kira 22 km ngulon-ngétan. Mun hoyong atra mah coba tingali ti Maribaya beulah kidul, atawa di beulah kidul Pasar Lémbang. Ti dinya atra katingal patahan Lémbang. Tina matrial bituna Gunung Sunda téh di antarana nya ngajadikeun Talaga Bandung sok sanajan harita mah caina can pinuh pisan.
Sanggeus Gunung Sunda bitu, dina tengah-tengah urut bituna mimiti bijil gunung anyar, nyaéta pisan cikal bakal gunung Tangkuban Parahu. Jadi, Tangkuban Parahu téh anakna Gunung Sunda (purba).
Gunung T. Parahu bitu 70 rébu taun nu geus kaliwat, tah matrial tina bitu gunung T. Parahu téa nu leuwih numpuk ngajadikeun Talaga Bandung beuki ngalegaan nya nepi ka 35 rébu taun kaliwat nu dianggap panggedéna cai Talaga Bandung (dina mangsa kiwari ogé aya nu disebut Gunung Sunda di beulah kalér Gunung Tangkuban Parahu, ngan Gunung Sunda ieu mah teu jangkung, ngan ukur 1000 méteran.)
Dina mangsa kiwari, lamun téa mah Gunung Tangkuban Parahu bitu deui (da nepi ka ayeuna ge G. Tangkuban Parahu téh tetep dianggap gunung nu aktip), naha Talaga Bandung bakal kajadian deui…?
Gunung Tangkuban Parahu atau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.
Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Legenda rakyat setempat
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Gunung Tangkuban Parahuatau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsiJawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalahsulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Legenda Sangkuriang
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sundadan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Sejarah Bandung
Gunung Sunda Purba
Tahukah Anda Bandung dulunya adalah sebuah gunung raksasa yang meletus kemudian menjadi kawah raksasa? Dan warga Bandung sekarang tinggal di kawah itu. Ingin tahu penjelasannya? Check it Out!
Berdasarkan penelitian dan ditenggarai ditemukannya bukti-bukti alam terbentuknya daratan Bandung purba yang sangat berharga. Di antaranya kars (batu kapur) di Citatah, Padalarang, Kab. Bandung Barat, sebagai bukti daerah itu pada zaman Miosen awal (23 – 17 juta tahun lalu) pantai utara (pantura) ada di sana. Kini kawasan itu dikenal antara lain dengan Karangpanganten, Karanghawu, Pasir (Bukit Pabeasan), dll.
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandung” (BandungBasin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau (Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung sampai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang (Kabupaten Bandung) dan sedalam 104 m di Sukamanah (Kabupaten Bandung); melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukanGunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang (Kabupaten Bandung Barat), yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten (Kota CImahi) 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi antara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Asal-Usul Bandung
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
1. Sebagian mengatakan bahwa, kata "bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" yang mana dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
2. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung.
3. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung. Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) sampai Cicalengka (Kabupaten Bandung) (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu (Kabupaten Bandung Barat) sampai Soreang (Kabupaten Bandung) (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten Bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Setelah beberapa serangkaian peristiwa, seperti Kekalahan Dipati Agung dan Pembangkangan Dipati Ukur, daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai Ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja.
· hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan,
· hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang,
· hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),
· hak berburu dan menangkap ikan dan
· hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebutPreangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Herman Willem Daendels
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang terletak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur).
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung.
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandung” (Bandung Basin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau (Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh.
Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas volkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak ini, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung samapai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu volkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Meneropong Gunung Tangkuban Perahu memakai Teleskop Bumi sangat mengasikkan, kita bisa melihat alur-alur lembah nan hijau dengan sangat jelas. “Wow !” deretan pohon Pinus berjajar di sisi hamparan kebun Teh yang terhampar luas bak permadani yang sangat indah. Gunung Tangkuban Perahu memang unik bentuknya, seperti sebuah perahu raksasa tapi dengan posisi tertelungkup. “Kira-kira seberapa panjang dan lebarnya ya ?” yang pasti sangat besar. Kalau sebesar itu perahunya tentu yang membuatnya dahulu adalah seorang Satria yang Sakti Mandraguna. Bisa kita bayangkan suasana zaman dahulu itu seperti apa ya ? Tentu kalian ingin mengetahui lebih jauh bukan, untuk itu kita simak kisah serunya :
Sebenarnya Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu Sisa letusan gunung purba yang sangat besar kala itu. Gunung itu dahulu disebut Gunung Sunda yang meletus pertama kali sekitar 105.000 tahun yang lalu. Sekitar 55.000 sampai 50.000 tahun yang lalu Gunung Sunda meletus untuk keduakalinya, nah letusan yang kedua ini menjadikan Gunung Sunda terpecah menjadi tiga Gunung yang lebih kecil, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukittunggul. Tahukah kalian bahwa saat itu dataran Gunung Sunda Purba telah dihuni oleh manusia purba. Homo Sapiens dan Manusia Jawa (Wajak) yang hidup antara 50.000 sampai 62.000 tahun yang lalu, katanya merekalah yang tinggal di lereng dan lembah Gunung Sunda purba. Apakah ada kaitannya dengan nama suku di Jawa Barat yaitu suku Sunda ?
Teman-teman, Sunda sebenarnya berasal dari kata “Su” yang berarti abadi atau sejati, “Na” yang berarti api dan “Da” yang berarti besar atau agung. Sunda berarti “Api Abadi yang Agung” tak lain adalah Matahari sebagai penyokong kehidupan manusia. Matahari adalah lambang Hyang agung yang berada di langit. Banyak yang menamakan Sunda sebagai : pemberi kehidupan, Hyang Manon (di Mesir), Guru Hyang, Guring (Sangkuriang), Su-ra. Sunda zaman dahulu adalah sebuah ajaran agama yaitu agama Matahari. Konon di tatar Jawa Barat Agama Sunda pertama dianut manusia yang selanjutnya berkembang ke Mesir dan berbagai benua kala itu. Kita mengenal sekarang suku Sunda tinggal di bumi Parahyangan, “Pa” berarti tempat, “Ra” berarti Matahari dan “Hyang” berarti leluhur, jadi “Parahyangan” berarti “Tempat Para Leluhur”. Agama Sunda saat itu mengajarkan cinta kasih dan rasa syukur berterima kasih atas karunia, oleh karena itu Agama Sunda mengajarkan diadakan upacara Bende-Ra (Panji Matahari) yang disertai sesajian kepada Sang Hyang (para leluhur). Penghormatan kepada Matahari mereka simbolkan pada bangunan unik seperti Pepunden Berundak, Candi, Pyramid, obelish yang semua puncak bangunannya menunjuk ke atas yaitu Matahari. Bahkan dalam upacara tersebut juga sering dibuat Sang-Hu-Tumpeng, yaitu nasi yang dibentuk kerucut lancip keatas yang juga menghormati Matahari. Jadi Sunda awalnya adalah Agama Matahari tertua di bumi teman-teman, bukan suku atau ras manusia. Sopan-santun juga adalah salah satu ajaran Agama Sunda. Bukankah suku Sunda sangat terkenal dengan keramahan dan sopan-santunnya teman-teman ! Itulah sisa-sisa Agama Sunda Purba yang masih dipegang sebagai taradisi budaya mereka.
Kembali ke Gunung Sunda Purba, Gunung tersebut dahulu berada disisi Danau yang sangat luas. Danau yang luas itu tentu juga sangat dalam. Danau itu memang ada lo ! Bukti yang masih bisa kita lihat bersama adalah adanya Gunung-Gunung Kapur di daerah Padalarang sebelah Barat Bandung. Kapur itu terbentuk dari cangkang hewan-hewan air yang bertumpuk dan mengendap selama ribuan tahun. Dari Padalarang melewati Cianjur hingga ke Sukabumi banyak ditemukan fosil-fosil hewan laut, karena memang Danau Purba itu dahulu mengalir melewati daerah-daerah tersebut menuju lautan Pelabuhanratu Sukabumi. Danau itu terbentuk sekitar 125.000 tahun yang lalu dan mengering 16.000 tahun yang lalu. Sudah lama sekali ya ! Setelah Gunung Sunda meletus dan salah satunya menyisakan Gunung Tangkuban Perahu, pantas jika ada perahu terbalik di tepi Danau bukan ? Nah ada Legenda lama yang turun-temurun telah diceritakan di tengah-tengah masyarakat Sunda, Legenda Sangkuriang. Tentu kalian telah atau sering mendengar kisahnya, sepertinya antara Gunung Tangkuban Perahu dan Sangkuriang tidak bisa dipisahkan dalam Legenda itu.
Legenda Sangkuriang tertulis pada naskah kuno pada helaian daun Palem yang ditulis oleh Bujangga Manik sekitar akhir abad ke-15 Masehi. Dalam naskah tersebut diceritakan Pangeran Bujangga Manik atau Pangeran Jaya Pakuan atau Ameng Layaran berkelana panjang mengunjungi tempat-tempat suci Hindu dari tatar Jawa hingga tatar Bali. Ia tiba di Bumi Parahyangan Bandung kala itu dan menuturkan cerita Sakakala Sangkuriang.
Dikisahkan bahwa Raja Sungging Perbangkara yang sedang berburu di hutan tidak tahan untuk kencing, ia hampiri pohon keladi Hutan dan kencing di kelopak daun keladi Hutan tadi atau Caring dalam istilah Bahasa Sunda. Tak lama ada seekor Babi betina bernama Wayungyang yang sedang bertapa ingin menjadi manusia, karena sudah lama bertapa ia kehausan, ia melihat air seni tadi dan langsung meminumnya. Namun setelah itu Wayungyang hamil, terlahirlah seorang putri cantik. Putri Cantik itu dibawa oleh ayah Wayungyang ke Keraton dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Kecantikan Dayang Sumbi membuat para raja-raja berlomba untuk meminangnya, banyak peperangan yang terjadi antar kerajaan karena memperebutkan Dayang Sumbi . Tak satupun yang Dayang Sumbi terima pinangan itu, semua itu membuat Dayang Sumbi kecewa dan memilih untuk meninggalkan kemewahan keraton. Dayang sumbi pergi mengasingkan diri ke sebuah bukit dengan ditemani oleh seekor Anjing jantan hitam yang bernama Si Tumang. Dayang Sumbi hidup damai, ia senang menenun kain. Ketika torak (alat pemancing benang) jatuh ke bawah, karena malas ia berseloroh mengucapkan janji, “Siapapun yang mengambilnya jika ia leleki maka akan ia jadikan suami !” Si Tumang yang memang berada dekat, mengambilnya dan memberikan kepada Dayang Sumbi. Karena janji itu Dayang Sumbi mengawini Si Tumang dan terlahirlah seorang anak lelaki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda tampan dan gesit, ketika ia sedang berburu ke hutan bersama Si Tumang, ia menyuruh Si Tumang untuk mengejar seekor Babi betina yang tak lain adalah Wayungyang. Seperti mengetahui siapa Wayungyang itu Si Tumang tak mau menuruti perintang Sangkuriang. Sangkuring menjadi murka, ia menghunuskan tombak kepada Si Tumang. Si Tumang mati bergelimang darah, Sangkuriang membawa Hati Si Tumang pulang ke rumah. Sesampai di rumah Hati itu berikan kepada ibunya Dayang Sumbi untuk dimasak. Setelah mereka selesai menikmati Hati itu, Sangkuriang baru menceritakan bahwa Hati itu sebenarnya Hati Si Tumang. Betapa geram Dayang Sumbi mengetahui itu dan dengan secepat kilat ia pukulkan sendok yang terbuat dari tempurung Kelapa itu tepat di dahi Sangkuriang. Dahi Sangkuriang berdarah dan ia pergi berkelana mengelilingi dunia. Karena Bumi itu Bundar, perjalanannya yang berawal dari Timur telah kembali lagi ke arah Barat. Karena sudah lama ia meninggalkan perkampungannya dahulu, ia sudah tidak mengenali lagi bahwa seorang putri cantik yang bertemu dengannya adalah Dayang Sumbi yang tak lain adalah ibunya sendiri. Mereka awalnya terlihat sangat akrab namun betapa terkejutnya ketika rambut Sangkuriang tersibak oleh angin, Dayang Sumbi sangat mengenali bekas luka di dahi Sangkuriang. Sangkuriang tak mau tahu dengan apa yang diceritakan Dayang Sumbi, kecantikan Dayang Sumbi sudah membuatnya mabuk akan cinta. Sangkuring tetap memaksa Dayang Sumbi agar mau dijadikan istri. Dayang Sumbi pun mencari akal agar semua itu tak terjadi, ia meminta syarat kepada Sangkuring agar dibuatkan sebuah perahu besar dan telaga luas dengan membendung sungai Citarum.
Sangkuriang menemukan sebuah pohon raksasa yang ia temui di sebelah Timur. Ia menebang pohon besar itu dan tunggul pohon itu menjadi Gunung Bukit Tunggul. Ranting-rantingnya ia tumpuk dan menjadi Gunung Burangrang. Perahu pun telah ia selesaikan, tinggal membendung aliran Sungai Citarum. Dengan kesaktiannya bendungan itupun hampir selesai ia kerjakan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan khawatir, maka ia memohon kepada Sang-Hyang-Tunggal agar segera menerbitkan fajar meskipun belum waktunya. Dayang Sumbi kemudian mengiris-iris kain tenunannya yang berwarna putih dan menebarkannya ke langit, tak lama kemudian fajar menyingsing di ufuk Timur. Betapa Sangkuriang kecewa dan murka, bendungan Sang Hyang Tikoro yang hampir selesai itu ia jebol dan buka sumbatannya. Sumbat itu ia lemparkan sekuat tenaga ke arah Timur dan menjadi Gunung Manglayang. Air danau itu kembali surut, perahu besar itu kini yang menjadi sasaran tendangan dahsyatnya. Dengan angkara murka dan kesaktiannya ia tendang perahu besar itu ke arah utara, perahu itu melayang dan tertelungkup di dataran Lembang dan menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuring geram dan mengejar Dayang Sumbi, Dayang Sumbi berlari ke arah Gunung Putri. Dayang Sumbi merubah wujudnya menjadi Bunga Jaksi agar Sangkuriang tak mengenalinya lagi. Sangkuriang dengan sedih dan kecewa yang mendalam berjalan ke arah Ujung Berung. Sangkuriang akhirnya melebur dalam kegaiban.
Nah teman-teman, sebenarnya banyak pesan dan hikmah yang kita temukan dan bisa kita teladani dari Legenda di atas. Kita harus bersikap saling kasihi dan pandai bersyukur kepada Sang Maha Pencipta apapun agama kita. Saling menyayangi dan bersikap sopan dan santun pada siapapun. Kita harus menegakkan kebenaran yang hakiki di muka Bumi ini. Sikap amarah tentu akan membawa kehancuran dan ketidakberuntungan sebaliknya sikap welas asih akan membawa ketentraman dunia yang kita huni ini. Kitapun harus selalu bersikap baik dalam bersikap kepada teman, orang tua dan orang yang menjadi guru kita, sebaiknya kita selalu menghargai dan mau tolong-menolong terhadap sesama.
Gunung Sunda ?? pasti banyak orang akan mengernyitkan dahinya .. dan bertanya ada yah gunung yang bernama Gunung Sunda ?. Ya gunung sunda merupakan “Orang Tua” dari gunung Tangkubanperahu. Dan Gunung Tangkubanperahu tersebut sebenarnya hasil dari letusan dasyat Gunung Sunda , saking dasyatnya letusan tersebut membentuk kaldera yang sangat luas dan ditengah kaldera tersebut munculah gunung yang sekarang di namakan Gunung Tangkubanperahu. Kalau di runut kebelakang lagi sebenarnya masih ada “kakek-nya” Gunung Tangkubanperahu yang bernama Gunung Sunda Purba, atau kalau Pak T.Bachtiar dari Kelompok Riset Cekungan Bandung menamakannya gunung Jayagiri. Jadi dari gunung Jayagiri/Sunda Purba meletus muncul Gunung Sunda dan Gunung Sunda meletus muncul Gunung Tangkubanperahu.
Situ Lembang, lembah sempit berbentengkan dinding kaldera gunung Sunda. Di timur terlihat gunung berselimit kabut, Gunung Tangkubanperahu membiru (2.084 m.dpl). Dari Situ Lembang, bentuk gunung ini terlihat tidak seperti perahu yang terbalik. Jadi sangat mungkin, yang menciptakan sakakala Sang Kuriang – Dayang Sumbi itu adalah orang dari selatan gunung ini, yang setiap hari melihatbentuk gunung seperti perahu yang terbalik.
Di Barat dan uatara danau, sejak lawang angin hingga di utara Situ Lembang, membentang dinding kaldera Gunung Sunda, saksi sejarah keberadaan raksasa Gunung Sunda (+-4000 m.dpl) yang meletus dasyat hingga membentuk kaldera, kawah raksasa dengan garis tengahnya sepanjang tujuh kilkometer. (sumber T.Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung).
Sebenarnya sudah lama saya ingin sekali mengunjungi Situ Lembang tapi berhubung sekarang daerah tersebut di ‘Pegang’ oleh Kopassus maka tidak sembarangan orang di kasih izin buat mengunjungi daerah tersebut. Keinginan saya tersebut semakin besar setelah membaca (atau lebih tepatnya ‘teracuni’ ) buku karangan Pak T.Bachtiar dan Pak Budi Brahmantyo (Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung — KRCB) yang berjudul “Wisata Bumi Cekungan Bandung”. Saya terkesan sekali baca buku itu .. dan jujur saya katakan itu buku kedua bagi saya dan keluarga saya yang menjadi bacaan wajib kami semua yang tentunya buku pertama itu adalah buku2 tebal dan lecek2 karangan kuncen Bandung, Haryonto Kunto (“Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”), dan tidak ada paksaan untuk membaca buku tersebut malah antri menunggu giliran hehe . Membaca buku2 tersebut seperti mengendarai mesin waktu buat melintas di lorong waktu dan membebaskan pikiran kita untuk berimajinasi sendiri dan kembali ke waktu dimana buku tersebut bercerita. Beruntung kali ini saya bisa berjumpa dan bahkan mendapat penerangan yang lebih dari yang saya perkirakan dari para penulis buku tersebut. Dan berbeda dengan buku2 sebelumnya yang saya sendiri tidak sempat melihat atau bercakap dengan penulisnya (Alm. Haryonto Kunto)
Dan kebetulan Matabumi sebagai komunitas dari pembaca buku “Wisata Bumi Cekungan Bandung” meng-invite saya di pesbuk dalam rangka GeoTrek ke Situ Lembang, dan tanpa pikir panjang langsung saya confirm hehe. Ada dua alasan utama kenapa saya ikut, pertama sebenarnya tour geotrek ini dah sering di adakan dan saya belum pernah satu kalipun ikut, kedua saya ingin melihat 2 orang sosok yang tidak bertanggung jawab yang dengan tega telah memenuhi racun wisata bumi cekungan Bandung di otak saya dengan tulisan2 di bukunya hehe .
Sabtu 12 February 2011, pagi2 jam setengah 6 saya sudah siap berangkat ke kampus UPI Bandung, padahal malamnya saya baru sampe ke Bandung dari Jakarta sekitar jam 8 malem dan kebetulan baru turun dari kereta ada yg ngajakin nongkrong di dago atas sampe malam sekitar jam 11 malem , nyampe rumah sekitar jam setengah satu malem. Tapi tetep bisa bangun pagi2 karena emang akan melakukan sesuatu yang saya sukai hehe. Yang saya takutkan cuma satu apakah trekingnya berat atau tidak karena benar2 kurang tidur. Dan ternyata komunitas ini cair banget dari peserta yang masih duduk di bangku SD sampe kakek yang berumur 72 tahun ikut .. dari sini saya lebih percaya diri kalo trek yg akan di lalui tidak akan sulit. Dan perkiraan saya 100% bener trek yang di lalui benar-benar nyantei dan tidak sulit tetapi tetap memberikan pengetahuan yang luas karena sepanjang perjalanan Pak Budi sama Pak T.Bachtiar tanpa henti memberikan penjelasan tentang ilmu bumi.
Setelah jalan-jalan (lupa berapa lamanya hehe) keliling di hutan dan sampai di Situ Lembang, saya agak terpana melihat keindahan dan KEBERSIHAN-nya, saya lalu berpikir kembali mungkin pengelolaan Situ Lembang yg sekarang tertutup dan di pegang Kopassus memberikan manfaat lebih buat keasrian,kelestarian dan kebersihan Situ Lembang. ”Kuliah umum’ kembali di lanjutkan pasca istirahat makan siang setelah itu sholat dan sesi poto2, akhirnya waktu juga yg membuat kami harus berpisah …
Letusan Gn. Sunda Membendung Ci Tarum Jadi Danau Bandung Purba
Di utara Bandung, di tempat Gunung Tangkubanparahu sekarang, terdapat gunungapi raksasa. Gunung Jayagiri, namanya. Gunung ini kemudian meledak dahsyat hingga mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera, kawah yang sangat luas. Dari sisi kaldera Jayagiri ini tumbuh gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan maha dahsyat Gunung Sunda telah mengambrukkan tubuhnya membentuk kaldera. Dari kaldera Gunung Sunda inilah Gunung Tangkubanpararahu terbentuk. Sampai sekarang, cucu Gunung Jayagiri ini terus memperlihatkan aktivitasnya, membentuk dirinya mengikuti jejak alam leluhurnya.
Komplek Kaldera Gunung Sunda dan Gunung Tangkubanparahu menyimpan sejarah bumi yang sangat panjang. Gunung ini mempunyai daya pikat dan pesona yang luar biasa, sehingga terus mendapat perhatian.
Kawasan ini bukan hanya memiliki keragaman bumi, melainkan juga keragaman hayati, baik flora maupun faunanya. Macan tutul (Panthera pardus sondaicus) yang menjadi simbol fauna Jawa Barat pun masih terdapat di sana.
Mochamad Nugraha Kartadinata (MNK, 2005) telah mengaji secara mendalam Gunung Tangkubanparahu dan Gunung Sunda. Data hasil kajianya dijadikan dasar dalam tulisan ini.
Gunung Sunda (1.854 m.dpl.) yang terdapat dalam peta, itu hanyalah kerucut kecil dalam rangkaian panjang kaldera Gunung Sunda. Gunung Sunda yang sebenarnya dibangun dengan dasar gunung selebar 20 km. lebih, dengan ketinggian ± 4.000 m.dpl. Sangat mungkin tinggi sesungguhnya lebih dari taksiran itu, sebab, pada umumnya sebuah gunung yang meletus hingga membentuk kaldera, menghancurkan dua per tiga tubuh gunungnya. Kalau saat ini titik tertinggi dari kaldera Gunung Sunda adalah 2.080 m.dpl., artinya, tinggi gunung tersebut hanyalah satu per tiga bagian dari Gunung Sunda.
Sebelum Gunung Sunda terbangun, di sana terdapat Gunung Jayagiri. Letusan-letusan pertamanya mengalirkan lava, yang terjadi dalam rentang waktu antara 560.000-500.000 tahun yang lalu. Kemudian letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera.
Tiga abad kemudian, dari dalam kaldera itu terjadi letusan yang membangun gunung baru, yaitu Gunung Sunda. Letusan dahsyat Gunung Sunda oleh MNK dibagi menjadi tiga episode letusan utama.
Episode pertama berupa letusan-letusan yang mengalirkan lava, terjadi antara 210.000-128.000 tahun yang lalu. Episode kedua, terjadi 13 unit letusan, dalam satu unit letusan dapat terjadi lebih dari satu kali letusan besar. Episode ketiga berupa letusan-letusan yang mengambrukkan badan gunung ini hingga membentuk kaldera, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu.
Episode ketiga letusan Gunung Sunda dibagi lagi menjadi tiga fase letusan: Pertama fase plinian, letusan dengan tekanan gas yang sangat tinggi, melontarkan material sebanyak 1,96 km3 ke angkasa, membentuk tiang letusan setinggi 20 km dengan payung letusan sepanjang 17,5 km dan lebarnya 7 km.
Kedua fase freatomagmatik, letusan yang melontarkan awan debu dengan butiran-butiran kerikil gunungapi, volumenya 1,71 km3.
Ketiga fase ignimbrit, yang terjadi ±105.000 tahun yang lalu, yang menurut penelitian Rudy Dalimin Hadisantono (1988), volume yang dilontarkannya sebanyak 66 km3, yang mengarah ke baratlaut, selatan, dan timurlaut dari pusat letusan, menutupi kawasan seluas 200 km2 dengan rata-rata ketebalan 40 meter, seperti dapat dilihat di Ciseupan, di Campaka, Cisarua, Kampung Manglayang, Cipeusing, dll. Belum terhitung 40% dari total material gunungapi yang melayang-layang di angkasa dan jatuh di belahan bumi yang sangat jauh. Karena banyaknya material yang dikeluarkan, mengakibatkan ambruknya sebagian besar dari tubuh Gunung Sunda, membentuk kaldera seluas 6,5 x 7,5 km.
Pada letusan dahsyat fase ketiga inilah material letusan Gunung Sunda dengan seketika mengubur apa saja yang ditimpanya. Hutan belantara terkubur bersamaan dengan mahluk hidup yang ada di dalamnya seperti badak, rusa, kijang, dan lain-lain yang sedang berada di lembah Ci Tarum, yang jaraknya ±35 km. dari pusat letusan (Umbgrove dan Stehn: 1929, R.W. van Bemmelen: 1936, Th. H.F. Klompe: 1956). Arang kayu seukuran drum yang melintang serah datangnya awan panas ditemukan di penggalian pasir Ciseupan, Cibeber, Kota Cimahi.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, letusan Gunung Sunda fase ketiga itulah yang telah mengurug Ci Tarum Purba di utara Padalarang, membentuk danau raksasa, Danau Bandung Purba. Bagian sungai ke arah hilir yang tidak tertimbun disebut Ci Meta, sungai kecil dalam lembah besar Ci Tarum Purba.
Jadi, yang selama ini dianggap bahwa letusan Gunung Tangkubanparahu yang telah membendung Ci Tarum itu terbantahkan, karena sebelum gunung ini meletus, ada gunung yang meletus sangat dahsyat, yaitu letusan Gunung Sunda.
Dari kaldera Gunung Sunda itu kemudian lahir Gunung Tangkubanparahu. Letusan-letusannya dibagi ke dalam dua kategori letusan, yaitu: letusan Gunung Tangkubanparahu tua, antara 90.000-10.000 tahun yang lalu, yang pernah meletus sebanyak 30 unit letusan, dan letusan Gunung Tangkubanparahu muda, antara 10.000 - 50 tahun yang lalu, yang meletus 12 unit letusan.
H. Tsuya menggolongkan derajat kehebatan letusan gunungapi ke dalam 9 tingkatan, mulai dari derajat satu, yang hanya menghembuskan fumarola hingga derajat IX yang melontarkan material gunungapi lebih dari 100 km3. Bila gunungapi itu mampu melontarkan material dari tubuhnya antara 10-100 km3 dapat digolongkan mempunyai derajat kehebatan VIII. Gunung Sunda termasuk kategori ini karena pada letusan fase ketiga melontarkan material vulkanik sebanyak 66 km3. Jumlah ini sebenarnya hanya 60%-nya saja, sebab yang dihitung hanya yang mengendap di permukaan. Sedangkan yang diterbangkan ke berbagai penjuru bumi tidak dihitung, jumlahnya mencapai 40%. Bila seluruhnya dijumlahkan, kedahsyatan Gunung Sunda mendekati kategori IX.
Sebagai bandingan, letusan dahsyat Gunung Krakatau 1883 hanya melontarkan material sebanyak 18 km3, dan letusan Gunung Tambora tahun 1815 menghamburkan 150 km3, dengan derajat kehebatan IX (K. Kusumadinata, 1979).
Sisa-sisa kedahsyatan letusan Gunung Jayagiri, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkubanparahu, merupakan keragaman bumi yang luar biasa dan sangat baik bila dijadikan laboratorium alam untuk pembelajaran bagi warga kota.
Talaga Bandung Purba
Talaga Bandung panjangna kira 50 km, lébarna 30 km, mimiti ti Cicaléngka beulah wétan, nepi ka Rajamandala beulah kulon, jeung ti Majalaya, Banjaran beulah kidul nepi ka Dago beulah kalér. Ditilik sacara géomorfologi, talaga Bandung téh rada déngdék ka beulah kulon jeung kira béh tengah aya galengan saolah olah talaga teh dibagi dua nyaéta beulah wétan jeung beulah kulon. Ieu galengan téh perenahna aya di Curug Jompong. Pikeun babandingan, jerona talaga Bandung Purba téh mun kiwari mah di wewengkon Cigéréléng 45 m, Buahbatu 49 m, Cibiru 52 m, Pasirkoja 39 m, Tolo Kopo 54 m.
Rangkayan gunung kuna nu ngurilingan talaga Bandung, di antarana Gunung Puncaksalam, Pasir Kamuning, Pasir Kalapa, Gunung Lalakon, Pasir Malang, Gunung Selacau, Lagadar, Padakasih, Jatinunggal, nepi ka Gunung Bohong di beulah kidul Cimahi.
Talaga Bandung beulah kulon mimiti ngorotan kira kira 6000 taun nu geus kaliwat, nu pangheulana bobol téh nyaéta di daerah Pasir Kiara (aya ogé nu nyebutkeun di Sanghyang Tikoro) beulah kidul Rajamandala.
Di jaman kuartier kala pleistosen, kira kira 500.000 taun nu geus kaliwat, Gunung Sunda (purba) mimiti mucunghul, gunung api raksasa anu rohaka, dibeulah wétanna aya gunung Bukittunggul jeung beulah kulonna aya gunung Burangrang. Gunung Sunda ngajegir, jangkungna kira antara 3000-4000 méter. Tangkuban Parahu harita can aya.
Kira kira 375 rébu taun lilana Gunung Sunda ngajegir, nangtawing jadi tanda Tatar Sunda, nepi ka 125 rébu taun nu geus kaliwat Gunung Sunda mimiti bitu, sagala material gunung mancawura, bukti anu masih keneh katingal tug nepi ka kiwari nyaéta ayana “patahan Lémbang” anu panjangna kira-kira 22 km ngulon-ngétan. Mun hoyong atra mah coba tingali ti Maribaya beulah kidul, atawa di beulah kidul Pasar Lémbang. Ti dinya atra katingal patahan Lémbang. Tina matrial bituna Gunung Sunda téh di antarana nya ngajadikeun Talaga Bandung sok sanajan harita mah caina can pinuh pisan.
Sanggeus Gunung Sunda bitu, dina tengah-tengah urut bituna mimiti bijil gunung anyar, nyaéta pisan cikal bakal gunung Tangkuban Parahu. Jadi, Tangkuban Parahu téh anakna Gunung Sunda (purba).
Gunung T. Parahu bitu 70 rébu taun nu geus kaliwat, tah matrial tina bitu gunung T. Parahu téa nu leuwih numpuk ngajadikeun Talaga Bandung beuki ngalegaan nya nepi ka 35 rébu taun kaliwat nu dianggap panggedéna cai Talaga Bandung (dina mangsa kiwari ogé aya nu disebut Gunung Sunda di beulah kalér Gunung Tangkuban Parahu, ngan Gunung Sunda ieu mah teu jangkung, ngan ukur 1000 méteran.)
Dina mangsa kiwari, lamun téa mah Gunung Tangkuban Parahu bitu deui (da nepi ka ayeuna ge G. Tangkuban Parahu téh tetep dianggap gunung nu aktip), naha Talaga Bandung bakal kajadian deui…?
Gunung Tangkuban Parahu atau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari.
Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Legenda rakyat setempat
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Gunung Tangkuban Parahuatau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang terletak di provinsiJawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalahsulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17oC pada siang hari dan 2 oC pada malam hari. Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Legenda Sangkuriang
Asal-usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu, sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Diantara tanda gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunung nya diantaranya adalah di kasawan Ciater, Subang.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga (kawah) besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m diatas permukaan laut merupakan sisa dari letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sundadan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung sunda purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Sejarah Bandung
Gunung Sunda Purba
Tahukah Anda Bandung dulunya adalah sebuah gunung raksasa yang meletus kemudian menjadi kawah raksasa? Dan warga Bandung sekarang tinggal di kawah itu. Ingin tahu penjelasannya? Check it Out!
Berdasarkan penelitian dan ditenggarai ditemukannya bukti-bukti alam terbentuknya daratan Bandung purba yang sangat berharga. Di antaranya kars (batu kapur) di Citatah, Padalarang, Kab. Bandung Barat, sebagai bukti daerah itu pada zaman Miosen awal (23 – 17 juta tahun lalu) pantai utara (pantura) ada di sana. Kini kawasan itu dikenal antara lain dengan Karangpanganten, Karanghawu, Pasir (Bukit Pabeasan), dll.
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandung” (BandungBasin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau (Koesoemadinata, 2001).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung sampai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang (Kabupaten Bandung) dan sedalam 104 m di Sukamanah (Kabupaten Bandung); melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukanGunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang (Kabupaten Bandung Barat), yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten (Kota CImahi) 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi antara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Asal-Usul Bandung
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
1. Sebagian mengatakan bahwa, kata "bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" yang mana dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
2. Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung.
3. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung. Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang (Kabupaten Bandung Barat) sampai Cicalengka (Kabupaten Bandung) (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu (Kabupaten Bandung Barat) sampai Soreang (Kabupaten Bandung) (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten Bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Setelah beberapa serangkaian peristiwa, seperti Kekalahan Dipati Agung dan Pembangkangan Dipati Ukur, daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu kabupaten.
Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka dating ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenanggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai Ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi kur Gede.
Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang.
Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya.
Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja.
· hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan,
· hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang,
· hak memperoleh tenaga kerja (ngawula),
· hak berburu dan menangkap ikan dan
· hak mengadili.
Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerinatahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram-Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.
Sistem pemerintahan kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah satu kewajiban utama bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebutPreangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakar fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.
Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni-VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Berdirinya Kota Bandung
Ketika Kabupaten Bandung dipimpin oleh Bupati RA Wiranatakusumah II, kekuasaan Kompeni di Nusantara berakhir akibat VOC bangkrut (Desember 1799). Kekuasaan di Nusantara selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan Gubernur Jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811).
Herman Willem Daendels
Sejalan dengan perubahan kekuasaan di Hindia Belanda, situasi dan kondisi Kabupaten Bandung mengalami perubahan. Perubahan yang pertama kali terjadi adalah pemindahan ibukota kabupaten dari Krapyak di bagian Selatan daerah Bandung ke Kota Bandung yang terletak di bagian tengah wilayah kabupaten tersebut.
Antara Januari 1800 sampai akhir Desember 1807 di Nusantara umumnya dan di Pulau Jawa khususnya, terjadi vakum kekuasaan asing (penjajah), karena walaupun Gubernur Jenderal Kompeni masih ada, tetapi ia sudah tidak memiliki kekuasaan. Bagi para bupati, selama vakum kekuasaan itu berarti hilangnya beban berupa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bagi kepentingan penguasa asing (penjajah). Dengan demikian, mereka dapat mencurahkan perhatian bagi kepentingan pemerintahan daerah masing-masing. Hal ini kiranya terjadi pula di Kabupaten Bandung.
Menurut naskah Sadjarah Bandung, pada tahun 1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Karapyak ke daerah sebelah Utara dari lahan bakal ibukota. Pada waktu itu lahan bakal Kota Bandung masih berupa hutan, tetapi di sebelah utaranya sudah ada pemukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bogor. Menurut naskah tersebut, Bupati R.A. Wiranatakusumah II pindah ke Kota Bandung setelah ia menetap di tempat tinggal sementara selama dua setengah tahun.
Semula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti) kemudian ia pindah Balubur Hilir. Ketika Deandels meresmikan pembangunan jembatan Cikapundung (jembatan di Jl. Asia Afrika dekat Gedung PLN sekarang), Bupati Bandung berada disana. Deandels bersama Bupati melewati jembatan itu kemudian mereka berjalan ke arah timur sampai disuatu tempat (depan Kantor Dinas PU Jl. Asia Afrika sekarang). Di tempat itu deandels menancapkan tongkat seraya berkata: "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!" (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!". Rupanya Deandels menghendaki pusat kota Bandung dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjut dari ucapannya itu, Deandels meminta Bupati Bandung dan Parakanmuncang untuk memindahkan ibukota kabupaten masing-masing ke dekat Jalan Raya Pos. Permintaan Deandels itu disampaikan melalui surat tertanggal 25 Mei 1810.
Pindahnya Kabupaten Bandung ke Kota Bandung bersamaan dengan pengangkatan Raden Suria menjadi Patih Parakanmuncang. Kedua momentum tersebut dikukuhkan dengan besluit (surat keputusan) tanggal 25 September 1810. Tanggal ini juga merupakan tanggal Surat Keputusan (besluit), maka secara yuridis formal (dejure) ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Boleh jadi bupati mulai berkedudukan di Kota Bandung setelah di sana terlebih dahulu berdiri bangunan pendopo kabupaten. Dapat dipastikan pendopo kabupaten merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data dari berbagai sumber, pembangunan Kota Bandung sepenuhnya dilakukan oleh sejumlah rakyat Bandung dibawah pimpinan Bupati R.A. Wiranatakusumah II. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung.
Berkembangnya Kota Bandung dan letaknya yang strategis yang berada di bagian tengah Priangan, telah mendorong timbulnya gagasan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 untuk memindahkan Ibukota Keresiden priangan dari Cianjur ke Bandung. Gagasan tersebut karena berbagai hal baru direalisasikan pada tahun 1864. Berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal tanggal 7 Agustus 1864 No.18, Kota Bandung ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, sejak saat itu Kota Bandung memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai Ibukota Kabupaten Bandung sekaligus sebagai ibukota Keresidenan Priangan. Pada waktu itu yang menjadi Bupati Bandung adalah R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Sejalan dengan perkembangan fungsinya, di Kota Bandung dibangun gedung keresidenan di daerah Cicendo (sekarang menjadi Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat) dan sebuah hotel pemerintah. Gedung keresidenan selesai dibangun tahun 1867.
Perkembangan Kota Bandung terjadi setelah beroperasi transportasi kereta api dari dan ke kota Bandung sejak tahun 1884. Karena Kota Bandung berfungsi sebagai pusat kegiatan transportasi kereta api "Lin Barat", maka telah mendorong berkembangnya kehidupan di Kota Bandung dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun.
Di penghujung abad ke-19, penduduk golongan Eropa jumlahnya sudah mencapai ribuan orang dan menuntut adanya lembaga otonom yang dapat mengurus kepentingan mereka. Sementara itu pemerintah pusat menyadari kegagalan pelaksanaan sistem pemerintahan sentralistis berikut dampaknya. Karenanya, pemerintah sampai pada kebijakan untuk mengganti sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi, bukan hanya desentralisasi dalam bidang keuangan, tetapi juga desentralisasi dalam pemberian hak otonomi bidang pemerintahan (zelfbestuur).
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Bupati RAA Martanagara (1893-1918) menyambut baik gagasan pemerintah kolonial tersebut. Berlangsungnya pemerintahan otonomi di Kota Bandung, berarti pemerintah kabupaten mendapat dana budget khusus dari pemerintah kolonial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Berdasarkan Undang-undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) yang dikeluarkan tahun 1903 dan Surat Keputusan tentang desentralisasi (Decentralisasi Besluit) serta Ordonansi Dewan Lokal (Locale Raden Ordonantie) sejak tanggal 1 April 1906 ditetapkan sebagai gemeente (kotapraja) yang berpemerintahan otonomom. Ketetapan itu semakin memperkuat fungsi Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan Kolonial Belanda di Kota Bandung. Semula Gemeente Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar